DANA ABADI PESANTREN : REALISASI UNTUK SIAPA?

DANA ABADI PESANTREN : REALISASI UNTUK SIAPA?

Diskursus Pesantren memang tidak ada habisnya. Gus Dur era 70-an, menggulirkan tema-tema menggelitik terkait pesantren, yang disebut sebagai ‘subkultur’. Maklum saja, era tersebut pesantren sebagai subkultur ‘tradisional’ dari kultur ‘modern’ yang mendominasi, yang berdaya untuk menolak narasi yang berlaku di kultur yang menghegemoni.

Namun, pengenalan pesantren sebagai subkultur harus ditinjau ulang, apalagi setelah banyak pesantren yang mendirikan sekolah formal. Pesantren seolah kehilangan daya untuk mempertahankan ciri khas dan menolak budaya modern, bahkan bahasa Amin Mudzakir ‘dibentuk ulang’ oleh kapitalisme neoliberal. Ketidak-berdayaan ini, secara gamblang bisa dilihat ketika negara menawarkan standarisasi model pendidikan baik di bawah Kemendikbud ataupun Kemenag, bahkan bisa dibilang ‘latah’ untuk berduyun-duyun mendirikan instansi baru.

Terlebih lagi, ketika disahkanya UU Pesantren no.18 tahun 2019 yang secara langsung menghujam masuk dalam relung nadi pesantren. Jelas,  pesantren adalah bagian dari pendidikan nasional yang harus diberikan afirmasi, rekognisi maupun fasilitasi. Anggaran Pendidikan Pesantren tidak hanya bisa diakses melalui dana hibah pemerintah. Disisi lain, sebagai konsekuensi lebih lanjut, pesantren harus mau diatur dan diminta pertanggung jawaban transparansi oleh negara.

Sebelumnya, wacana tentang perlunya Undang-Undang yang mengatur pesantren sudah dikemukakan sebelum diterbitkanya UU Sisdiknas tahun 2003, yang kemudian diikuti oleh PP nomor 55 tahun 2007 yang ternyata juga sama ; menempatkan pesantren sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam jalur pendidikan non-formal. Fakta ini dilihat oleh banyak kalangan, bahwa pemerintah belum secara utuh mengakui praktik pendidikan pesantren yang dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Padahal, realitas yang ada sudah banyak model jenjang pendidikan pesantren yang berjalan, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Namun akhirnya, Rapat Paripurna DPR pada hari Selasa 24 September 2019, mensahkan RUU Pesantren. Yang di dalamnya, terdapat 3 fungsi pesantren: sebagai fungsi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Fungsi Pendidikan hanya ada 4 entitas : Pendidikan Diniyah Formal, Pendidikan Muadalah, Perguruan Tinggi Mahad Aly dan Pesantren Salaf sebagai afirmasi kepada pendidikan non-formal dalam pesantren.

Walhasil, adanya UU Pesantren tersebut menjadi landasan hukum atas jaminan kesetingkatan mutu lulusan, kesetaraan akses pendidikan dan lulusan, dan kesetaraan dalam kesempatak kerja. Termasuk juga pengakuan atas kualifikasi, kompetensi, dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan pada pendidikan pesantren.

Selanjutnya, sudah sampai sebatas mana keseriusan pemerintah melakukan tugasnya pasca ada UU Pesantren? Setidaknya, satu tahun setelah disahkan sudah menghasilkan Peraturan Presiden (Perpres) no. 82 tahun 2021 terkait Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Anggaran Penyelenggaraan Pesantren bisa sumber dari : Masyarakat, Pemerintah Pusat dan Daerah, Dana Abadi Pesantren, juga Sumber lain yang sah dan tidak mengikat (hibah, perwalian, badan usaha, dll). Akses dari semua lini sudah resmi terbuka, tinggal membangun hubungan baik dengan pihak yang terkait.

Yang menjadi menarik, pada tahun 2023 ini pemerintah berencana untuk membagi Dana Abadi Pendidikan, dengan adanya keinginan untuk mengimplementasikan aturan terkait Dana Abadi Pesantren. Jika dilihat dari data BPS, total semua murid dari SD-Mahasiswa di Indonesia ada 25,2 juta. Sedangkan, jumlah santri di Indonesia ada 4,37 juta. Tentunya data ini saling beririsan. Anggap saja 20 juta sekian itu siswa di luar pesantren, dan sisanya adalah santri. Atau bisa dibilang jumlah santri itu 25% dari total keseluruhan murid di Indonesai. Sehingga, harusnya rasionalisasi anggaran untuk pesantren juga cukup besar.

Kemudian, jika sudah ada niatan implementasi, untuk siapakah Dana Abadi Pesantren ini? Berdasar Perpres no. 82 tahun 2021 Pasal 23 ayat 4 dituliskan : “Pemanfaatan Dana Abadi Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk penyelenggaraan fungsi pendidikan pesantren”. Dalam ayat di atas, secara langsung menyebutkan bahwa dana tersebut hanya untuk Fungsi Pendidikan Pesantren, bukan fungsi-fungsi lainya. Artinya, Dana Abadi Pesantren khusus untuk : Pendidikan Diniyah Formal, Muadalah, Mahad Aly dan Pesantren Salaf atau non-formal.

Dus, apakah Pendidikan Pesantren terlihat ‘mengkooptasi’ anggaran tersebut? Padahal, di dalam pesantren ada lembaga lain seperti Madrasah/SMA/ SMK dan lainya? Tidak juga. Pagu Anggaran intansi dibawah direktorat lain, sudah Triliun, sedangkan Pendidikan Pesantren dibawah Pendidikan Diniyah dan Mahad Aly (PDMA) baru kisaran puluhan Milyar, pun itu jikalau tidak direfocusing untuk ‘kepentingan’ yang lain.

Tafkir

Nur Salikin

 

Leave a Reply