Kesultanan Cirebon pada awalnya hanya merupakan sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, kemudian berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban, kemudian menjadi Cirebon. Kata Caruban berasal dari bahasa sunda yang memiliki maknacampuran, hal ini karena di daerah tersebut bercampur para pendatang dari berbagai suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau atau hanya sekedar berdagang.
Selain itu, dinamakan Cirebon karena sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan. Pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai terus berkembang, sehingga masyarakat membuat produk-produk dari hasil menangkap ikan tersebut, salah satu produknya adalah terasi. Pembuatan terasi berasal dari rebon (ikan kecil) yang diolah dan air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan istilah cai-rebon (Bahasa Sunda: air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Kesultanan Cirebon merupakan sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Lokasinya yang berada di pantai utara Pulau Jawa serta perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan kesultanan Cirebon sebagai pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau, kemudian kesultanan ini dijadikan pelabuhan dan jembatan antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Kesultanan inilah yang menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulai oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, Ia digantikan oleh cicitnya yang bergelar pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 M, kemudian digantikan oleh putranya yaitu Giriliya. Sepeninggalan Giriliya kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan yang diperintah oleh dua orang putranya, yaitu Martawijaya atau panembahan sepuh yang memerintah Kesultanan Kasepuhan dengan gelar Syamsuddin dan Panembahan Anom yang memerintah Kesultanan Kanoman dengan Gelar Badruddin.
Pengaruh Sunan Gunung Djati sangat besar di kesultanan tersebut sehingga ia diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon, serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Tidak jauh berbeda dengan kesultanan Cirebon, kesultanan kedua yang ada di dataran sunda adalah kesultanan Banten. Kesultanan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Setelah Ia menaklukan Banten pada tahun 1525 M, ia kembali ke Cirebon sedangkan kekuasaannya di Banten diserahkan kepada anaknya, yaitu Sultan Hasanudin yang kemudian menikahi putri Demak. Sultan Hasanudin meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam meluaskan wilayah Islam, diantaranya daerah Lampung dan daerah disekitarnya (Sumatra Selatan), sebelumnya menaklukan Sunda Kelapa pada tahun 1527 M.
Kesultanan Banten didukung perkembangan ekonomi maritim di pantai utara Jawa akibat eksodus besar-besaran para pedagang muslim di dunia Melayu. Selain itu, wilayah Banten sangat srategis sebagai “pintu gerbang” menuju kawasan timur Nusantara yang dikena banyak menghasilkan lada dan rempah-rempah, khususnya Maluku, hal ini menjadikan Banten sebagai daerah pusat perdagangan baru yang banyak disinggahi para pedagang internasional.
Para ahli sejarah mencatat kehadiran para pedang Turki, Arab, Persia, Bengal, dan Gujarat, selain orang China yang sudah lama menetap dan kemudian sebagian menjadi bagian dari masyarakat dan kerajaan Banten. Mereka melakukan transaksi bisnis dalam skala besar di kerajaan. Lebih dari itu, kehadiran para pedagang internasional tersebut juga didukung kenyataan bahwa di Banten, seperti halnya Aceh di Sumatra adalah daerah penghasil komoditas yang memang tengah laku di pasaran internasional, khususnya lada. Oleh karena itu, penaklukkan Banten atas Sunda Kelapa secara ekonomis sangat strategis.
Dalam perkembangannya, Banten melakukan ekspansi politik ke wilayah-wilayah yang secara ekonomis memang sangat potensial menghasilkan barang-barang yang laku di pasaran internasional. Seperti pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, ia melakukan ekspansi kekuasaan ke wilayah Lampung dan daerah-daerah lain sekitarnya di bagian selatan Sumatra. Daerah-daerah tersebut sangat penting bagi perkembangan ekonomi kerajaan, terutama hasil pertaniannya berupa merica yang banyak diminati para pedagang internasional.
Sultan Hasanudin wafat tahun 1570, kemudian kedudukannya digantikan oleh anaknya, Pangeran Yusuf atau Maulana Yusuf (berkuasa, 1570 – 1586). Penguasa ketiga kesultanan Banten ini melakukan perluasan wilayah dengan menaklukkan Pakuwan, ibu kota Pajajaran, yang sekarang ini menjadi kota Bogor pada tahun 1579, sehingga banyak para bangsawan yang masuk Islam dan sejak saat itu kerajaan Pajajaran praktis berakhir. Maulana Yusuf memang dikenal seorang yang sangat menekankan perluaasan wilayah kerajaan ketimbang para pendahulunya. Selain menaklukkan Pakuwan pada masa kekuasaannya, ia melakukan serangan ke Palembang, melalui kota Lampung yang sudah lama menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Banten, sehingga mengakibatkan Maulana Yusuf meninggal dalam peperangan. Setelah pangeran Yusuf wafat kedudukannya digantikan oleh Maulan Muhammad yang bergelar Kanjeng Ratu Banten, kemudian kekuasaanyan dilanjutkan oleh Abdul Mufakkir Qadir.
Pada tahun 1651 kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Abdul Fatah yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa ini terjadi beberapa kali peperangan antara Banten dengan VOC karena Sultan Ageng Tirtayasa anti dengan Belanda. Sikap anti Belanda ini didukung oleh Syekh Yusuf yang berasal dari Makasar. Peperangan itu baru berakhir dengan perdamaian pada tahun 1659 M karena sikap anti belanda ini tidak disetujui oleh anaknya, Abdul Kahar yang bergelar Sultan Haji, ia lebih suka bekerjasama dengan Belanda sehingga seringkali menimbulkan konflik intern.
Oleh : Iin Zainan Ahdiana, Semester IV