Kelahiran Mahad Aly didasari akan tesis pentingnya kaderisasi dalam tubuh pesantren. Sebagai lembaga pendidikan asli Nusantara, tentu penerusnya berkewajiban untuk merawat dan melestarikan. Tidak hanya cagar budaya yang merupakan peninggalan hadlarah (peradaban), namun tsaqafah (keilmuan) itu lebih penting untuk terus digali dan dilanjutkan tsarwah-nya.
Jika melihat dari sejarah, data menunjukan sejak tahun 90-an Mahad Aly Situbondo sudah lahir dari rahim pesantren. Tidak sembarangan, bermula dari forum-forum kecil-lokal, sampai pada pembicaraan forum internasional. Dari Kiai desa, sampai disowankan kepada Syaikh Yasin al-Fadani, Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki, dan Sayid Ismail bin Ustman al-Yamani.
Tidak ketinggalan juga, Kiai Ali Maksum dan Kiai Sahal Mahfudz juga sangat mengapresiasi, dan berharap lebih dari alumni Mahad Aly ini. Dalam sebuah stetmen, Mbah Ali pernah berkomentar kepada Kiai As’ad : “Kalau begitu, As’ad akan mencetak ketua Syuriah NU tahun 2000-an”. Ekspektasi terkait kaderisasi ulama itulah sebagai tujuan utamanya.
Namun, kontekstualisasi makna ‘ulama’ perlu diperbincangkan kembali pada era yang serba kapital dan pragmatis ini. Tidak dalam rangka kemunduran, tapi elaborasi zaman yang sedemikan cepat perubahanya. Sederhanya, jika orang dulu belajar di pesantren tanpa embel-embel ijazah, tapi sekarang berbeda, mengutip statmen Kiai Afifudin Muhajir “Syahadah fi akhiri zaman, kal mukjizah inda al-Nabi” (sahadah atau ijazah di zaman akhir ini, ibarat mukjizat yang melekat pada Nabi). Jauh sekali perbedaanya dengan pendidikan era dulu.
Meyikapi semua itu, sudah 25 tahun Mahad Aly berjalan sedemikian rupa tanpa legalitas, dan sudah menelorkan kader-kader ulama yang laur biasa, berdasar PMA no.71 tahun 2015, Mahad Aly mulai diafirmasi oleh negara dengan diberikannya 13 SK Izin Oprasional oleh Bapak Lukman Hakim S, yang bertempat di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang (30/05/2016). Generasi pertama (assabiqunal awalun) inilah yang cukup lama berjuang, hingga disahkannya Undang-Undang no.18 tahun 2019 terkait Pesantren.
Setelah UU Pesanten disahkan, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Khusus Mahad Aly saja, setidaknya harus ada minimal 5 Peraturan Mentri dan 2 Keputusan Mentri Agama, belum lagi syarah-nya yang berupa aturan dirjen. Dan dari beberapa aturan, yang paling subtansial ada 4 hal : Pendirian Mahad Aly, Status Dosen dan Tenaga Kependidikan, Pangkalan Data Terintregasi, dan Standar Nasional Mahad Aly. Namun, nahasnya setelah UU berjalan 3 tahun lebih, baru Peraturan Mentri Agama no.32 tahun 2020 yang terbit. Padahal, dalam butir Undang-Undangnya, aturan-aturan tersebut harus sudah diterbitkan maksimal 1 tahun terhitung sejak diundangkan.
Rasionalisasi adanya aturan turunan memang super penting, contoh saja dengan belum adanya aturan Pangkalan Data yang Terintregasi, status alumni yang masih sering dipertanyakan oleh kampus-kampus lain, walaupun dari ‘kamar’ yang sama. Tidak hanya untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi, tapi dalam bursa penerimaan kerja nasional juga dipertanyakan, termasuk dari ‘kamar’ yang sama juga. Aneh bukan? Legalitas terasa menjadi ‘semu’.
Bagian dari contoh lainya, aturan status dosen dan tenaga kependidikan yang masih terlonta-lonta. Tidak teregister oleh negara. Hal itu menyisakan problem yang cukup serius ; dari nomor induk dosen, homebase, jenjang karir, dan aktifasi untuk eksis penelitian. Stagnan semua. Belum lagi kerjaan yang lebih berat dan serius, perihal aturan standar nasional Mahad Aly yang berimbas kepada akreditas dan green design distingsi-excellence Mahad Aly ke depan.
Yang menjadi pertanyaan besarnya : letak problematiknya ada dimana? Penulis mau tuliskan panjang kali lebar, tapi terlalu ‘tabu’. Berdo’a saja. Alfatehah.
Tafkir
Nur Salikin