Ma’had Aly – Sebagai fenomena sosial, agama Islam pertama kali muncul di Jazirah Arab pada abad ke-7 Masehi. Nabi Muḥammad saw, adalah orang yang mula-mula memperkenalkan agama Islam kepada peduduk kota Makkah. Hanya dalam kurun waktu dua dekade dari awal dakwahnya, Nabi Muhammad saw telah berhasil menjadikan umat Islam menyebar begitu pesat sehingga sampai ke luar Jazirah Arab. Jika dilihat pada peta modern penyebaran umat Islam di seluruh dunia, maka kawasan Asia dan Afrika adalah wilayah yang paling dominan.[1]Islam tumbuh berkembang tidak hanya menjadi sistem kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat, tetapi juga menjadi sebuah peradaban dengan banyak imperium atau kerajaan sepeninggal Nabi Muhammad saw dan generasi awal sahabatnya.[2] Kerajaan Umayyah, kerajaan Abbasiyah pada periode awal hingga kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Safawi, dan kerajaan Mongol pada periode akhir adalah imperium-imperium kuat dan besar di dunia yang pernah menguasai wilayah Semenanjung Balkan dan Eropa Tengah di Utara sampai wilayah Afrika Hitam di Selatan. Sementara di Timur terdapat wilayah Maroko di Barat sampai dengan Asia Timur.
Dengan demikian, Islam tidak hanya agama yang dianut oleh bangsa-bangsa di pertengahan bumi ini, tetapi juga merupakan peradaban yang terbentang dari Laut Afrika sampai tepi Laut Pasifik Selatan, dari Padang Rumput Siberia sampai ke kawasan Asia Timur.[3] Pengetahuan tentang dunia Islam sejatinya pengetahuan tentang peradaban Islam yang telah menyebar di berbagai kawasan dunia.
Dari uraian di atas, Islam digambarkan memiliki karekteristik global, bisa diterima dalam setiap ruang dan waktu.[4] Namun pada sisi yang lain, karekteristik global tersebut seolah-olah hilang melebur kedalam kekutan lokal yang dimasukinya. Dimana kecenderungan Islam biasa mengadaptasi terhadap kepentingan mereka.
Secara kultural, penduduk yang tersebar di kawasa Asia Timur sebagian besar tidak beragama atau komunis, dengan agama-agama utama adalah perdukunan dan Chondoisme Korea dan ada komunitas kecil umat Buddha dan Kristen.
Bagi orang-orang Korea, antara Korea dan Timur Tengah barangkali terlihat seperti tidak memiliki kesamaan sama sekali. Di antara keduanya tidak ditemukan kesamaan ekonomi, budaya, dan cita-cita hidup. Di antara semua perbedaan tersebut, faktor penentunya adalah perbedaan agama. Akar keagamaan orang-orang Korea sebagian besar berasal dari Buddhisme, Konfusianisme, dan yang baru-baru ini berkembang pesat adalah agama Kristen. Sementara, di Timur Tengah, akar keagamaannya berasal dari ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.[5]
Selama pertengahan abad ke-7, pedagang Muslim telah melintasi Asia Timur sejak Dinasti Tang dan membentuk kontak dengan Silla, salah satu dari Tiga Kerajaan Korea. Kehadiran pertama Islam dapat diverifikasi di Korea berawal dari abad ke-9 selama periode Silla bersatu dengan kedatangan pedagang dan navigator Persia dan Arab. Menurut banyak geografer Muslim, termasuk penjelajah dan ahli geografi Muslim Persia abad ke-9 Ibnu Khurdadhbih, banyak dari mereka menetap secara permanen di Korea, mendirikan desa-desa Muslim. Beberapa catatan menunjukkan bahwa banyak dari pemukim berasal dari Irak. Catatan lain menunjukkan bahwa sejumlah besar dari Syiah faksi Alawi menetap di Korea. Selanjutnya yang menunjukkan adanya masyarakat Muslim Timur Tengah di Silla adalah patung-patung wali kerajaan dengan karakteristik khas Persia.
Namun, pada saat itulah negara tersebut diperkenalkan dengan agama Buddha dan Konfusianisme dari Tiongkok. Di bawah Kerajaan Goryeo (918-1392), yang telah menyatukan negara, agama Buddha menjadi kekuatan utama di negara ini dan berkembang. Namun, setelah Kerajaan Goryeo digantikan oleh Kerajaan Joseon (1392-1910), Konfusianisme Korea menjadi ideologi dan agama resmi negara. Selama periode ini Buddhisme dan Shamanisme asli ditekan, dibatasi, dan dianiaya dengan keras.[6]
Kekristenan tiba di negara itu pada awal abad ke-17, tetapi pada pertengahan abad ke-18 telah dilarang, dan orang-orang Kristen dianiaya dengan keras sampai pembukaan Korea pada tahun 1876 dengan Perjanjian Kanghwa. Setelah ini, negara Joseon mulai runtuh secara politik dan budaya, penganiayaan terhadap orang-orang Kristen tidak diizinkan, dan agama dengan cepat memperoleh pijakan besar di negara itu. Ini semua berumur pendek karena Korea kemudian dianeksasi oleh Jepang dari tahun 1910 hingga 1945. Selama masa ini, agama Negara Jepang, Shinto, dipaksakan ke negara itu. Menyusul berakhirnya Perang Dunia Kedua, Korea dibagi menjadi dua negara pada tahun 1948 ketika Amerika, Inggris, Uni Soviet, dan China tidak dapat mencapai kesepakatan tentang solusi Korea dari negara yang bersatu.
Setelah Perang Dunia ke II, Korea terpecah menjadi dua negara, utara komunis dan selatan anti-komunis. Sebagian besar orang Kristen Korea, yang sampai saat itu berada di bagian utara Korea, melarikan diri ke Korea Selatan. Sebaliknya, sebagian besar Chondois Korea tetap berada di Korea Utara yang baru terbentuk. Pada saat partisi mereka adalah 1,5 juta, atau 16% dari populasi Korea Utara.[7]
Menurut beberapa perkiraan pada tahun 2005 di Korea Utara ada 3.846.000 (16% dari total populasi) orang percaya perdukunan Korea , 3.245.000 (13,5%) Chondoists , 1.082.000 (4,5%) Budha, dan 406.000 (1,7%) Kristen.[8]
Pada 2007 ada sekitar 800 gereja Chondo di seluruh negeri dan sebuah bangunan besar di Pyongyang, 60 kuil Buddha (lebih dipertahankan sebagai peninggalan budaya daripada tempat ibadah), dan 5 gereja Kristen (tiga gereja Protestan, satu gereja Katolik, dan satu Rusia). Gereja Ortodoks, yang semuanya terletak di Pyongyang.
Pada saat itu Islam masih belum masuk ke Korea bagian Utara, sehingga ketika Korea terpecah menjadi dua, pada bagian utara belum ada Islam di sana. Islam baru masuk di Korea Utara setelah di bawah melalui duta besar negara lain serta para diplomat yang beragama Islam. Terdapat sekitar 2000 orang atau 0,1% populasi Korea Utara yang beragama Islam[9]. Ditandai dengan adanya bangunan Masjid di sudut kota Pyongyang yang dibangun oleh kedutaan Iran dan menjadikan pusat agama Islam di sana.
Di Korea Utara, konstitusi menjamin kebebasan berkeyakinan agama. Namun, pada kenyataannya tidak ada kebebasan beragama di negara ini, kebijakan pemerintah terus mengganggu kemampuan individu untuk memilih dan mewujudkan kepercayaan agama.[10]
Dan juga masyrakat di sana sangat tertutup dan risih jika mengenai agama atau kepercayaanya. Di antara penyebab tertutupnya soal kepercayaan mereka adalah adanya prilaku penganut agama yang tidak mencerminkan ajaran agamanya yang dipercaya bahwa agama mengajarkan kebaikan dan etika.[11]
Dari situlah populasi Islam di Korea Utara berkembang meskipun sangat lambat. Akan tetapi akhir-akhir ini pemerintah memberi lampu hijau terhadap orang yang beragama dan juga aktivitas keagamaan, contoh peringatan Nuzulul Qur’an dan Idul Fitri yang dilakukan umat Islam pada tahun lalu.[12]
Korea Utara adalah negara yang ‘tertutup’ terhadap berbagai macam akses informasi dan pengaruh dari luar. Termasuk soal agama. Namun kabarnya pengaruh Islam juga sampai di negeri komunis itu. Korea Utara dan Islam mungkin bukan padanan yang pas, tapi faktanya Islam berkembang di sana meskipun sangat lambat.
Sebagai negara komunis, Korea Utara sudah lama memberlakukan aturan yang ketat perihal agama. Tapi, pada kenyataannya, Islam seolah mendapatkan lampu hijau di sini. Terbukti dengan data agama yang menyematkan nama Islam di sana. Jumlahnya sendiri sangatlah kecil, bahkan tak sampai satu persen. Menurut data yang ada tentang penganut Islam di sana, sekitar sekitar 2000 orang atau 0,1% populasi Korea Utara yang beragama Islam. Jadi, sanagat sedikit masyarakat asli yang menjadi Muslim. Agama ini sendiri dibawa oleh diplomat-diplomat serta duta besar di sana. Meskipun jadi minoritas, tapi tak ada tekanan bagi para orang asing untuk menjalankan syariat Islam.
Referensi
[1]Richard C. Martin, “Islām,” dalam Encyclopedia of Islam and the Muslim World (USA: Macmillan Reference, 2004), hal 176
[2] Richard C. Martin, “Islām,” Encyclopedia of Islam…, hal 175
[3] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam : Bagian ke-Satu dan ke Dua, trans. oleh Ghufran A. Mas’adi, I, A History of Islamic Societies (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hal vii
[4] Ajid Tohir, Studi Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2011), hal 1
[5] Park Hyong-ki, “History of Islam in Korea”, dari laman http://www.islamkorea.com/english/koreahistoryislam-kh.html, diakses 11 Oktober 2019.
[6] https://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=https://www.worldatlas.com/articles/religious-beliefs-in-north-korea.html&prev=search, diakses 11 Oktober 2019
[7] James H. Grayson, Korea: A Religious History. Routledge., (Routledge, 2002) hal 162
[8] David Alton, Building Bridges: Is There Hope for North Korea?, (Lion Hudson, 2013), hal 79
[9] Toodia Tivi, Dunia Islam di Korea Utara, https://www.youtube.com/watch?v=ksuqVY4N628 dipublikasikan tanggal 31 Agustus 2018
[10] BBC, North korea’s sidelined human rights crisis, https://www.bbc.com/news/world-asia-44234505, 18 February 2019
[11] Perfect Partner, Orang Korea Ga Punya Agama?, https://www.youtube.com/watch?v=3g5Fmop0C2Q dipublikasikan tanggal 3 Agustus 2018
[12] Dari Laman YouTube Toodia Tivi, Dunia Islam di Korea Utara, dipublikasikan tanggal 31 Agustus 2018
Oleh : Muh. Jirjis Fahmy Zamzamy, Semester VI