Pesantren sebagai Model Ideal Pendidikan

Pesantren sebagai Model Ideal Pendidikan

Pondok Pesantren sering diibaratkan sebagai bengkel kehidupan, yang membenahi onderdil-onderdil mesin yang rusak. Jika sudah membaik, berarti ia sudah tidak butuh montir lagi untuk membuat balance dan suport kendaraan. Hingga nyaman dipakai.

Salah satu pendidikan yang sangat manusiawi, dan merupakan pengejawantahan terhadap replika kehidupan sosial adalah pesantren. Dimana murid diajarkan spiritual tidak hanya berbasis teori, tapi juga amalan. Tidak hanya mengasah sisi nilai kognitif, tapi juga yang berhubungan dengan skill dan spiritualitas. Bukan hanya berbasis kompetisi, tapi juga lebih kepada sistem kolaborasi. Pesertanya namanya ‘santri’, pengajarnya ‘ustad’, guru besarnya ‘Kyai’, dan nama tempatnya ‘pesantren’.

Pesantren sendiri banyak memiliki ciri khas masing-masing tergantung faktor geografis dan kelebihan dari Guru besar masing-masing. Tidak homogen semua sama. Akan tetapi akademik-heterogen. Contoh saja di Jawa Barat ; terkenal dengan spesialis ilmu alat (nahwu, shorof, balaghoh dll), sedangkan di Jawa Timur ; terkenal dengan ilmu fikihnya, dan  di Jateng dan Banjarmasin lebih masyhur dengan ilmu tasawuf dan tempat-tempat yang lain.

Heterogensi pesantren merupakan kekayaan umat Islam di Indonesia. Rata-rata, perbedaan itu muncul karna jalur pembelajaran dari Kyai-nya berbeda. Guru besar/Kyai yang lulusan Yaman, tentunya lebih ke arah tasawuf. Jika Kyai-nya lulusan Mesir, rata-rata lebih menonjol kepada Fikihnya. Dan jika belajar dari Pakistan dan Makkah/Madinah, mayoritas lebih ahli dalam kajian haditsnya.

Ada juga yang membedakan pesantren dengan macam-macam kegiatanya. Ada pesantren ‘kejadugan/hikmah’ yang khusus mempelajari ilmu-ilmu untuk pertahanan diri dari kejahatan dan menata diri dari emosi merusak, ada juga pesantren rehabilitasi yang mengurus orang-orang bekas pecandu miras, narkoba, dan sebagainya. Ada lagi pesantren anak yatim, pesantren khusus tafaquh fi ad-din (khusus belajar agama terutama fikih) dan lain-lain.

Keunikan tersebutlah yang membuat pesantren ‘langgeng’ (lama berdiri).      Akan tetapi, abad modern ini pesantren mulai terkikis oleh sistem pendidikan yang kapital dan pragmatis. Banyak pesantren yang menawarkan model pembelajaran agar selalu eksis dengan perkembangan zaman. Tidak melalui sistem klasikal, tapi juga banyak mendirikan sekolah-sekolah umum. Hanya sedikit saja, pesantren masih mempertahankan karakternya, dengan alasan ‘berkah keilmuan’.

Salah satu keunggulan sistem pesantren sejak dulu adalah herarki pendidikan pesantren, di mulai dari tingkat ula (SD), Wustho (SLTP) dan Ulya (SLTA), dengan bangunan kurikulum yang saling berkesinambungan, dan kitab-kitab yang saling urut satu sama lain. Misal, bisa kita lihat dari mata pelajaran Fikih : dari Safinatun Naja yang notabene kitab kecil sebagai dasar anak-anak,  kemudian lanjut Abi Suja’ yang sudah mulai meluas sedikit, dilanjut dengan Fathul Qorib ala syarah Abi Suja’ kemudian Fathul Mu’in yang penuh dengan dealetika sampai Fathul Wahab dan Bajuri, selanjutnya baru menginjak ke perbandingan madzhab seperti Bidayatul Mujtahid yang berisi terntang dalil-dalil dialetika antara para pengikut madzab yang berbeda, dan kalau ingin lanjut biasanya ke Syarah Muhadzab yang berjilid-jilid dan penuh dengan dalil-dalil perbedaan pendapat antar ulama’.

Hal diatas diberlakukan untuk memberikan dasar pengetahuan  keagamaan yang kuat. Agar tidak asal-asalan dalam menentukan hukum agama. Ilmu yang diawali dengan dasar yang kuat, niscaya akan tahan lama dan lebih profesional, baik dalam bertindak/beramal ataupun menentukan pendapat. Tidak asjep (asal jeplak, jawa red.) dan akhirnya, akan lebih bijak dan hati-hati dalam berfatwa/menentukan pendapatnya.

Tidak seperti da’i-da’i yang sekarang kita lihat, belajar instan dari terjemahan al-Qur’an dan Hadist, tapi banyak berkomentar terhadap hasil kajian-kajian ulama’ terdahulu yang jenius dan kompleks keilmuanya, dan  akhirnya ‘da’i instan’ tersebut banyak menuai kontroversi dan kegaduhan di masyarakat.

Herarki selanjutnya dalam pendidikan pesantren adalah Ma’had Aly, setingkat dengan perkuliahan. Baru tahun 2015 diresmikan oleh Kementrian Agama RI ; Lukman Hakim S, melalui PMA no.71 tahun 2015. Tingkat tertinggi model pembelajaran di pesantren. Sebagai kader penyebar agama Islam yang akan di sebar ke seluruh penjuru dunia. Pembelajaran di Mahad Aly lebih kepada kajian kritis terhadap teks-teks keagamaan, bukan mengkritisi agama (seperti yang dilakukan para orentalis) akan tetapi mengkaji lebih dalam bidang ilmu keagamaan.

Hebatnya, pendidikan  yang memiliki formalitas/izin, tapi memiliki hak penuh dalam penentuan kurikulum, salah satunya adalah satuan pendidikan Ma’had Aly. Kampus yang tidak ada intervensi apapun dari pemerintah. Peraturan-peraturan perundang-undangan benar-benar diangkat dari bawah (masing-masing stakholder Mahad Aly) dan dilaksanakan disatuan pendidikan masing-masing.

Semoga tetap bisa eksis, Pesantren.

Leave a Reply