Bangunan masa depan Mahad Aly itu bersifat possible terwujud, dan bisa diramalkan wujudnya berdasar bangunan epistemologi yang kokoh. Seperti halnya pendidikan di Barat, berbasis rasionalismenya Rene Descartes yang terkenal dengan kaidahnya Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada). Oleh karena itu karakter rasional, logis dan terbuka menjadi ciri khas keilmuan Barat.
Peradaban itu membentuk cara berpikir orang-orang yang di dalamnya, dan yang berafilasi dengannya. Peradaban Arab yang disebut peradaban teks membentuk cara berpikir Bayani. Peradaban Persia yang disebut peradaban Hermes membentuk cara berpikir Irfani. Peradaban Yunani yang disebut juga dengan peradaban filsafat, membentuk cara berpikir Burhani. Begitu juga dengan afilasi yang bersentuhan peradaban tersebut, setidaknya akan terpengaruh dengan pola pikir yang sama.
Untuk membangun epistemologi yang mampu menopang mimpi Mahad Aly kedepan, sejatinya kita memulainya dari ‘meneguhkan jati diri’ sebagai lembaga pendidikan yang orisinil Indonesia, berbasis pesantren dan merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Diawali dari mencari ‘jati diri’, kemudian merinci ‘distingsi’ dengan lembaga lain yang sudah ada, dan terakhir untuk memperoleh ‘ekselensi’ atau keunggulan.
Perlu disayangkan, persoalan-persoalan awal yang mendasar seperti ini tidak pernah diselesaikan dengan baik. Stakeholder lebih banyak berkutat pada pemenuhan hak admisitratif dan fasilitatif. Salah satu problem utamanya memang belum adanya job description yang jelas dalam internal Mahad Aly sendiri, sehingga pertemuan-pertemuan yang diadakan selalu mentah dan mengulang-ulang kembali. Ada juga yang memang terkesan ‘abai’ dan ‘pragmatis’ untuk mendiskusikan masa depan Mahad Aly kearah lebih subtansial. Disisi lain, pemerintah terkait juga tidak punya rencana strategis (renstra) jangka panjang dan pengarsipan yang baik.
Sebagai contoh sederhana, ketika pertemuan di Jogja (31/08/2023) Arif Maftuhin memberikan usulan bahwa model penelitian Mahad Aly harusnya bersifat Bayani (berbasis teks, baik tahqiq, ta’liq, khulashoh ataupun syarh), begitu juga Aminudin Zain pada pertemuan di Surabaya (25/01/2024) mengatakan hal senada, tidak ada yang mengomentari ataupun ingin berdiskusi lebih lanjut. Memang miris, namun itulah realitas yang terjadi di lapangan.
Beberapa alasan diatas mungkin membuat Plt. Direktur Pendidikan Diniyah Pondok Pesantren, Waryono berceletuk terkait urgensi pembuatan ‘Forum Mudir’ untuk menjadi ‘sindiran halus’ bagi perkumpulan dan internal Mahad Aly agar benar sesuai dengan job description-nya. Tidak seharusnya terjadi kembali, undangan diskusi untuk mudir yang datang dari keuangan, atau terkadang malah staff biasa. Jelas itu akan mendowngrade (merendahkan) dan repeat (mengulang) pembahasan dalam pertemuan tersebut. Realitas ini juga banyak terjadi dalam rakernas-rakernas Mahad Aly sebelumnya. Penulis disini tidak berarti setuju dengan ‘forum mudir’, tapi lebih menekankan dengan perlu adanya introspeksi diri yang logis dari internal dan perkumpulan untuk lebih baik lagi.
Dirjen Pendis, Muhammad Ali Ramdhani juga mengusulkan untuk mengupayakan langkah pragmatis dengan menawarkan dua hal : double degree dan akreditasi melalui Lembaga Akreditasi Mandiri Keagamaan (LAMGAMA) di level nasional maupun internasional. Ini penulis tafsirkan sebagai ‘jalan keluar sementara’ untuk mengupayakan kesetaraan, yang sebenarnya terbelenggu dengan banyak kepentingan di luar sana. Jelas pernyataan tersebut tidak all in memberikan kepercayaan diri, bahkan terkesan ‘lari’ dari asas rekognisi dan afirmasi Mahad Aly. Dua usulan tersebut tentunya juga akan menuai banyak problematika di lapangan. Namun, langkah tersebut cukup masuk akal sebagai jalan keluar jangka pendek.
Angin segar sebenarnya datang dari Mahrus el-Mawa, Kasubdit Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, terkait pernyataan homebase muhadir atau dosen Mahad Aly : “seberapa persen (banyak) dosen yang fokus mengajar di Mahad Aly?” ini statment yang cukup subtansial. Terkait status dan pengembangan dosen. Intisari dari lembaga pendidikan. Kemantapan berdakwah dan berkarir mereka perlu diperhatikan, karna mereka punya kebutuhan keluarga. Setidaknya, secara birokratis membutuhkan jawaban berupa Peraturan Mentri Agama (PMA) terkait status pendidik dan tenaga kependidikan, dan juga sekaligus aturan sertifikasi dosen.
Kasubdit kali ini memang memiliki watak lugas dan progresif, wajar orang pesisir (Cirebon), namun biasanya memiliki karakteristik terbuka dan petarung (berani mengambil risiko). Oleh karna itu, wajar jika sebagian mudir memiliki optimisme terselesaikannya masalah mendasar yang dialami Mahad Aly sampai sekarang. Minimal, penataan status mahasantri dan dosen.
Selain itu, potensi masa depan Mahad Aly ditentukan seberapa serius progam upgrading kemampuan dosen. Kesempatan Pemanfaatan Dana Abadi Pesantren tentunya menjadi kesempatan bagi Mahad Aly, menjemput visi Indonesia Emas 2045. Tidak hanya melalui beasiswa S2/S3, dan shortcourse di luar negeri. Perlu diingat, banyak Kiai di Indonesia yang perlu disowani dan dipelajari ilmuanya. Jika Mahad Aly khas nusantara, harusnya kelimuan Kiai Khos Nusantara juga jangan sampai tertinggal. Banyak kearifan-kearifan lokal yang bisa dipelajari dan diamalkan dari talaqi/ sorogan/ bandongan secara langsung dengan para Kiai Khos. Ini penting dalam menjaga persaudaraan antar pesantren dan sanad ulama nusantara. Jika hal ini dilakukan, minimal 5-10 tahun ke depan, dapat dipastikan akan terjadi pemerataan kekhasan nusantara.
Pertemuan mudir pertama tahun 2024 di Surabaya, menjadi langkah awal yang baik dengan mengundang salah satu Kiai Khos Nusantara, Kiai Afifudin Muhadjir. Sebagai Dewan Masyayikh Mahad Aly Situbondo, Kiai Afif banyak memberikan khittoh ideal proses pelaksanaan lembaga Mahad Aly ke depan. Mahad Aly itu penyaringan, bukan penjaringan. Jika hanya sekedar berkeinginan untuk banyak-banyakan mahasantri, lebih baik berkuliah yang memiliki fasilitas ‘wah’ saja di luar sana. Tokoh yang dikenal khalayak sebagai wakil Rais ‘Am PBNU itu juga memberikan pernyataan menarik “Ijazah formal di masa sekarang, laksana mukjizat di tangan Nabi”. Memang pernyataan yang agak kontroversial, ditengah hiruk-pikuk fenomena sukses tanpa ijazah, namun orang-orang seperti Gus Baha dan Gus Iqdam itu sepuluh ribu banding satu. Tidak bisa ditakar dengan analisis Qiyas standar.
Lha, jika Kiai-Kiai Khos Indonesia banyak dilibatkan dalam penjagaan khittoh Mahad Aly, baik dalam bentuk ngaji, nasehat, ijazahan, sembur, ataupun do’a, pasti akan memiliki efek yang luar biasa di masa depan. Tidak pernah terbayangkan ini terjadi di kampus Islam lain, bukan?
Nur Salikin
Mudir Mahad Aly Jakarta, Bekerja untuk Keabadian.