Virus Corona dan Salat Jumat

Virus Corona dan Salat Jumat

Ma’had Aly


(Studi Kasus Kebolehan Meninggalkan Salat Jumat karena Virus Corona di Masjid Baitul Makmur Asshiddiqiyah, Kebon Jeruk)

Sebelum membahas terkait hukum Islam terkait salat udzur salat Jumat. Sebaiknya, kita menyimak fakta terlebih dahulu. Gubernur Jakarta, Anies Baswedan membuka peta sebaran pasien positif COVID-19 dalam konferensi pers di Balai Kota Jakarta, Jumat (13/3/2020).

Pada hari itu, berdasarkan gambar tersebut, terlihat keberadaan 17 pasien positif COVID-19 yang tersebar di beberapa kecamatan, yakni: Tanjung Priok (2), Kelapa Gading (2), Kramat Jati (1), Pancoran (1), Cilandak (1), Mampang Prapatan (2), Kebayoran Baru (1), Kebayoran Lama (2), Kebon Jeruk (1), Kembangan (1), Cengkareng (2), dan Penjaringan (1), sementara yang masih menunggu hasil tersebar di hampir seluruh kecamatan Jakarta.

Dalam laman resmi corona.jakarta.go.id disebutkan, hingga saat ini pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 330 kasus dan orang dalam pemantauan (ODP) sebanyak 813 kasus. Namun tidak disebut atas jumlah total pasien positif yang berada di DKI Jakarta.

Berdasarkan data di atas, dilihat dari area Masjid Baitul Makmur yang berada di daerah Kebon Jeruk, sangat berpotensi adanya penyebaran virus Corona. Terlebih lagi, banyak warga sekitarnya adalah ras Tionghoa. Dimungkinkan, terjadi mudik besar-besaran ke China sewaktu imlek tiba. Dan sudah umum diketahui, bahwa persebaran virus tersebut pertama kali di Wuhan, China.

Lalu, dengan situasi yang sangat potensial seperti itu, bolehkah warga sekitar meninggalkan salat Jumat dan menggantinya dengan shalat Dzuhur? Jawaban kami : Boleh.

Ada beberapa dalil yang mendukung pernyataan tersebut, di antaranya :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَمِعَ
الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ
مَرَضٌ لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلَاةُ الَّتِي صَلَّى.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,“Barangsiapa yang mendengar azan dan tidak punya alasan sehingga tidak menjawabnya (mendatanginya).” Para Sahabat bertanyabertanya, “Apakah alasan (udzhur) itu?” Beliau menjawab,” Takut atau sakit, maka tidak diterima shalat yang dia kerjakan.” (HR. Abu Daud: 464)

“Takut” dalam hadis ini bisa dimaknai dengan takut akan tertularnya virus, karna penyebaranya begitu cepat dan mematikan, juga belum ditemukan vaksinya sampai detik ini.

Pernah juga terjadi, dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim, sebab dikarenakan hujan diperbolehkan bagi umat muslim untuk tidak melaksanakan salat Jamaah di masjid.

وروى البخاري 668، ومسلم  699 واللفظ له ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الحَارِثِ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ : ” إِذَا قُلْتَ : أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، فَلَا تَقُلْ : حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ، قُلْ : صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ ” ، قَالَ : فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ ، فَقَالَ: ” أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا ؟! ، قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي ، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ ، فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ

Dari Abdullah ibn Abbas, bahwasanya dia berkata kepada seorang muadzzin ketika terjadi hujan lebat, “Saat kamu mengumandkan Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah, maka jangan kumdangkan Hayya ‘Ala al-Shalat, akan tetapi ucapakanlah, Shallu fi Buyutikum (salatlah di rumahmu).” Saat itu, para sahabat seolah-olah menentang seruan Ibnu Abbas tersebut. Ia berkata, “Orang yang lebih baik dari diriku telah melakukannya. Sungguh (salat) hari Jumat itu merupakan hukum asal (azimat), akan tetapi aku tidak ingin menyulitkan kalian dengan berjalan di tanah liat dan tempat yang licin.” (HR. al-Bukhari: 3423)

Hadis tersebut menunjukan, Rasulullah memerintahkan untuk meninggalkan jamaah karna adanya masyaqqah (sesuatu yang memberatkan) sebab hujan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa virus itu lebih besar masyaqqahnya daripada hujan. Maka dari itu, mengimplementasikan rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan salat Jumat di masjid ketika wabah melanda, itu sesuai dengan syariat, baik konsep akal maupun fikih. Tentunya, diganti dengan melaksanakan shalat dzuhur di rumah atau tempat yang tidak begitu ramai.

Selanjutnya, ada hadis panjang yang diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Hambal, yang menunjukan terkait pentingnya isolasi diri ketika terjadi wabah atau pandemik menyebar:

فلَمَّا مَاتَ اسْتُخْلِفَ عَلَى النَّاسِ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ فَقَامَ فِينَا خَطِيبًا فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ إِذَا وَقَعَ فَإِنَّمَا يَشْتَعِلُ اشْتِعَالَ النَّارِ فَتَجَبَّلُوا مِنْهُ فِي الْجِبَالِ

“…Kemudian ‘Amr bin al-Ash menggantikan kedudukannya untuk memimpin orang-orang. ‘Amr bin Ash memilih kebijakan yang berbeda dengan kedua sahabat di atas tadi. (Ia lebih memilih bersikap rasional) Ia berdiri menyampaikan khutbah di hadapan masyarakat, “Wahai manusia! sesungguhnya jika wabah ini menjangkiti (suatu negeri) maka dia akan melahapnya sebagaimana menyalanya api, maka menghindarlah kalian ke gunung-gunung.””

Ketika Syam dipimpin oleh Amr bin Ash inilah korban wabah menular itu dapat ditekan untuk kemudian hilang. Ia menempuh kebijakan mengisolasi orang-orang yang sakit ke bukit-bukit, hingga penularannya tidak semassif sebelumnya. Meski demikian, menurut catatan para sejarahwan seperti al-Shafady dalam al-Wafi bi al-Wafayat, atau juga al-Nuwairi dalam kitab Nihayah al-Arab fi Funun al-Adab, wabah yang melanda Syam tahun 18 H ini telah menelan korban jiwa sebanyak 25 ribu orang meninggal dunia saat itu.

Dalam hadis terakhir ini lebih simpel lagi, dikarenakan memakan bawang, Rasulullah memerintahkan salah satu sahabat (Ayub al-Anshari ra.) untuk salat di rumah saja. Alasanya, agar tidak menyakiti jamaah yang lain karna bau yang tidak sedap yang timbul dari bawang.

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «من أكل ثومًا أو بصلًا فليعتزلنا أو قال: فليعتزل مسجدنا وليقعد في بيته.

“Dari Jabir bin Abdullah ra. sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Orang yang makan bawang putih atau bawang merah, maka jauhkanlah diri kalian dari kami (dalam riwayat lain: dari masjid kami), dan menetaplah di rumah.” (HR. al-Bukhari)

Kemudian, jika dikaji dalam kaidah fikih, tentunya banyak sekali konsep yang mendukung hal di atas, di antaranya : La dlorara wa la dlirara (tidak boleh membahayakan diri, dan membahayakan orang lain), Dar al-mafasid muqadam ala jalb al-mashalih (menolak kemafsadatan didahulukan daripada mencari kemaslahatan), ad-Dlarar yuzal (bahaya harus ditolak), konsep Syad dzari’ah (mencegah bahaya lebih besar terjadi) dan lain-lain.

Jika ada sebuah pertanyaan : Loh, ketika perang saja kita masih diwajibkan salat khauf bersama-sama, kenapa hanya karna sakit harus salat di rumah?

Dalam bahasa usul fikih, mungkin pembuat pernyataan berpendapat bahwa lingkungan yang tersebar virus corona itu masih disebut dlarar mutawahim (kerusakan yang belum pasti). Tentunya, Qiyas ini berbeda, walaupun sama-sama karena khauf (takut). Perang musuhnya jelas, sedangkan wabah virus ini tidak jelas. Toh, dalam madzhab Syafi’i, orang diperbolehkan bertayamum karna takut penyakitnya tambah parah, tentunya atas lisensi dari dokter terpercaya ; virus Corona ini jelas ada imbauan dari pakar virus, baik kedokteran, pemerintah, maupun pemuka agama untuk melakukan social distance, tentu itu bisa menjadi alasan yang sangat masuk akal juga.

Terakhir, jadi teringat ketika musim gempa bumi tahun lalu, ada sebuah video memperlihatkan: masih mempertahankan jamaah di masjid ketika gempa sedang terjadi. Kalau menurut celotehan santri: “Yakin, boleh. Tapi gila, jangan.” ketika shalat, didepanya ada ular saja, dalam fikih klasik diperbolehkan untuk menyingkir, apalagi gempa?

Tangerang, 18 Maret 2020

Nur Salikin, Mahad Aly Jakarta

Leave a Reply