Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) merupakan perhelatan perlombaan yang diselenggarakan 3 tahun sekali oleh Kementrian Agama RI. Gelar pelaksanaan di Pesantren, dan pesertanya para santri yang datang dari seluruh Indonesia, baik dari model pendidikan salaf, moden, atau semi keduanya. Acara ini juga harusnya bisa menjadi simposium terbesar para santri, dengan berbagai pementasan karya dan temuanya.
Pada MQKN tahun ini, terbagi menjadi 4 tingkat perlombaan : Marhalah Ula (setingkat SD/MI), Marhalah Wustho (setingkat SMP/MTs), Marhalah Ulya (setingkat SMA/MA) dan paling tinggi Mahad Aly (Perguruan Tinggi Pesantren). Dengan 11 fan keilmuan, 24 kitab yang berbeda-beda menurut tingkatanya masing-masing, baik karya dari ulama asli Nusantara maupun dari daratan Timur Tengah dan sekitarnya.
Jika dilihat dari Juknis, ada hal menarik yang perlu dibahas lebih dalam ; perihal herarki kitab yang diperlombakan. Pengalaman penulis, 3 tahun menguji input internal Mahad Aly dan Progam Beasiswa Santri Berprestasi besutan Kemenag ; keanehan terjadi ketika santri-santri calon penerima beasiswa itu ditanya : “sudah belajar kitab fikih apa saja di pesantren?” banyak yang menjawab dengan menyebutkan kitab-kitab yang tergolong besar, seperti Bidâyah al-Mujtahîd, Bulugh al-Marâm, Subulu al-Salâm, Ihya’ Ulum al-Addîn. Kemudian, ketika diajukan pertanyaan lanjutan : “wah, berarti sudah pernah belajar Safinah Najah, Matan Abi Suja’, Fathul Qarib berarti?” ternyata jawabnya belum pernah. Penulis banyak temukan hal seperti ini di wilayah pesantren di Jawa Barat (khususnya Bogor, Sukabumi, dan Cianjur) dan Banten.
Tidak ada yang salah dengan belajar, namun permasalahan terjadi ketika tidak adanya strukturalisasi pola pembelajaran sesuai pada tingkatanya. Seorang pembelajar pemula diajak mengkaji kitab Bidayah al-Mujtahîd, ibarat berenang di kolam saja belum bisa, diajak berenang di tengah lautan luas. Herarki kitab merupakan pemilahan metode berfikir yang secara tidak langsung diakui masyarakat luas di dunia. Hampir terjadi kesamaan, model pembelajaran di Haromain, Hadramaut, Cairo, Singgit, Jawa, dan lain-lainya. Ciri khas ini jangan sampai hilang, dengan adanya pesantren-pesantren baru.
Herarki Kitab Kuning itu asas, yang nantinya akan terus berkembang dan direkontektualisasikan melalui Bahsu Masail, Istinbath, Ijtihad dan beberapa istilah lainya. Jangan sampai lepas dari kitab kuning itu sendiri. Tentunya, tidak semerta-merta dipraktikan apa yang ada dalam kitab, namun dikaji esensi utamanya. Syaikh Ahmad Tayib pernah mengkritik para penggemar tajdid al-turas : “Jika asas turos ini dihancurkan, niscaya akan menghancurkan Islam itu sendiri.”
Jika diteliti, tingkatan kitab pembelajaran itu bukti real pesantren tidak lepas dari sistem berfikir metodologis. Sedari awal sudah diajarkan logika berfikir yang baik, tidak menabrak-nabrak. Memahami dari yang paling dasar, hingga paling rumit. Sehingga tidak mudah menyalahkan kelompok lain. Lha, juknis MQKN ini bisa dijadikan salah satu marja’ (refrensi) bagi herarki kurikulum di pesantren.
Misal sederhana, tingkatan kitab fikih: untuk beginner (pemula) diajarkan kitab “Safinatun Najah” atau kadang juga disebut Matan Safinatu An-Najah. Ditulis oleh Syaikh Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Sumair Al-Hadhromi atau lebih dikenal dengan nama Salim Al-Hadhromi. Beliau seorang qodhi (hakim), tetapi juga berkiprah serta memiliki pengalaman dalam bidang politik dan militer. Salim Al-Hadhromi lahir di Dzi Ashbah, daerah Hadhromaut dan tumbuh besar di sana.
Kitab ini populer bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Hadhromaut dan sejumlah propinsi di Yaman. Kitab ini juga digunakan di pesantren-pesantren di Haromain seperti di Ash–Shoulatiyyah, Dar Al-Ulum, dan Madaris Al-Falah (Falah Schools). Kitab ini juga digunakan di Afrika seperti di Tanzania, Etopia, Kenya, Somalia, Zanjibar, dan Comoro Islands.
Tulisan Salim Al-Hadhromi dalam kitab ini sebenarnya hanya sampai pada pembahasan zakat saja. Pembahasan rukun Islam yang lain seperti puasa, haji dan umroh tidak sempat beliau tuliskan. Beruntung, Imam Nawawi Al-Jawi bangkit menyempurnakannya dengan menambahi topik tentang puasa, yakni pada saat beliau membuat syarah untuk kitab ini yang dinamai Kasyifatu As-Saja.
Kitab ini juga sengaja dijadikan contoh Ketum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf untuk memutus rantai polemik terkait nasab Habaib (Alawiyin). Hubungan antara Islam Indonesia dengan Hadramaut itu sangat dekat, jangan sampai terpecah belah karena beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab. Masrab keilmuan Syaikh Salim bin Sumair -walaupun Gus Yahya menyangka beliau dari marga Ba’lawi- tapi keilmuan-keilmuan Islamnya juga didapatkan dari para alawiyin di Hadramaut.
Kitab untuk santri yang sudah middle (pertengahan) adalah “Fathu Al-Qorib”. Nama lengkapnya “Fathu Al-Qorib Al-Mujib Fi Syarhi Alfazhi At-Taqrib”. Pengarangnya bernama Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad bin Qosim Al-Ghozzi. Beliau lahir di bulan Rojab di Ghozzah pada tahun 859 H. Di kota itu pula beliau tumbuh. Hanya saja, pada tahun 881 H beliau memutuskan keluar kampung untuk merantau dan menuntut ilmu ke Mesir sampai akhirnya menjadi ulama yang disegani.
Bentuknya syarah pertengahan (mutawassith). Bukan syarah panjang lebar yang membosankan dan bukan syarah ringkas yang bisa merusak makna. Dalam mensyarah, Al-Ghozzi memberi perhatian tinggi saat menjelaskan makna bahasa dan makna istilah-istilah fikih. Di antara sekian banyak hasyiyah itu yang paling terkenal dan sudah dicetak adalah “Hasyiyah Al-Birmawi”, “Hasyiyah Al-Bajuri”, dan “Hasyiyah Al-Jawi” Karya Syekh Nawawi Al-Bantani.
Kemudian, untuk tingkatan advance (mahir) Kitab “Fathu Al-Mu’in” merupakan syarah kitab “Qurrotu Al-‘Ain” atau yang memiliki nama lengkap “ Qurrotu Al-‘Ain bi Muhimmati Ad-Din”. Karena itulah pengarang memberi nama lengkap untuk “Fathu Al-Mu’in” dengan sebutan “Fathu Al-Mu’in Bisyarhi Qurroti Al-‘Ain bi Muhimmati Ad-Din”. Pengarangnya bernama Zainuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Aziz Al-Malibari yang bisa disingkat Zainuddin Al-Malibari. Matan “Qurrotu Al’Ain” disyarahi juga Syaikh Nawawi al-Bantani yang diberi nama “Nihayatu Az-Zain Fi Irsyadi Al-Mubtadi-in”, atau lebih dikenal dengan nama singkat; “Nihayatu Az-Zain”.
Penulis kira, poros penyebaran dari tiga kitab tersebut ke Nusantara adalah dari Haromain, yang dulu menjadi pusat pengkaderan para ulama ahli sunnah wal jama’ah. Selain menjadi kurikulum talaqi disekitar masjid Makkah-Madinah, juga ketiganya disyarahi oleh ulama terkemuka asal Indonesia : Syaikh Nawawi al-Bantani, sehingga lebih ‘paten’ dan menjadi ‘legasi’ yang kredibel untuk dipelajari, dan menyebar ke seluruh pesantren di Indonesia. Dan akhir-akhir ini, menjadi identitas ‘pembeda’ antara pesantren salaf aswaja, dengan salafi lainya.
Nur Salikin,
Mahad Aly Jakarta.