Islam Nusantara Benih Kebangkitan Dunia Islam

Islam Nusantara Benih Kebangkitan Dunia Islam

Tepat setelah penutupan MASTAMA pada minggu malam, Ma’had Aly Jakarta gelar Studium Generale pada Senin pagi, (07/08).

Kuliah umum perdana ini bertema “Aktualisasi Sejarah dalam Manhaj Islam Nusantara” dengan narasumber Direktur Islam Nusantara Center, Dr. Ahmad Ginanjar Sya’ban, M.Hum. Acara ini digelar di gedung pendopo lantai 2 Ponpes Asshiddiqiyah Jakarta dan dihadiri rektor, dosen dan seluruh mahasantri Ma’had Aly Jakarta.

Di awal acara, wakil rektor Ma’had Aly, Ustadz Noor Salikin, SH berharap kuliah umum perdana ini bisa menjadi lecutan untuk membangun cita-cita masa depan mahasantri. Juga sebagai misi ke depannya mengaktualisasikan sejarah dalam dua hal, yaitu sejarah menjadi pijakan dakwah dan sejarah dijadikan pijakan untuk penelitian atau peradaban di masa depan.

Hal serupa juga dikatakan oleh rektor Ma’had Aly Jakarta, Drs. H. Abdul Khaliq MA, dari teori sejarah masuknya Islam di Indonesia dapat diambil intisari jika tidak ada pendidikan Islam di Indonesia yaitu pesantren, maka tidak akan ada umat Islam di Indonesia.

Sejak awal berdirinya, pesantren selalu dinamis dengan perkembangannya. Dibangun di pusat kota, kemudian demi menghindari konfrontatif fisufis maka berpindah ke daerah terpencil hingga kemudian kembali tersebar hingga pusat kota. Menukil perkataan KH. Hasyim Muzadi, Indonesia dengan trans-ideologinya, ia bisa dimasuki berbagai ideologi manapun.

Keistimewaan Islam Nusantara, dalam pemaparannya oleh Dr. Ahmad Ginanjar Sya’ban, M.Hum, ia menukil teori mengenai masa depan kebangkitan dunia Islam bukan dari timur tengah, melainkan di wilayah Asia timur yaitu Nusantara.

Dua peristiwa besar di abad yang sama mengawali pembahasan mengenai Islam Nusantara, yaitu Islamisasi Eropa berawal dari Islamisasi Byzantium oleh Sultan Fatih pada tahun 1453. Ia berhasil menaklukkan Konstantinopel serta mengislamkan imperium Byzantium serta menjadikannya sebagai pusat kota Islam.

Peristiwa kedua, Islamisasi Majapahit oleh Sultan Raden Fatah pada tahun 1475. Beberapa tahun setelahnya, pada tahun 1549 Sunan Kudus membangun masjid Al-Aqsha yang bangunannya merupakan hasil akulturasi budaya.

Dari sikap toleransi para penyebar Islam di tanah jawa itu dapat disimpulkan betapa mereka tidak ingin menyakiti kearifan budaya lokal masyarakat Jawa. Dari berbagai manuskrip dasar pemaparannya, ia berpesan pada mahasantri “Penting untuk menuliskan gagasan-gagasan yang tersampaikan oleh guru-guru kalian”, tegasnya. (MH)

Leave a Reply