ASESMEN DAN 6 PROBLEM UTAMA MAHAD ALY

ASESMEN DAN 6 PROBLEM UTAMA MAHAD ALY

MAHADALYJAKARTA.COM – Sayed Muhammad Naquib al-Attas, salah satu tokoh filsafat pendidikan dunia Islam kelahiran Bogor, menganalisis bahwa yang menjadi penyebab kemunduran dan degenerasi kaum muslimin justru bersumber dari kelalaian mereka dalam ‘merumuskan dan mengembangkan’ rencana pendidikan yang sistematis berdasarkan prinsip-prinsip Islam secara terkoordinasikan dan terpadu. Starting point-nya adalah perencaaan yang baik (termasuk niat yang tulus-ikhlas), melahirkan output yang berkualitas.

Selama bulan Juni 2023 kemarin, ada agenda besar sudah dilaksanakan stakeholder Mahad Aly, yaitu asesmen kepada 54 instansi Mahad Aly di seluruh Indonesia. Walaupun secara logika pendidikan, akreditasi itu hanya dilakukan badan khusus independen seperti Ban-PT atau LAM, namun assesmen perguruan tinggi pesantren kali ini diinisiasi oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren bekerjasama dg beberapa Tim Ahli/ Asesor di bawah Kementrian Agama RI. Hal tersebut dilakukan sebagai jalan keluar atas kebutuhan dan kebuntuan selama 6 tahun pasca diberikan izin oprasional sebagain Mahad Aly dan belum siapnya team bentukan Majlis Masyayikh.

Istilah yang digunakan Mahad Aly adalah Asesmen, makna kata ini sebenarnya bertumpu pada proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengetahui kebutuhan belajar, perkembangan, dan pencapaian hasil belajar peserta didik, yang hasilnya kemudian digunakan sebagai bahan refleksi serta landasan untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Maka tidak heran, selain ‘mengintip’ persoalan berkas proses pembelajaran, dosen, dan hasil karya-karyanya, seperti layaknya akreditasi ; para asesor pada asesmen kali ini lebih fokus pada mahasantri, dengan pola tes wawancara dan membaca kitab, dilakukan untuk mengetahui kemampuan dan kapabilitas peserta didiknya secara langsung.

Tidak jauh berbeda dengan istilah Akreditasi sebenarnya, fungsinya sama sebagai instrumen regulasi diri (self-regulation), dengan maksud agar suatu agar kampus dapat memahami kekuatan dan kelemahan diri; dan berdasarkan atas pemahaman kekuatan dan kelemahan diri tersebut, kampus dapat melakukan perbaikan mutu secara berkelanjutan (quality continues improvement). Akreditasi lebih mencangkup banyak hal, dan asesmen lebih bertumpu pada peserta didik. Tapi, keduanya sama-sama mengevaluasi dan bertujuan untuk perbaikan mutu berkelanjutan.

Sejauh pandangan penulis, ada satu hal yang tidak tersentuh pada prose asesmen ini, yaitu pada level Ta’dib yang berarti pembinaan yang khas berlaku pada manusia, harus terkumpul Ma’rifah (pengetahuan), Ta’ilm (pengajaran), dan Tarbiyah (pengasuhan). Ta’dib itu berdasar disiplin tubuh, jiwa dan ruh, menghubungkan antara jasmaniyah, intelektual, dan rohaniah. Tujuan akhirnya, mengenal dirinya sendiri, dan mengenal Tuhan-nya. Harusnya ini menjadi ‘keunggulan’ daripada pendidikan konvensional di luar pesantren. Tapi, mungkin kebingungan : bagiamana cara mengevaluasinya? Mari diskusikan bersama dengan para ahli dan kiai-kiai khos.

Kemudian, apa langkah yang harus dilaksanakan pasca asesmen? Adakah benefit lebih, atau hanya akan dipampang di papan nama kampus dan brosur? Apakah juga berimbas pada persoalan pemetaan potensi pengembangan, seperti beasiswa, sort course, pertukaran pelajar, bantuan sarana, dll, apakah ada langkah lanjutan terkait ‘pemetaan mahad aly’ ini? Termasuk soal moratorium.

Setidaknya, hasil riset sederhana penulis yang mendampingi Mahad Aly selama 8 tahun (dari tahun 2015), ada 6 problem berkelanjutan :

Pertama, Problem Input atau Mahasantri Baru. Jika yang diharapkan sesuai dengan Peraturan Mentri Agama no.32 tahun 2020, input yang siap tafaquh fi al-dîn atau istilah Waryono Abdul Ghafur ‘rajulun muta’alim aw mutafaqih’ (disampaikan dalam Workshop Kurikulum di Mahad Aly Darul Munawarah, 2023), ini cukup berat. Persoalanya banyak, dan komplek. Yang berkualitas, belum tentu mau kuliah di Mahad Aly, karna soal legasi, kredibelitas, dan juga keterpakaian alumni di masa mendatang. Disamping itu juga, cukup banyak pesantren yang sudah terkooptasi dengan pendidikan sekolah, sehingga tidak banyak menghasilkan santri-santri yang mutqin dalam kajian kitab/ turos.

Maka dari itu, perlu adanya langkah kaderisasi sejak tingkat awal (ula, wustho dan ulya) dalam pesantren penyelenggara Mahad Aly. Jika tidak ada kesiapan kader, eksistensi kelanjutan kampus tersebut perlu dipertanyakan. Misal saja, Mahad Aly Jakarta yang hampir tiap tahun pendaftar mencapai 200-an calon mahasantri dari luar, dan diseleksi hanya diterima 30 mahasantri tiap tahun, pun demikian tidak bisa mendapatkan input yang berkualitas baik. Maksimal, hanya 70% yang layak (sudah selesai alfiyah dan bisa membaca kitab dg baik), lainya baru bisa membaca dan memahami turos tapi belum punya al-malakah al-turosiyah (kemampuan adaptasi dengan kitab turos). Langkah selanjutnya, harus ada matrikulasi atau kelas tambahan. Alhasil, izin oprasional Mahad Aly jangan sampai diberikan kepada pesantren yang belum mempunyai lembaga pendidikan kader yang berbasis turos, seperti Muadalah dan Pendidikan Diniyah Formal, atau dalam bentuk tafaquh yang lain.

Kedua, Problem Regulasi Dosen, yaitu adanya sebuah ‘mitos’ peraturan lain bahwa dosen yang mengajar harus lulusan magister dan doktor. Niat awal, ingin mengapresiasi para Kiai yang mempunyai kapabilitas mumpuni, namun harus berkutat lagi soal ijazah kembali. Harus ada aturan alternatif terkait ini, entah dibuktikan dengan pengalaman mengajar, karya, atau posisi sebagai panutan banyak umat. Belum lagi, soal ‘penghargaan’ dan ‘akses’ dosen yang masih belum diatur : home base, kepangkatan, sertifikasi, dan lain-lainya. Akhirnya, banyak dosen yang hanya sekedar ‘ngompreng’ karna tidak ada kejelasan masa depan di Mahad Aly.

Ketiga, Problem Kurikulum. Rancangan materi perkuliahan yang kurang komprehenshif dan masih terkesan nano-nano. Juga sangat miskin pendekatan. Memang tidak semua, tapi masih cukup banyak. Perlu adanya diskusi kurikulum dengan intens, juga mengundang pakar, akademisi, dan kiai yang sesuai dengan bidangnya. Ini sebenarnya tahun 2016 pernah dilakukan kerjasama Kementrian Agama dengan Lakpesdam NU menghadirkan 2 pakar setiap takhosus  (sebagai contoh pengalaman 2016 : kurikulum takhasus sejarah dibahas oleh Prof Din Madjid dan Prof Ghozali Said) untuk mereview kurikulum Mahad Aly yang sudah berjalan, dan terjadi pembahasan secara apik, namun perlu masih disempurnakan seiring dengan perkembangan zaman.

Begitu juga soal konten materi pada Mahad Aly, harusnya sudah tidak hitam-putih atau pola “ada dalil di kitab turos atau tidak”, namun sudah mencoba berfikir dengan berbagai pendekatan dan maqashidi. Perlu adanya kontekstualisasi turos. Jika meminjam bahasa Kiai Sahal Mahfudz : ‘memahami kitab dengan gaya manhaji, bukan qauli’. Contoh saja, dalam fikih perlu adanya pendekatan sosial, pendekatan psikologi fatwa, dan lain-lain, tanpa harus tercerabut dari teks aslinya.

Keempat, Problem Model Penelitian dan Pengabdian. Ini juga masih menjadi misteri, yang harus dipecahkan bersama. Urain sederhana terkait urgensi atas distingsi penelitian bisa dibaca di

Mahad Aly : Fokus Distingsi atau Kompetisi?

Terkait pengabdian, yang terjadi pada kampus-kampus Islam seperti UIN/IAIN juga sudah cukup bagus sekali. Hanya saja perlu ditekankan perihal kemanfaatan dan kontinusitas jangka panjang, ibarat dakwah itu jangan hanya pengajian kilatan, tapi harus menjadi rencana jangka panjang.

Kementrian Agama juga bisa membuat progam pengabdian nasional Mahad Aly, satu tahun dikirim ke daerah-daerah tertinggal, terdepan dan terluar untuk menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamin. Yang penulis ketahui, Dirjen Bimas juga punya progam ini, sehingga tinggal singkronisasi progam bersama saja.

Kelima, Problem Eksklusivitas. Sebagai perguruan tinggi, tentunya harus bisa awere dengan kampus lain, agar bisa saling kolaborasi dan multi entri – multi exit. Tidak harus dengan standart yang sama, namun setidaknya ada minimal pemenuhan standar bersama. Semua konsep pendidikan memiliki kelemahan dan keunggulan, kelebihan dan kelemahan, positif dan negatif. Mahad Aly sayogjanya harus bisa berkolaborasi untuk mewujudkan tujuan utama pendidikan Indonesia. Tidak menampilkan perbedaan, tapi mengarusutamakan kekhususan dan mumayizat yang dimiliki. Tidak terkesan underestimate terhadap bentuk pendidikan lain, tapi melengkapi yang belum fokus ‘digarap’ mereka. Eksklusifitas hanya akan mewariskan politik identitas, kata Alissa Wahid.

Keenam, Problem Penyerapan Alumni. Ini sebenarnya terlalu vulgar, berbicara ‘duniawi’ dengan para calon ulama. Penulis teringat Ulil Abshar Abdala pernah bertanya dalam satu forum Mahad Aly (2016) : “bukanya naif, tapi lulusan Mahad Aly akan diarahkan kemana setelah lulus?” terkesan matrealistik memang, tapi itu realitas. Tidak semua mahasantri itu anak kiai, ustadz, politikus, atau orang kaya yang bisa memberi fasilitas tempat mengabdi setelah mereka lulus.

Sebagai contoh, penulis juga teringat beberapa respon para Mudir Mahad Aly paska adanya surat pengumuman pelaksanaan seleksi calon PPPK tahun 2021 dan 2023, banyak yang menanyakan “kenapa Mahad Aly tidak bisa ikut mengakses progam tersebut? Apakah karna tidak diakui?” yang akhirnya menjadi sebuah ‘drama serius’ diakhir pelaksanaan seleksi tahun 2023.

Jika Mahad Aly disiapkan untuk kader ulama penerus pesantren, sebagai kaderisasi bibit baru ustadz atau kiai yang sanggup merintis dan mengurus pesantren, atau ‘sekedar’ (tanpa merendahkan) guru di pesantren, tentunya solusinya bisa dirumuskan bersama. Sekedar informasi selingan, penulis hampir setiap tahun menerima puluhan pesan dari beberapa Kiai di daerah luar Jawa, terkait akan kebutuhan guru di pesantrenya. Tentunya ini kesempatan bagus, namun harus diatur rumusanya dengan detail dan transparan. Ya, bisa dengan cara membuat ‘Bursa Guru Pesantren’, mendahuli marketplace-nya kemendikbud. Sekian.

Nur Salikin,

Mahad Aly Saidushiddiqiyah Jakarta

Leave a Reply