MAHADALYJAKARTA.COM- Perdebatan soal nasab, sudah terjadi berbulan-bulan di Indonesia, tidak seperti isu lainya yang hanya satu pekan selesai, namun sepertinya isu sensitif ini sengaja dirawat untuk menambah resistensi terhadap golongan tertentu. Karna nasab menentukan nasib. Tapi, pada tulisan sederhana kali ini tidak akan membahas soal nasab, namun perihal merawat sanad.
Pekan lalu, penulis menyengaja membaca buku saku sederhana yang sangat menarik dan bermanfaat, berjudul “40 Hadis Pengader Ulama”. Buku yang berjumlah 144 halaman ini memuat kumpulan-kumpulan petuah hadis yang sering dilafalkan dan dijadikan pedoman oleh Kiai Ali Mustafa Ya’qub, salah seorang Guru Besar Hadis sekaligus pengasuh pondok pesantren Darus Sunah, Ciputat.
Sebagian orang mungkin menganggap hanya sekedar buku saku kecil, sederhana, dan biasa saja. Tidak begitu ilmiah, karna hanya berisi kumpulan beberapa hadis. Akan tetapi, setelah dibaca, terdapat setrum yang luar biasa. Bagaimana tidak? Buku ini ditulis oleh santri kinasih yang mulazamah selama 10 tahun. Melihat, mendegar dan merasakan perilaku sang Kiai secara langsung. Dari ribuan hadis-hadis yang dikaji selama nyantri, dipilih 44 hadis yang banyak diulang-ulang dan diamalkan oleh sang Kiai.
Tidak banyak santri yang punya perhatian khusus, dan menuliskan secara rinci pendapat-pendapat Kiai-nya. Belum tentu orang yang terdekat, bisa melakukan hal tersebut, contoh saja sahabat-sahabat terdekat Rasulullah Saw., seperti Sayidina Abu Bakar, Sayidina Umar, Sayidina Usman dan Sayidina Ali, yang dari awal berjuang bersama Rasul, namun riwayat hadisnya terbilang lebih sedikit daripada sahabat Abu Hurairah yang hanya intensif 3 tahunan bersama Nabi. Ini hanya soal fokus, bukan karna kelemahan.
Tradisi mengukir kembali pokok-pokok pikiran Kiai seperti ini yang mulai luntur, dan mayoritas diganti dengan tradisi haul – yang lebih banyak menceritakan perihal keramat – untuk terus melegitimasi pengaruh dan kekuasaan. Tentunya baik, mengadakan haul untuk mengingat jasa-jasa Kiai, harapanya untuk meneladani perjuangan dakwah para pendahulu.
Jika ditelisik kembali, para ulama terdahulu masih diingat oleh umat Islam sekarang, karena jasa santri-santrinya yang terus menghidupkan dan mendialetikakan pemikiran gurunya. Sebut saja, Imam Syafi’i tanpa sosok Imam Buwaity dan Imam Muzany yang banyak menuliskan pendapat-pendapat gurunya, tentunya akan terlupakan dengan sendirinya. Hal ini seperti Imam Daud al-Dzahiri, seorang pendiri madzhab Dzahiriyah yang terputus mata rantai sanadnya karna tidak ada santrinya yang menulis dan melanjutkan pemikiranya.
Selain untuk refleksi nilai dari pemikiran-pemikiran Gurunya, Ahmad Ubaydi Hasbillah ini juga memanfaatkan penulisan buku ini untuk merasakan dan mengamalkan secara langsung pola-pola periwayatan ulama hadis terdahulu, dengan mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar luas di antara santri-santri, juga kajian dan ceramah Kiai Ali Mustafa Yaqub. Bahkan, banyak riwayat yang disampaikan tidak secara lisan, namun diketemukan dari pengamalan, tradisi, dan pemikiran sang guru yang berinteraksi langsung dengan santri-santrinya.
Sebagai contoh, ketika Kiai Ali meriwayatkan hadis :
عن أبي هريرة – رضي الله عنه -أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة.
Artinya: “Dari satu umrah ke umrah yang lain adalah penghapus dosa di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasannnya melainkan Surga.” (HR. Bukhari)
Juga menyebutkan hadis yang cukup panjang dari sahabat Qatadah terkait Rasulullah Saw., melakukan umrah sebanyak 4 kali dalam seumur hidup, dan tidak pernah melakukan umrah di bulan Ramadhan (walaupun pahalanya menyamai haji).
Dalam buku saku tersebut, meriwayatkan keterangan dan komentar menarik terkait dua hadis di atas, “bagi guru kami, pengamalan kedua hadis tentang keutamaan umrah sunnah di atas sebaiknya dilakukan setelah mampu mengamalkan hadis-hadis tentang keutamaan menyantuni anak yatim, fakir-miskin, para janda-jompo, dan hadis-hadis lain tentang pentingnya ibadah sosial.”
Tentunya pendapat tersebut menjadi sebuah kritik sosial yang serius, apalagi ketika Kiai Ali menuliskannya di laman media dengan judul yang cukup sensitif “Haji Pengabdi Setan” hal ini guna mengkritisi orang-orang kaya yang setiap tahun umrah berkali-kali dan rutin berhaji, namun tidak memikirkan tetangga dan masyarakat sekitarnya yang kelaparan juga tak punya akses masa depan yang lebih baik.
Terakhir, masih banyak sekali nasehat-nasehat dan pokok pikiran yang dituliskan dalam karya yang berjudul asli “al-Arbain al-Mustafawiyah fi I’dad Khadam al-Sunnah al-Nabawiyah” ini. Setidaknya, para santri yang berniat untuk berdakwah dan berjuang di jalan Allah Swt.,harus rajin-rajin membaca buku tersebut. Wallahu a’lam bi al-Sowab.
Nur Salikin
Mudir Mahad Aly Jakarta