Sumber Petaka : Gagap Literasi Digital

Sumber Petaka : Gagap Literasi Digital

Suatu hari, aku diminta bantuan mahasiswa ; buku rekening pencairan tidak bisa digunakan karena Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak terdeteksi pihak bank. Dia meminta izin pulang untuk mengurus problem tersebut. Tidak langsung memberikan izin -karna terkait ketertinggalan belajar- dan aku mencoba mencari informasi di internet. Ternyata, hal tersebut bisa diselesaikan secara online, tidak memerlukan biaya dan waktu berhari-hari.

Kisah diatas merupakan realitas sederhana yang aku temui sendiri. Hidup di zaman digital yang serba canggih, namun belum bisa memanfaatkan fasilitas tersebut dengan baik. Jika kejadian diatas menimpa orang kelahiran 80-an, bisa dimaklumi. Namun, ternyata anak tersebut masuk kategori pasca milenial.

Disaat lain, aku menemukan sebuah group whatshap yang berisi kebanyakan doktor berdebat soal pencairan beasiswa. Padahal, sedari awal sudah dijelaskan dengan gamblang oleh pihak pengelola beasiswa: ada proses yang harus dilalui antar kementrian, ada tahapan birokrasi dan antrian yang mengular dari pihak bank rekanan. Mereka tidak mau membaca dan memaknai dengan baik bacaan. Hanya butuh jawaban yang dia mau. Ya, milenial memang didesain berfikir pragmatis, harus serba dan cepat diadakan, layak mie insntan. Apakah ini berbahaya? Tentunya berpengaruh soal ketahanan mental. Psikologis pragmatis, butuh banyak healing, karna terlalu banyak kecewa terhadap ekspektasi pribadinya.

Jalan hidup itu pilihan, seperti menerima suatu pekerjaan ; pasti ada resiko plus dan minusnya. Bisa dibayangkan, jika semua manusia mendapatkan semua yang dia inginkan ; apa tidak tumpang tindih kebutuhan dan yang terjadi hanya petaka sosial? Layak cinta segitiga ; kau miliku, dan aku miliknya, akhirnya milik bersama. Lha, agama datang dalam rangka membatasi iradah/ keinginan/ fantasi manusia.

Kembali lagi, berbicara soal dunia informasi yang serba digital dan tranformasi yang secepat kilat; dunia pendidikan harusnya lebih bisa merespon pola perubahan sosial. Sejak dibangku kesarjanaan, mahasiswa diajari mencari sumber yang kredibel dan otentik, tidak asal mencomot informasi dari sana-sini. Apalagi jika dia lulusan pesantren, sejak dini sudah diberikan analisa buku yang mu’tamad (layak dijadikan pegangan) dan ghairu mu’tamad (masih dipertanyaakn keabsahanya).

Ternyata, tidak hanya soal pencarian sumber masalahnya. Tapi juga soal proses mengelola sumber informasi ; sudut pandang mana yang dipakai? partial atau komprehenship? subjektif atau objektif? atau hanya sekedar like or dislike? Ini tergantung wawasan bacaan dan kedewasaan mental pembaca. Otak manusia ketika menerima informasi, biasanya diolah berdasar yang ia suka, dan yang ia pahami. Jika sesuai, dia akan mendukung dan memberikan argumentasi. Jika tidak sesuai ; dia bisa mendiamkan dan membiarkan, atau memberontak dan melawan, tergantung keberanian dan kenekatan.

Setelah selesai mengolah informasi, tidak terhenti disini. Tapi ada tahapan selanjutnya, yaitu bijaksana menyebarkan informasi. Contoh sederhana : Group Whatshap khusus mahasiswa doktor, dikirim perihal berita anak laki-lakinnya yang baru selesai disunat. Informasi sunat tersebut mungkin benar dan baik, akan tetapi tidak layak dan tidak bijak untuk dipublikasikan ke group yang harusnya membahas perkuliahan, tugas dan perkembangan disertasi.

Nur Salikin,

Penerima BIB Kementrian Agama 2022, SPs UIN Jakarta.    

Leave a Reply