Ada Fenomena baru di masyarakat kita ; penyebutan ‘Ustad Sunah’. Beberapa daftar nama dan foto penceramah di pajang dan dishare dalam satu pamflet berjudul ‘Ustad Sunah’. Maksud dan tujuanya mungkin baik, mengajak orang untuk mengaji, belajar mengenai sunah nabi.
Akan tetapi, jikalau ditilik dari segi bahasa, bisa diartikan ; selain mereka berarti tidak sesuai dengan sunnah, atau bisa disebut sebagai ustad bid’ah. Memang aneh bukan? kalau sebutan ‘nyunah’, masih bisa ditafsiri sebagai yang lebih mengamalkan sunah.
Nama-nama yang disebutkan memang mayoritas lulusan dari Saudi Arabia. Bermadzhab Hambali (kalau mereka mengakui), dan bersemboyan ‘kembali kepada al-Qur’an dan Hadist’. Tapi, jika ditelisik pendapat mereka banyak bisa dirujuk dari Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri golongan neo-khowarij) salah satu golongan yang tekstual dan ‘agak’ ngawur mengambil dalil dari teks-teks keagamaan, bahkan cenderung ‘liberal’ dalam menafsirkan teks sesuai dengan keinginan mereka.
Jika dakwah itu untuk mengajak, mereka lebih sering ‘melaknat’ kaum muslim lain dengan sebutan ahli bid’ah, kufarat, kuburiyun dan lain-lain. Padahal jelas, dialetika ‘setuju’ dan ‘tidak setuju’ mengenai permasalahan furu’ (cabang) dari persoalan keagamaan ‘gamblang’ bisa dirujuk melalui ulama’-ulama salaf terdahulu. Lalu untuk apa mempertentangkan kembali? padahal, keilmuan umat sekarang jauh dibanding dengan umat terdahulu.
Memaksakan pendapat, itu sama saja menyalahi wahyu Allah. Sudah menjadi sunatullah, manusia diciptakan berbeda-beda, untuk saling melengkapi. Jika fikih diharuskan menjadi satu pendapat, niscaya sempit sekali dunia ini. Tuhan menciptakan agama sebagai pedoman bagi manusia, agar hidup semakin harmonis dan membaik. Makanya, ada kaidah dasar dalam agama : ‘permudahlah, jangan sampai dipersulit’. Kalau ada yang mudah, kenapa harus cari yang sulit?
Radikal itu tidak hanya mengebom atau membunuh orang lain. Ia juga bisa masuk dalam pemikiran. Merasa benar sendiri, dan yang lain salah, itu juga radikal. Imbasnya, akan memecah belah persatuan. Egoisme akan membabi buta hingga menimbulkan arogansi sosial. Jika sudah sampai pada level ini, tatanan keharmonisan dan toleransi akan semakin dipersempit menjadi sosial-ekslusifisme. Tidak lama lagi, akan tercipta radikal perilaku. BOM!
Bom waktu ini akan terus melaju, akankah pesantren sebagai benteng persatuan itu mulai sadar? egoisme-egoisme ke-kyai-an haruslah segera dibuang, coba lihat kebawah, umat sedang tercekam. (NS)