Sejarah

Wanita Tangguh Masa Rasulullah, Panutan Wanita Masa Kini

Ma’had Aly – Beberapa tahun yang lalu ada seorang wanita janda yang merupakan keturunan dari bani Asad. Seorang janda kaya raya yang ditinggal mati suaminya yang bernama Abu Hallah ibn Zurarah at-Taymiy. Karena keluhuran nasab dan kemuliaan kepribadiannya serta wajah yang masih menyimpan rapi guratan-guratan kecantikan sejak muda sehingga banyak para saudagar datang meminangnya, namun semuanya ia tampik dengan halus.

Dia adalah Khadijah putri Khuwailid, istri pertama Rasulullah saw. Khadijah menikah dengan Rasulullah saw. di usia 40 tahun, sedangkan Rasulullah saw. saat itu berusia 25 tahun. Saat membina rumah tangga dengan Khadijah, Rasulullah saw. tidak pernah menikah dengan wanita lain. Dari Khadijah ini Rasulullah saw. dikaruniai tiga orang putra, yang ketiganya wafat saat masih bayi; yang pertama Qasim, namun ia wafat saat berusia 2 tahun. Yang kedua Abdullah. Putra yang ketiga adalah Ibrahim, dan wafat saat berusia 17 atau 18 bulan. Selain tiga putra, Rasulullah saw juga dikaruniai 4 putri, yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Zainab dinikahi oleh anak bibinya yaitu Abul Ash bin ar-Rabi’ sebelum hijrah. Sedangkan Ruqayyah dan Ummu Kultsum dinikahi oleh Utsman bin Affan namun waktunya tidak bersamaan. Fathimah dinikahi oleh Ali bin Abu Thalib pada waktu perang Badar dan Uhud, dari pernikahan tersebut lahir Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum.

Khadijah ra. dilamar oleh Rasulullah saw. dengan maskawin 20 ekor unta muda dengan ditemani Abu Thalib, Hamzah dan beberapa orang Quraisy, serta Hamzah yang merupakan paman termuda dan terdekat Rasul yang mengutarakan maksudnya untuk melamar Khadijah ra.

Khadijah merupakan seorang perempuan yang sangat beruntung, karena Rasulullah menikahinya sesuai dengan ajaran agama. Pada masa itu banyak sekali perempuan yang dianggap layaknya barang dagangan. Waktu itu pula ada empat macam bentuk pernikahan. Pertama, pernikahan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan Khadijah, inilah bentuk pernikahan yang dianggap sah oleh agama, yaitu seorang laki-laki meminang perempuan melalui ayahnya, menyerahkan mahar dan menikahinya. Kedua, nikah Istibdha’, yang ditujukan untuk mencari keturunan lebih baik. Praktiknya, seorang suami mengatakan  pada istrinya “jika engkau telah bersih dari menstruasi, maka datangilah si orang itu dan berhubungan badanlah dengannya. Setelah itu pihak suami akan menjauhi dan tidak menggaulinya sampai istrinya benar-benar mengandung anak dari lelaki tersebut, jika suaminya menginginkan istrinya, maka ia bisa menggauli istrinya kembali. Ketiga, nikah tawathu’. Yaitu sekelompok laki-laki berjumlah kurang dari sepuluh berkumpul. Mereka semua mendatangi seorang wanita kemudian menggaulinya. Bila wanita itu hamil dan melahirkan, maka ia memanggil sekelompok lelaki tersebut. Tatkala telah berkumpul semua, lantas si wanita berkata “Kalian tentu tahu, ini adalah pebuatan kalian, dan aku sekarang melahirkan, dan anak ini adalah anakmu wahai fulan”. Wanita itu menunjuk seseorang dari mereka yang dikehendakinya, sehingga menjadi ayahnya dan ia pun tidak bisa menampiknya. Keempat, orang-orang berkumpul untuk mendatangi seorang wanita. Mereka adalah sekelompok orang tunasusila. Mereka mengibarkan bendera sebagai tanda keberadaannya, siapapun yang menginginkan bisa menghubunginya. Jika telah hamil dan melahirkan, maka dipanggil ahli nasab untuk menentukan ayah bayi tersebut sesuai dengan pandangannya tanpa bisa ditolak.

Pada awal-awal turunnya wahyu, Khadijah merupakan orang pertama yang mengimani Rasulullah saw. dan membenarkan seluruh apa yang beliau bawa dari Allah swt. serta memberi dukungan sepenuhnya dalam melaksanakan perintah Allah swt. Dengan masuk Islamnya Khadijah binti Khuwailid, beban Rasulullah saw. semakin ringan. Jika Rasulullah saw. mendapat caci makian yang membuat beliau sedih, dengan lantaran Khadijahlah Allah swt. menghilangkan kesedihan itu. Ia menenangkan Rasulullah saw., memotivasi, meringankan bebannya, membenarkannya, dan menganggap remeh orang yang berfikiran negatif terhadap beliau.

Khadijah ra. sudah terbiasa melayani Rasulullah saw. dan tidak pernah memberikan tugasnya kepada orang lain. Beliau juga merupakan contoh yang paling hebat dalam hal mencintai suaminya. Suatu hari Khadijah ra. pernah mengamati jikalau Rasulullah saw. menyayangi budaknya yang bernama Zaid bin Haritsah, lalu Khadijah pun memberikan kepada Rasulullah sebagai hadiah. Selain itu juga, ketika Rasulullah ingin membawa salah satu keponakannya yaitu Ali bin Abi Thalib untuk tinggal bersamanya, Khadijah pun menyetujuinya dan menyediakan tempat untuk Ali.

Khadijah memang tak pernah lelah dalam membantu Rasulullah di masa sesulit apapun, dan juga mendampinginya tanpa keluh kesah. Khadijah dan Rasulullah saling menceritakan apapun yang terjadi, tidak ada rahasia diantara keduanya. Suatu hari saat Rasulullah saw. pulang dari gua Hira, beliau merasa sangat ketakutan. Pada saat sudah tenang, Rasulullah saw. menceritakan kepada Khadijah tentang kejadian yang membuat beliau takut. Sebagai wanita yang cerdas, ia mencoba meyakinkan Rasulullah bahwa yang mendatanginya bukanlah setan, tetapi malaikat. Khadijah memang selalu menguatkan Rasulullah ketika beliau bersusah payah menghadapi para penentangnya dan meringankan beban Rasul dengan berada di sisinya.

Bahkan saat Islam mengalami pemboikotan, Khadijah tidak sedikitpun berpaling dari Rasulullah saw. Justru beliau rela bersusah payah dengan keadaan seperti itu. Khadijah rela berpuasa bersama Rasulullah dan merelakan semua hartanya untuk kepentingan umat, selain itu juga Khadijah berusaha mencari bantuan kepada sepupunya yang bernama Hakim bin Nizam yang belum memeluk Islam. Sebagai nonmuslim, ia dapat membeli makanan dan mengirimkannya pada Khadijah saat malam, dan Khadijah dapat membagikannya kepada umat Islam dalam pengasingan.

Selain harus membantu Rasulullah, Khadijah juga harus mengurus anak-anaknya. Dengan mendidik anak tidak dengan memanjakannya, melainkan dibesarkan dalam kedisiplinan dan kemuliaan akhlak. Oleh karena itu, tidaklah heran jika anak-anaknya tumbuh menjadi orang yang tangguh dan berakhlak mulia. Berkat didikan Khadijah pula mereka menjadi penurut dan berbakti pada orang tua dan agamanya, terlebih lagi kepada orang tuanya. Mereka tidak pernah sekali pun membangkang, masalah jodoh dan pernikahan pun mereka tidak pernah menentang apa yang telah diputuskan oleh kedua orang tuanya. Namun, Khadijah dan Rasulullah pun tidak semena-mena.

Dalam kesehariannya, Khadijah pun suka menolong. Meskipun kaya raya, ia selalu membantu fakir miskin, orang cacat, orang yang sedang sakit, para janda, dan anak yatim, bahkan, ia pun tak sungkan membantu memecahkan masalah-masalah mereka. Khadijah selalu memerintahkan kepada pelayannya untuk tidak menutup pintu rumah kepada orang-orang miskin dan selalu menyiapkan apa yang dibutuhkan si miskin, baik itu siang atau malam hari. Orang-orang menyebut rumahnya dengan “rumah harapan dan keamanan’’. Anak-anak yatim memanggil Khadijah dengan Ummul Yatama yang berarti ibunda para anak yatim. Karena keberhasilannya mendobrak kata-kata antiwanita, dari situlah tampak kecerdasan, kekuatan kehendak, dan kekuatan karakternya, sehingga orang-orang memanggilnya Putri Quraisy atau Putri Mekkah. Lebih luar biasanya, Khadijah dijuluki thahirah yang berarti yang suci. Orang yang memberi gelar tersebut adalah orang Arab yang terkenal karena kesombongannya dan chauvinisme laki-laki.

Khadijah juga merupakan sosok yang sangat dimuliakan oleh Allah swt., termasuk orang yang dibuatkan rumah dari Qashab (mutiara yang berlubang) yang di dalamnya tidak ada suara riuh dan kelelahan. Selain itu juga, Khadijah pernah mendapat salam dari Allah swt.

Karena perilaku Khadijah yang sangat mulia, sehingga Rasulullah saw. sangat memuliakannya dan mempunyai tempat khusus di hati Rasulullah. Meskipun ia sudah meninggal dan Rasulullah sudah menikah kembali, Rasulullah saw. tetap menyanjung namanya hingga Aisyah ra. pun merasa cemburu.

Referensi:

  1. Akbas, Dian. Muslimah Mompreneur. Solo: Pustaka Arafah. 2013.
  2. Haris, M, Sibro Mulisi Alfa, M. dkk. Lentera Kegelapan. Kediri: Pustaka Gerbang Lama. 2010.
  3. Hisyam, Ibnu. 2017. Ibnu Hisyam: Sirah Nabawiyah. Cet. 9. Diterjemahkan oleh: Samson Rahman. Jakarta Timur: Akbar Media.
  4. Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. 2015. Rokhiqul Makhtum: Sirah Nabawiyah. Cet. 43. Diterjemahkan oleh: Kathur Suhardi. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.

Oleh : Azizatul Afifah, Semester VI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *