NASAB HABIB : PERTIKAIAN YANG KONTRA PRODUKTIF

NASAB HABIB : PERTIKAIAN YANG KONTRA PRODUKTIF

MAHADALYJAKARTA.COM – Pekan ini, ramai sekali orang-orang yang mempersoalkan panggilan ‘habib’ di Nusantara. Akhir muaranya pada satu nama Habib Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir yang dianggap tidak tercatat dalam sejarah. Namun, bagi kami seperti halnya nasab Wali Songo yang tidak semua tercatat dalam naskah/ babad, tidak bisa dinafikan keberadaanya. Bisa saja dikonfirmasi melalui keberadaan peninggalan, makam, juga masyarakat sekitar. Apakah masuk akal? seluruh ulama’ dan masyarakat Hadramaut bersepakat perihal kebohongan nasab kakek atau ulama’nya? Haihata. Ziarah saja ke kota Husyaisah dan Bor.

Kami melihat, pertikaian ini muncul karna persoalan ‘kepentingan’ pengaruh, yang berujung kepada persoalan politik. Ada beberapa oknum baik dari kalangan para ‘pengkritik’ ataupun yang ‘dikritik’. Para Kiai di Nusantara, dari dulu selalu bersama para Habaib. Banyak kisah-kisah kemesraan dalam berdakwah diantara keduanya. Saling melengkapi, memberikan suport, dan menghormati. Bahkan, awal penyebutan ‘ahwal’ (saudara dari ibu) muncul karna penduduk asli dianggap sebagai saudara.

Melupakan kisah perjuangan para Habib di Nusantara, ibarat orang makan kacang lupa kulitnya. Tanpa wasilah mereka, tentunya Islam tidak mungkin bercokol di Indonesia. Sudah masyhur, bahwa Wali Songo keturunan dari Sayid Alwi Am Faqih dari Tarim, Hadramaut. Selama perjuangan kemerdekaan, para habib juga tidak pernah absen, dari Habib Husen Muthohar, Habib Ahmad As-Segaff, Habib Salim bin Jindan, Sultan Hamid II dan masih banyak lain-lainya.

Jika mengikuti ideologi Gus Dur, tentunya harus mengamini statemen beliau : “Hanya orang bodoh yang mengatakan batu permata di bilang batu koral dan yang paling bodoh batu permata kok dihargakan batu kerikil, mereka para cucunya Rasulullah SAW datang ke negeri ini merupakan karunia Tuhan yang terbesar dan hanya orang yang kufur nikmat kalau tidak mau mensyukurinya.”

Seorang Kiai yang tulus, tidak mungkin membenci keturunan Nabi. Bahkan, suatu ketika Ibn Hajar ditanya : “lebih utama yang mana antara habib yang bodoh atau orang yang yang berilmu tapi bukan habib?” Beliau menjawab : “Habib lebih utama, walaupun bodoh karna kemulyaan mereka dari dzatnya (ada darah Rasulullah Saw yang mengalir), sedangkan sebutan alim bisa hilang jika ia terkena gila.” (Habib Zeen bin Smit, 2008)

Namun, penyataan diatas mempunyai konsekuensi besar kepada para Habib : jika ia bermaksiat, tentunya akan melukai darah Rasulullah Saw. Jika ia bodoh, pasti akan melukai perasaan Rasulullah Saw. Jika ia mencaci-maki, menghina orang lain, berbohong, berkhianat, berdusta, dia sedang menyakiti Rasulullah Saw, karna dalam tubuhnya ada darah Rasulullah yang mengalir deras setiap detiknya. Begitu berat beban para Durriyah Rasulullah Saw.

Tautan darah itu takdir, namun ilmu itu bil kasb (dengan perjuangan). Keutamaan darah, tidak bisa dibandingkan dengan keutamaan ilmu. Yang lebih utama darahnya (darah biru), belum tentu bisa dijadikan qudwah (percontohan). Sungguh kesalahan yang fatal, jika ada orang yang berteriak : “Belajar kepada Habib yang bodoh, itu lebih utama daripada 70 Kiai yang alim.” Jika logika pernyataan Ibn Hajar itu dipakai serampangan, berarti bisa dibenarkan statmen ini : “lebih utama untuk belajar atau mengikuti habib yang -maaf beribu maaf- ‘gila’, daripada Kiai yang alim.”  Betapa kacaunya dunia Islam.

Tafkir

Nur Salikin

Leave a Reply