MAHADALYJAKARTA.COM – Dalam dunia perwalian, kita tak asing lagi dengan nama Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Namanya yang terkenal ke seluruh penjuru dunia membuat siapa saja yang mendengar pasti mengenalnya. Siapakah sosok yang mulia ini? Bagaimana peran beliau dalam dunia perwalian? Dan apa rahasia dibalik derajat kewaliannya?
Beliau bernama Abdul Qadir. Nama kunyah beliau adalah Abu Muhammad. Beliau terkenal dengan gelar Muhyi ad-Din, al-Ghauts al-A’zham, Sulthanul Auliya’, dan lain-lain. Beliau merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW baik melalui jalur ibu (al-Husaini) maupun ayah (al-Hasani), yang mana Imam Hasan dan Imam Husain adalah cucu Nabi Muhammad SAW. Ayah beliau bernama Sayyid Abu Shalih Musa Ra. Dan ibunya bernama Sayyidah Ummu al-Khair Fathimah Ra.
Ada kisah menarik tentang orang tua Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Dikisahkan bahwa ayah beliau, Sayyid Abu Shalih Ra, pada puncak usia mudanya beliau menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berjihad di medan perang. Suatu hari, saat beliau sedang beribadah di tepi sungai, beliau merasa lapar. Hal itu dikarenakan beliau belum makan selama tiga hari tiga malam. Ketika rasa lapar melanda, beliau melihat sebuah apel terhanyut di sungai. Dengan segera beliau mengambil apel tersebut dan memakannya. Setelah memakan apel tersebut, tiba-tiba sebuah pikiran terlintas dalam benaknya, yaitu asal buah apel yang telah dimakannya. Beliau berpikir bahwa apel yang hanyut itu pastilah milik seseorang, sehingga pastilah ia memakan apel itu tanpa seizin pemiliknya. Dengan segera ia menyusuri tepian sungai untuk mencari asal apel itu. Ia telah berjalan cukup jauh hingga akhirnya ia menemukan sebuah kebun. Disana ia melihat sebatang pohon apel. Dahan-dahan pohon tersebut menjuntai hingga ke tepian sungai. Beberapa buah apel dari pohon tersebut jatuh ke sungai dan terhanyut ke hilir.
Setelah melihat hal itu, beliau segera memahami bahwa apel yang telah ia makan berasal dari pohon tersebut. Ia lalu mencari pemilik pohon apel yang dimakannya. Beliau memasuki kebun itu dan bertanya siapakah pemiliknya. Ternyata pemilik kebun itu adalah Sayyid ‘Abdullah Sum’i Ra. Beliau kemudian mendatangi kediamannya dan memohon agar perbuatannya dimaafkan. Setelah menyimak apa yang dikatakan oleh Sayyid Abu Shalih, Sayyid ‘Abdullah pun menyadari bahwa pemuda ini bukan orang biasa. Beliau paham bahwa pemuda ini adalah orang pilihan Allah SWT. Beliau pun bersedia memaafkan Sayyid Abu Shalih namun dengan satu syarat. Syaratnya adalah Sayyid Abu Shalih harus merawat kebun itu selama 10 tahun. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung menerima hal itu dengan penuh rasa syukur. Beliau merawat kebun itu selama 10 sekaligus melaksanakan jihad. Setelah 10 tahun terlewati, beliau kali menemui Sayyid ‘Abdullah Sum’i untuk dimaafkan. Namun, Sayyid ‘Abdullah Sum’i kembali memintanya untuk bekerja lagi selama 2 tahun yang lagi-lagi langsung diterimanya tanpa keberatan. Setelah 2 tahun berlalu. Sayyid Abu Shalih datang lagi kepada Sayyid ‘Abdullah untuk meminta maaf. Kemudian Sayyid ‘Abdullah bersedia memaafkan beliau dengan satu syarat terakhir.
Bagi orang biasa, tentu hal ini akan membuat kita menolak syarat yang terakhir, namun tidak bagi Sayyid Abu Shalih. Ia menerima syarat terakhir dengan lapang dada. Yang mana syarat itu adalah ia harus menikahi putri Sayyid ‘Abdullah yang buta, tuli, bisu dan juga cacat kedua tangan dan kakinya. Setelah ia menikahi putrinya. Ia pun masuk ke kamar pengantin untuk menemui sang istri. Ia pun terkejut saat melihat seorang wanita yang sangat cantik, tidak buta, tidak tuli dan tidak bisu. Wanita itu mengucapkan salam dan menghampiri Sayyid Abu Shalih dan tersenyum kepadanya. Seketika ia keluar kamar dan menemui Sayyid ‘Abdullah dan bertanya kepada beliau mengenai putrinya yang cacat. Dengan tersenyum ia berkata “jangan khawatir, yang ada di dalam kamar itu adalah putriku. Kukatakan ia buta karena ia belum pernah melihat sesuatu yang haram. Dia tuli karna tidak pernah mendengar sesuatu yang dilarang syari’at. Ia bisu karena tidak pernah mengatakan hal-hal yang kotor dan keji. Dan ia juga cacat kerena belum pernah melangkahkan kaki untuk berbuat maksiat”. Dan dari kedua insan saleh inilah Syekh Abdul Qadir Jailani lahir.
Silsilah Keturunan Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Silsilah keturunan beliau berasal dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Melalui ayah beliau sepanjang 14 generasi melalui jalur al-Hasani dan ibu beliau sepanjang 12 generasi melalui jalur al-Husaini.
Berikut silsilah keturunan Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
(Keterangan : A = garis dari al-Husain, B = garis dari al-Hasan)
Nabi Muhammad SAW
Sayyidah Fathimah Az-Zahra
Sayyid ‘Ali bin Abi Thalib Ra.
A1. Syahid Imam Husain Ra.
B1. Sayyid Imam Hasan
A2. Sayyid Imam Zainul ‘Abidin Ra.
B2. Sayyid Hasan Matsni
A3. Imam Muhammad Baqir Ra.
B3. Sayyid ‘Abdul Mahdh
A4. Sayyid Imam Ja’far Shadiq Ra.
B4. Sayyid Musa al-Jaun
A5. Sayyid Imam Musa Kazhim Ra.
B5. Sayyid ‘Abdullah Tsani
A6. Syekh ‘Ali Raza Ra.
B6. Sayyid Musa Tsani Ra.
A7. Sayyid Abu Alau’ddin Ra.
B7. Sayyid Dawud
A8. Sayyid Kamaluddin ‘Isa Ra.
B8. Sayyid Muhammad
A9. Sayyid Abul ‘Atha ‘Abdullah Ra.
B9. Sayyid Yahya az-Zahid
A10. Syekh Sayyid Mahmud Ra.
B10. Sayyid Abu ‘Abdillah
A11. Sayyid Muhammad
B11. Sayyid Abu Shalih Musa (Ayah)
A12. Sayyid Abu Jamal
A13. Sayyid ‘Abdullah Sum’i (Kakek)
A14. Sayyidah Ummul Khair Fathimah (Ibu)
Sayyid Muhyiddin
Abu Muhammad ’Abdul Qadir al-Jailani
Keistimewaan Syekh Abdul Qadir Jailani
Syekh Abdul Qadir al-Jailani lahir pada malam 2 Ramadhan 470 H. Kelahiran Syekh Abdul Qadir Jailani ini membawa berkah ke seluruh penjuru bumi karena merupakan pertanda telah tibanya Sulthanul Aulia’ (Sultan Para Wali) yang telah dikabarkan berabad-abad sebelum beliau lahir. Pada saat itu Sayyidah Ummul al-Khair berusia 60 tahun. Dari hal ini saja sudah menjadi salah satu keajaiban sang Wali Agung.
Berikut keajaiban-keajaiban yang terjadi pada saat kelahiran Syekh Abdul Qadir al-Jailani :
Pada malam kelahiran beliau, ayah beliau, Syekh Abu Musa bertemu Rasulullah SAW dalam mimpinya. Sang Rasul berkata kepada Syekh Abu Musa : “Wahai Abu Shalih! Allah Yang Maha Kuasa telah menganugerahimu seorang anak shaleh. Dia adalah kekasihku dan juga kekasih Allah SWT. Dia adalah yang paling mulia diantara Auliya’ dan Aqthab.” Saat lahir, beliau memiliki tanda tapak kaki Rasulullah di atas tengkuk beliau.
Rasulullah SAW memberi selamat kepada orang tua beliau di mimpi mereka, bahwa kelak putra mereka akan menjadi Sulthanul Auliya’. Pada malam kelahiran beliau, sekitar 11.000 anak laki-laki yang lahir di Jilan menjadi Wali Allah. Beliau lahir pada malam Ramadhan dan sepanjang bulan itu beliau tidak pernah menyusu kepada ibunya sejak waktu Sahur dan baru akan menyusu setelah waktu berbuka tiba. Dengan kata lain beliau sudah berpuasa sejak usia bayi.
Perjalanan Syekh Abdul Qadir Dalam Menuntut Ilmu
Pada saat beliau berusia 4 setengah tahun, sang ibu mengirimnya ke sebuah madrasah lokal di Jilan. Beliau menuntut ilmu sampai usia 10 tahun. Selama belajar, beberapa peristiwa menakjubkan terjadi. Setiap kali Syekh Abdul Qadir akan memasuki madrasah, terdapat sosok-sosok bercahaya yang berjalan di depannya mendampinginya dan berkata “Beri jalan untuk Wali Allah.”
Suatu ketika saat usia beliau menginjak 18 tahun, beliau keluar rumah untuk berjalan-jalan di Jilan. Beliau melihat seekor lembu di depannya dan berjalan di belakang lembu itu dalam beberapa waktu. Kemudian, lembu itu menoleh ke belakang dan berkata kepada beliau dengan bahasa manusia, “Kamu tidak diciptakan untuk ini dan kamu tidak diperintahkan untuk ini.” Beliau pun pulang ke rumahnya dan bercerita tentang apa yang telah terjadi kepada sang ibu. Kemudian beliau meminta izin untuk merantau ke Baghdad untuk menyelesaikan pendidikan agamanya dan mencari lebih banyak lagi pengetahuan bathiniyah. Sang ibu yang telah berusia 78 tahun itu menyetujui permohonan yang mulia ini tanpa pikir panjang.
Meskipun dengan berat hati, sang ibu tetap mengizinkan anaknya untuk menuntut ilmu dan berkata : “Almarhum ayahmu meninggalkan 80 dinar, aku akan memberimu 40 dinar dan sisanya lagi untuk adikmu, Sayyid Abu Ahmad ‘Abdullah.” Kemudian ibu nya menyimpan 40 dinar untuk Syekh Abdul Qadir di sebuah kantung dan menjahit nya di bagian bawah lengan jubahnya seraya berpesan : “Oh anakku sayang, jadikanlah nasihat yang aku berikan ini sebagai bagian penting dalam hidupmu. Senantiasalah berkata jujur! Bahkan jangan pernah terpikirkan sekalipun untuk berbohong! Pergilah nak, semoga Allah selalu bersamamu. Dialah Penolong dan Pelindungmu.” Lalu berangkatlah beliau ke Baghdad.
Setelah mengucapkan selamat tinggal pada ibunya, Syekh Abdul Qadir bergabung bersama sebuah kafilah yang berjalan menuju Yaman. Pada saat itu banyak orang bepergian dalam kelompok demi keselamatan diri. Saat mereka melewati rimba raya, kafilah tersebut diserang oleh 60 perampok. Ahmad Badawi, selaku pemimpin perampok itu adalah orang yang sangat kejam. Para musafir saat itu tidak ada yang membawa senjata untuk melawan mereka. Seluruh orang di kafilah tersebut ditahan dan diambil harta nya kecuali Syekh Abdul Qadir. Hal itu dikarenakan para perampok menganggapnya tidak berdaya dan tidak punya harta. Namun, beliau berdiri menghampiri mereka dan berkata pada para perampok : “Aku mempunyai 40 dinar.” Para perampok pun menertawakan apa yang dikatakan beliau, karena mereka menganggap bahwa beliau berbohong.
Beberapa perampok lain bertanya kepada beliau apakah ia memiliki harta, dan beliau selalu menjawab dengan jawaban yang sama. Akhirnya mereka memeriksa jubah beliau dan menemukan 40 dinar yang tersembunyi di bawah lengan baju nya. Ketika menyaksikan hal itu, Ahmad Badawi bertanya : “Wahai anak muda, tidak ada satu pun dari kami yang tahu bahwa kamu memiliki uang. Lalu mengapa kau malah memberitahu tempat persembunyian uang ini?” Syekh Abdul Qadir pun menjawab : “Saat saya akan berangkat untuk menempuh perjalanan ini, saya berjanji pada ibu saya bahwa saya tidak akan pernah berbohong. Bagaimana mungkin saya bisa melanggar janji ini hanya karena 60 perampok?” Mendengar hal ini Ahmad Badawi merasa sangat malu dan menangis. Dalam tangisnya ia berkata “Wahai anak muda! Kau sangat taat kepada ibumu. Alangkah hina diriku, bertahun-tahun aku telah mengingkari janjiku kepada Allah.
Setelah mengucapkan kata-kata ini, sang pemimpin perampok itu menjerit dan menjatuhkan diri ke kaki Syekh Abdul Qadir kemudian memohon ampun atas dosanya. Saat melihat kejadian itu, para perampok lain pun melakukan hal yang sama dan bertaubat dengan tulus. Mereka pun mengembalikan harta yang telah dirampas kepada para musafir itu. Dikisahkan bahwa taubat para perampok itu sedemikian ikhlas sehingga mereka dikaruniai Walayah berkat Shadaqah dari al-Ghauts al-A’zham Syekh Abdul Qadi al-Jailani. Dan kejadian itu merupakan kali pertama taubat sekelompok pendosa yang terjadi melalui tangan Sang Wali Allah. Dan dari menepati janji inilah salah satu penyebab kewalian Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Setelah menempuh pendidikan di Baghdad, beliau menuntut ilmu di Jami’ah Nizhamiyah yang tersohor dan merupakan pusat pendidikan dan ilmu keruhanian di dunia. Beliau menguasai semua bidang di sana, mulai dari tafsir, bahasa Arab, ilmu hadits, qiraat dan lainnya. Setelah lulus di Nizhamiyah, tak ada satu ‘Alim di muka bumi yang lebih faqih dan shaleh dibandingkan Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani.
Istri-Istri dan Anak-Anak Syekh Abdul Qadir
Seseorang pernah bertanya pada beliau mengapa beliau mau menikah, padahal derajat spiritualnya sudah sangat tinggi. Kemudian beliau menjawab: “Aku sebenarnya pernah berniat untuk tidak menikah, namun kakek tercintaku, Nabi Muhammad SAW memerintahkanku untuk menikah. Itulah alasanku menikah. Sesungguhnya aku takut menikah, oleh karena bisa jadi waktuku akan tersita oleh hal-hal selain yang dicintai Penciptaku. Namun, ketika tiba saatnya, Sang pencipta menganugerahiku 4 istri, dan setiap dari mereka sangat mencintaiku.” Beliau memiliki 4 istri dan 49 anak, di mana 27 di antaranya putra dan 22 putri.
Tarekat Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Umat muslim mengikuti tarekat berdasarkan Syariah. Dalam hal syariah, beliau adalah pakar mazhab Hambali dan juga mazhab Syafi’i.
Beliau mempelajari misteri tarekat dan mendalami tasawuf di bawah bimbingan Syekh Hammad ad-Dabbas. Secara tradisi, jika seseorang memasuki tarekat, dia diberi khirqah (jubah sufi). Beliau menerima khirqah dari Syekh Qadhi Abu Sa’id al-Makhzumi. Beliau kemudian menjadi teladan dari pembimbing ruhani semacam ini. Tarekat yang dirintis oleh Syekh Abdul Qadir ini kemudian disebut dengan menisbatkan nama beliau, tarekat Qadiriyah dan kemudian dikenal sebagai tarekat yang mengamalkan zikir, wirid dan salawat untuk membersihkan jiwa.
Wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Beliau wafat pada bulan Rabiul Akhir 561 H (beberapa riwayat mengatakan beliau wafat tanggal 11 atau 17). Beliau dimakamkan di Baghdad, Irak.
Karya-Karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Beliau memiliki banyak sekali karya, di antaranya :
Al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq
Futuh al-Ghaib
Al-Fath ar-Rabbani
Jila’ al-Khathir
Sirr al-Asrar
Malfuzhat
Khamsata ‘Asyara Maktuban
Dan masih banyak lagi karya beliau yang terkenal.
Demikianlah sekilas perjalanan hidup Sang Wali Agung Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Begitu banyak kisah-kisah yang menarik lainnya. Semoga kita dapat mengikuti jejak beliau yang mulia ini dan dipertemukan di Akhirat kelak bersama para wali yang lainnya oleh Allah. Aamiin
Referensi :
Siddiq Osman Noor Muhammad, Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Terj. Maulana Muhammad Aftsab Cassim Razvi, Jakarta: Diadit Media, 2008.
M.J Ja’far Shodiq, Syekh Abdul Qadir Jailani : Samudra Hikmah, Wasiat, dan Pesan-Pesan Spiritual Tang Menghidupkan Hati, Yogyakarta: Araska, 2017.
Muhammad Muhibbuddin, Kisah-Kisah Keajaiban Syekh Abdul Qadir Jaelani : Menelisik Karomah Dan Wasiat Sulthanul Auliya’, Yogyakarta: Araska, 2018.
Sahara Ramadhani dan Shofia Trianing Indarti, Kisah Penyejuk Jiwa Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Yogyakarta: Muezza, 2017.
Anding Mujahidin dan Syerif Hade Masyah, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Biografi Sultan Para Wali, Terj. Shalih Ahmad al-Syami, Jakarta: Zaman, 2015
Kontributor: Leni Ajeng Musafiroh (Smt. 3)