Mengenal Sosok Khalifah Ali bin Abi Thalib

Mengenal Sosok Khalifah Ali bin Abi Thalib

Ma’had Aly – Penyebaran Islam pasca wafatnya Rasulullah saw tidak lepas dari peran Khalifaur Rasyidin, yaitu: Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Khulafaur Rasyidin terdiri dari dua kata, yaitu Khulafa’ dan Ar-Rasyid. Khulafa’ merupakan bentuk jamak dari kata khalifah yang memiliki arti pengganti atau penerus Nabi Muhammad saw setelah wafat. Sedangkan Ar-Rasyid memiliki makna mendapat petunjuk dari Allah swt. Jadi, Khulafaur Rasyidin adalah para pemimpin yang bijaksana, dermawan, pemberani, setia, serta mendapat petunjuk dari Allah swt untuk menggantikan atau meneruskan tugas-tugas Rasulullah saw sebagai kepala negara dan pemimpin umat. Bukan hanya itu, Khulafaur Rasyidin juga mengemban tugas untuk mengelola pemerintahan, perekonomian, dan kesejahteraan.

Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah setelah kekhalifahan Usman bin Affan. Ketika Khalifah Usman bin Affan meninggal karena dibunuh, kursi kekhalifahan menjadi kosong. Alhasil, sebagian sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshor bersepakat meminta Ali bin Abi Thalib untuk menggantikan Khalifah Utsman bin Affan, tapi ia berulang kali menolak untuk dibaiat karena Ali berpendapat bahwa masih banyak sahabat lain yang lebih berhak untuk menduduki kursi kekhalifahan. Tetapi, para sahabat mendesak Ali bin Abi Thalib terus menerus untuk dibaiat. Sampai akhirnya pada hari Senin 21 Dzulhijjah tahun 25 H, beliau bersedia berangkat ke masjid untuk pembaiatan. Pada pembaiatan tersebut, terdapat sahabat yang terpaksa ikut membaiat Ali bin Abi Thalib, yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam.

Ali bin Abi Thalib memiliki nama lengkap Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abdul Manaf bin Qushaiy bin Killab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadr bin Kinanah. Ia lahir pada tahun kesepuluh sebelum kenabian dengan nama Asad yang diambil dari nama kakeknya jalur ibu. Namun nama tersebut tidak berlangsung lama, karena Abi Thalib tidak tertarik dengan nama itu, akhirnya ia mengganti dengan nama Ali. Ayahnya bernama Abi Thalib bin Abdul Muthalib dan ibunya bernama Fatimah binti Asad. 

Ali bin Abi Thalib merupakan menantu Rasulullah saw setelah menikahi putri tercintanya, yaitu Fatimah Az-Zahra binti Muhammad. Ia juga merupakan keponakan Rasulullah saw bertemu pada kakek beliau, yaitu Abdul Muthalib. Abdul Muthalib memiliki sembilan anak salah satunya yaitu Abi Thalib yang tidak lain saudara kandung Abdullah, orang tua Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, jenggotnya lebat dan putih, kulitnya sawo matang, dan ia sering membuat syair. Selain itu, Ali bin Abi Thalib terkenal dengan sebutan Abu As-Sabthain (ayah dua cucu Rasulullah saw).

Ali bin Abi Thalib remaja, ia merupakan orang yang pandai di kalangan pemuda Arab. Pada masa itu, jarang ada orang yang bisa membaca dan menulis, termasuk Rasulullah saw yang dijuluki ummi. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib menjadi juru tulis Rasulullah saw, ia sering menulis surat yang didikte oleh Rasulullah saw sendiri. Karena kepandaiannya, Ali bin Abi Thalib dijuluki dengan babul ilmi atau gerbang pengetahuan dan banyak hukum-hukum yang telah ia tetapkan sepeninggalnya Rasulullah saw. Bahkan para sahabat mengakui kecerdasan Ali bin Abi Thalib. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Umar berkata, “Ali adalah yang terpandai dalam masalah hukum di antara kami.”

وأخرج عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال عمر بن الخطاب: علي اقضانا

Ali bin Abi Thalib ra juga seperti khalifah sebelumnya, yang selalu bersikap adil kepada rakyat dan mengasihi orang miskin dan lemah yang terdzalimi. Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib keluar rumah dan menuju tempat para penjual kurma, ketika sampai ia melihat ada seorang wanita yang sedang menangis. Kemudian, Rasulullah saw menghampiri dan menanyainya, “Apa yang terjadi padamu?” Budak tersebut menjawab, “Saya membeli kurma seharga satu dirham, tapi tuan saya tidak mau menerimanya dan memintaku untuk mengembalikan kurma ini.” Ali bin Abi Thalib kemudian berkata kepada penjual kurma, “Hai penjual kurma, ambilah kembali kurmamu dan kembalikan satu dirham itu kepada budak perempuan ini. Karena ia hanya seorang budak yang tidak mempunyai hak apa pun.”

Mendengar perkataan Ali bin Abi Thalib, penjual kurma tersebut marah besar. Kemudian ia mendorong Ali dengan kedua tangannya. Melihat tindakan tersebut, orang-orang di sekitarnya berkata kepada penjual kurma, “Taukah kamu siapa yang kamu dorong dengan kedua tanganmu itu?” Ia menjawab, “Tidak.” Para penduduk berkata, “Ketahuilah, sebenarnya ia adalah Khalifah Ali bin Abi Thalib.”

Seketika penjual kurma tersebut menumpahkan kurmanya dan memberikan satu dirham kepada budak perempuan itu. Ia langsung meminta maaf dan meminta ridho kepada Ali bin Abi Thalib, kemudian Ali berkata, “Yang menjadikan saya memaafkan dan meridhoimu adalah jika kamu memberikan hak kepada orang-orang yang memang berhak.” Penjual kurma itu kemudian meminta maaf atas kejadian tadi dan akan mengambil pelajaran.

Selain mempunyai kepandaian yang luar biasa, Ali bin Abi Thalib juga merupakan sosok sahabat yang pemberani. Ia selalu mengikuti peperangan kecuali Perang Tabuk, ketika itu ia diminta Rasulullah saw untuk menjaga keluarga beliau di Madinah, jadi ia tidak ikut dalam Perang Tabuk. Diberbagai peperangan ia selalu diberi kehormatan untuk membawa panji-panji perang, salah satunya ketika Perang Khaibar yang berjumlah 1600 personil dari kalangan orang Muslim.

Ketika sehari sebelum Perang Khaibar, Rasulullah saw bersabda kepada para sahabat, “Sungguh besok akan ku percayakan panji-panji kepada orang yang melalui dirinya khaibar ditaklukan. Ia dicintai Allah swt dan Rasul-Nya sebagaimana ia mencintai Allah dan Rasulullah.” Malamnya, para sahabat membicarakan perihal siapa yang beruntung mendapat kehormatan mambawa panji-panji perang. Ketika terbit fajar, mereka berkumpul menemui Rasulullah saw dan berharap panji-panji tersebut diberikan kepadanya. Rasulullah melihat bertanya, “Dimana Ali?”. Mereka menjawab, “Ia sedang sakit mata.” Rasulullah saw bersabda, “Datangkan ia ke sini.” Kemudian para sahabat menjemput Ali, maka datanglah Ali dihadapan Rasulullah kemudian mata Ali diolesi ludah Rasulullah. Seketika itu matanya sembuh. Selanjutnya, Rasulullah saw menyerahkan panji-panji perang kepadanya.

Pada tahun 622 M/1 SH para kaum Musyrikin rencana melaksanakan pembunuhan Rasulullah saw. Ketika malam telah tiba, mereka bergerak mengintai kediaman Rasulullah saw. Beliau mengetahui rencana tersebut dari Malaikat Jibril kemudian meminta Ali bin Abi Thalib untuk menggantikannya tidur di ranjang beliau dan menggunakan selimut yang biasa beliau gunakan. Setelah itu, Rasulullah menerobos kepungan mereka yang saat itu penglihatannya dicabut oleh Allah swt, alhasil mereka tidak melihat bahwa Rasulullah saw telah keluar dari rumahnya.

Sementara Ali masih setia tidur di tempat tidur Rasulullah saw tanpa ada rasa takut sama sekali, sedangkan para pengepung Rasulullah saw masih menunggu-nunggu waktu untuk membunuh Rasulullah saw. Namun seseorang datang melewati tempat mereka, seraya bertanya, “Apa yang kalian tunggu?” mereka menjawab, “Muhammad.” Orang tersebut lantas berkata, “Kalian telah tertipu dan gagal, demi Allah, dia telah pergi meninggalkan kalian, dan dia telah menuangkan debu di atas kepala kalian.” Mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak melihatnya.” Lalu mereka membersihkan debu di atas kepalanya.

Mereka segera masuk ke dalam rumah Rasulullah saw dan melihat ada seorang yang tengah tidur, mereka menduga bahwa orang tersebut adalah Nabi Muhammad. Namun ternyata orang tersebut adalah Ali bin Abi Thalib ra. Peristiwa tersebut membuktikan bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan sosok yang pemberani, ia berani menggantikan Rasulullah tanpa rasa takut, sedangkan hal tersebut sangat membahayakan bahkan bisa saja dia akan terbunuh oleh orang-orang Quraisy.

Pada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, orang Muslim terpecah menjadi tiga golongan yaitu orang yang mengikuti Ali bin Abi Thalib, orang mengikuti Mu’awiyan bin Abu Sufyan, dan Khawarij. Kaum Khawarij adalah kaum yang memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Karena kekesalannya, mereka mempunyai rencana untuk membunuh Amr bin Ash, Mu’awiyah, dan Ali bin Abi Thalib. 

Pada hari jum’at tanggal 17 Ramadhan 40 H, mereka melancarkan rencananya. Orang yang ditunjuk untuk membunuh, yaitu Abdullah bin Muljam AL-Muradi, Amr bin Bakr At-tamimi, dan al-Bark bin Abdullah at-Tamimi. Tetapi, rencana pembunuhan mereka gagal kecuali Abdullah bin Muljam, ia berhasil menebas pedangnya yang dilumuri racun di badan Ali bin Abi Thalib, dan akhirnya ia meninggal karena terbunuh oleh Abdullah bin Muljam.

Referensi

Imam As-Suyuthi, Tarikh khulafa, Terj. Muhammad Ali Nurdin, Jakarta: Qisthi Press, 2019.

Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum, Bahtsun fi as-Sirah an-Nabawiyah ‘ala Shahibiha Afdhalushshalati wa As-Salami, Terj. Abdullah Haidir, Jakarta: Griya Ilmu, 2005.

Qosim Ibrahim dan Muhammad A, Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semeste, 2014.

Ali Muhammad As-Salabhi, Biografi Ali bin Abi Thalib,Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012.

Majdi Fathi Sayyid, Mari Mengenal Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Kontributor: Umi Fadilah, Semester V

Leave a Reply