Mahad Aly : Fokus Distingsi atau Kompetisi?

Mahad Aly : Fokus Distingsi atau Kompetisi?

MAHADALYJAKARTA.COM – Ma’had Aly sebagai institusi Pendidikan Tinggi yang berbasis pesantren, sudah lama digagas dan diimplementasikan secara de facto oleh kalangan pesantren, walaupun baru pada tahun 2015 diberikan afirmasi dan rekognisi, juga sedikit fasilitasi dari pemerintah.

Dalam perjalanan, sudah hampir sewindu berlalu, belum cukup ada potensi-potensi perbaikan, baik secara legalitas universal bersanding dengan perguruan tinggi agama yang sudah ada, maupun perbaikan kematangan konsep internal. Bisa ditelaah, dalam rentang waktu tersebut hanya menghasilkan 1 kepastian aturan legalitas di bawah Undang-Undang Pesantren, yaitu ; Peraturan Mentri Agama no. 32 tahun 2020. Ada beberapa regulasi dan edaran, di bawah naungan Ditjen Pendidikan Islam, namun itu sifatnya temporary exit.

Disisi lain, banyak kalangan internal Ma’had Aly yang belum mulai berbenah, dan menjalankan institusi dengan sekenanya, bahkan seenaknya. Ya, memang topangan kepastian regulasi, menjadi sangat penting untuk branding institusi. Tidak hanya soal kepercayaan input mahasantri, tapi juga dengan kepastian dosen, dan tenaga kependidikan, juga alumni dalam berkiprah.

Yang aneh, langkah Asosiasi Ma’had Aly sebagai jembatan komunikasi, juga masih sering disalah pahami. Ingin memperbaiki dari dalam, namun kerap disangka mengintervensi. Walaupun dalam keadaan tertatih-tatih, setidaknya tahun 2023 ini, sudah menyelesaikan 3 pleno sederhana : Draf Standar Nasional Ma’had Aly, Draf Peraturan Pendidik dan Tenaga Kependidikan, juga Draf Kurikulum Dasar dan Takhasus (spesialisasi), yang kemudian akan diserahkan ke Kementrian Agama dan Majlis Masyayikh. Jika merujuk Tri Darma Perguruan Tinggi, Mahad Aly masih menyisakan 2 pembahasan yang tak kalah penting, yaitu perihal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.

Sebelum melangkah jauh, mungkin masih banyak yang bertanya-tanya : Ma’had Aly ini makhluk apa? Hadir dalam konteks kebutuhan sosial seperti apa? Apa perbedaanya dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang sudah ada? Setidaknya, tiga pertanyaan filosofis di atas yang harus menjadi diskursus secara intens para stakeholder-nya. Pepatah Arab mengatakan : “Ma halaka amruun arafa qadra nafsuhu” (jika ingin eksis, harus tahu kapabilitas diri sendiri). Setelah mengetahui kapabilitas, dilanjutkan dengan pepiling “qimatu kulli amriin ma yuhsinuhu” (nilai seseorang itu pada keunggulannya/excellence).

Jikalau Ma’had Aly menempatkan diri sebagai pesaing baru dalam percaturan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, tentunya tidak aple to aple. Sebut saja, STAI Jakarta yang sudah ada sejak 1945, sekarang sudah berevolusi menjadi Universitas Islam Indonesia. Ada IAIN al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyah, Yogyakarta berdiri sejak 1960, yang sudah berevolusi menjadi UIN Sunan Kalijaga. Sudah lebih separuh abad Perguruan Tinggi Islam didirikan, dengan segala kelengkapan regulasi dan fasilitasnya. Tentunya, jenjang waktu yang sudah satu generasi lebih itu, sudah sangat matang baik dari segi proses pendidikan, kurikulum, juga penelitian dan pengabdian masyarakat. Haihata, untuk ikut bersaing secara face to face.

Lalu, apa yang bisa dilakukan Ma’had Aly? ini sebuah pertanyaan besar yang harus dipecahkan bersama-sama. Untuk memantik diskusi awal, penulis  pada tahun 2016 -kalau tidak salah ingat- bersama-sama dengan Dr. Marzuki Wahid merumuskan distingsi Ma’had Aly, menghasilkan 17 perbedaan antara Perguruan Tinggi berbasis pesantren dengan kampus lain di luaran. Yang paling menonjol dan subtantif ada 2 hal : berbasis kitab (kitaby) dan wajib berasrama di dalam pesantren. Namun, apakah ini masih relevan? atau sekadar mengisi kekosongan kampus lain yang terbelenggu dengan kualitas input mahasiswa? perlu dipikirkan secara jeli kembali.

Selanjutnya, diskursus lain yang urgent untuk segera dibahas adalah model penelitian Ma’had Aly. Jika hasil research-nya sekadar mengulang yang dilakukan kampus-kampus pendahulunya, tentunya akan tertinggal jauh untuk mengejar. Terlalu jauh. Pertanyaan besarnya : apakah tidak mampu, ‘yang mengaku punya konsep pendidikan original (pesantren)’ membuat aturan dan model tersendiri? Ya, mungkin dengan memadukan konsep Timur Tengah, Barat dan Khas Indonesia. Atau lebih otentik lagi dengan model Syawir dan Bahsu Masail. Toh, pesantren itu gudang pendekatan kultural, banyak permasalahan kemasyarakatan bisa terpecahkan dengan renyah oleh para kiai-kiai. Kenapa tidak berani mencoba merumuskan? Tentunya, ini pekerjaan rumah yang besar.

Contoh lain, jikalau mahasantri dituntut berkompetisi menulis jurnal seperti ‘budaya impor’ yang sudah ada, tentunya akan tergopoh-gopoh sekali. Yang sudah puluhan tahun melakukan persiapan workshop, pelatihan, dan melaksanakan perjurnalan dengan anggaran yang cukup besar saja, belum bisa maksimal. Lebih aneh lagi, realitas yang muncul sekarang, pada sebagian kalangan akademisi adalah menulis jurnal hanya untuk kepentingan remunasi, kenaikan pangkat dan tunjangan. Apakah Mahad Aly akan ikut terjun juga dalam dunia pragmatis seperti itu? atau merumuskan sesuatu yang baru dengan jargon al-ilmu li al-amal (ilmu untuk diamalkan), dan belajar karena kecintaan terhadap ilmu. Menulis dengan alasan haus akan ilmu dan menyebarkan keilmuan itu sendiri, dan mengabfdi untuk bakti terhadap dzat yang mempunyai ilmu.

Alhasil, stakeholder Ma’had Aly memiliki pilihan pelik, yang kemungkinan membutuhkan perjalanan panjang, untuk merumuskan model peradaban baru, hasil dari persekutuan nilai dasar budaya ilmiah asli pesantren dengan sekitarnya. Layaknya orang Madura, yang tetap mempertahankan orisinalitas pikiran kritis dan out of the box-nya, walau budaya luar menghantui. Dhe’ remmah…?!

Tafkir,

Nur Salikin

Leave a Reply