Ma’had Aly – Menilik ke masa lalu di negeri kita, dapat diceritakan bahwa berjalannya sistem pemerintahan kala itu adalah berbentuk kerajaan. Mulai dari kerajaan Hindu-Budha hingga kerajaan Islam. Dalam kehidupan masyarakat zaman dahulu, raja atau sultan dipandang sebagai pusat orientasi dan penguasa terhadap keberlangsungan kemajuan rakyatnya. Maka, sudah selayaknya sang raja memiliki seorang pendamping untuk memberi pertimbangan atau nasihat-nasihat. Pendamping itu adalah pujangga kraton, kira-kira setingkat dengan mufti dalam pemerintahan Islam zaman Bani Umayyah ataupun Bani Abbasiyah dan sesudahnya. Nama-nama Yasadipura maupun Ranggawarsita adalah nama-nama gelar yang dihadiahkan oleh raja berhubung dengan prestasinya. Dan salah satu pujangga keraton terakhir di jawa adalah R.Ng. Ranggawarsita yang merupakan salah satu penulis karya sastra Jawa terkemuka pada zaman Jawa-Islam. Sebelumnya, mari kita lihat sejarah nenek moyangnya yang juga orang-orang pujangga berpengaruh di Keraton Surakarta.
Dalam sepak terjang fondasi berdirinya keraton Surakarta (baru) tidak terlepas peran serta dari para elit politik dan juga para pujangga istana, seperti Pangeran Wijil Kadilangu dan Yasadipura. Sebagai wakil korps spiritual pakar kesusastraan keraton, Pangeran Wijil dan Yasadipura mendapat tugas untuk memilih dan mempersiapkan lokasi tempat keraton baru. Pasca runtuhnya keraton lama yang saat itu berada di Kartasura mengalami pemberontakan dari orang-orang tionghoa yang bekerjasama dengan orang pribumi pembenci VOC di tahun 1742 M. Di dalam keraton baru Surakarta inilah, hidup keluarga pujangga istana yang berlatar pendidikan pesantren turun-temurun menjaga kesusastraan jawa. Mulai dari Yasadipura I (1729-1803), RT. Sastranegara /Yasadipura II/a.k.a. Ranggawarsita I (1756-1844), R. Ng. Ranggawarsita II (diasingkan 1828), hingga sampai R. Ng. Ranggawarsita III (1802-1873) sebagai pujangga terakhir.
Dari Yasadipura I yang sosoknya merupakan pujangga sekaligus diakui sebagai bapak Renaisans Surakarta adalah seorang “santri lelana” atau “pelajar pengembara agama Islam”. Sosoknya menurunkan keturunan yang lekat dengan kesusastraan kraton dan juga muslim yang taat. Anaknya, R.T. Sastranegara (Ranggawarsita I) mengikuti jejak ayahnya yang mengenyam pendidikan awal di pesantren. Setelah sepeninggal ayahnya (Yasadipura I) pada tahun 1803, R.T. Sastranegara berhasil menduduki jabatan pujongga istana. Banyak karya yang dihasilkannya, salah satu karya terkenalnya adalah Centhini yang oleh kebanyakan orang disebut sebagai “Ensiklopedia Jawa”.
Sebagaimana sang ayah yang mewariskan bakat kesusastraan kepada keturunannya, anak tertua R.T. Sastranegara, Ranggawarsita II juga turut andil menjadi pejabat tinggi yang berkedudukan sebagai Lurah Carik (Ketua Penulis), meskipun kedudukannya hanya singkat. Ranggawarsita II mengalami nasib buruk, ketika Perang Diponegoro Pakubuwono VI diasingkan ke Ambon, sementara Ranggawarsita II dibawa ke batavia untuk diinterogasi. Karena tidak mau membocorkan hubungan rahasia Pakubuwo VI dengan Pangeran Diponegoro, maka akhirnya dia disiksa hinggal meninggal dunia pada tahun 1830.
Keturunan terkemuka selanjutnya adalah R.Ng. Ranggawarsita III, yang dikatakan sebagai penyair terbesar dan pujongga terakhir keraton jawa. Begitu terkenalnya beliau karena memang banyaknya deretan karya tulis berpengaruhnya yang mampu memulihkan “retakan modernitas” (rupture of modernity). Memang dalam usahanya, beliau memiliki strategi penulisan ulang masa lalu dalam berbagai cara, yang selama 147 tahun sejak wafatnya, terus-menerus membangkitkan pengakuan akan kekotemporeran efeknya. Untuk lebih mengenal siapakah sosok penyair terbesar ini, mari bersama-sama kita pahami perjalanan hidupnya.
Masa Kecil
Nama kecil R.Ng. Ranggawarsita ialah Bagus Burhan. Dilahirkan pada 15 Maret 1802, di kampung Yasadipura, Surakarta.
Bagus Burham putra dari RM.Ng. Panjangswara (R.Ng. Ranggawarsita II) dan Nyai Ajeng Ronggowarsito. Bagus berasal dari keluarga bangsawan keraton Surakarta. Dari garis ayahnya, dia adalah keturunan ke-10 dari Sultan Hadiwijoyo, pendiri Kerajaan Pajang. Sedangkan dari garis ibu adalah keturunan ke-13 dari Sutan Trengggono, Raja Demak ketiga, yang masih memiliki keturunan Majapahit.
Pendidikan
Sejak kecil Bagus Burham diasuh oleh RT. Sastranagara (kakeknya sendiri). Setelah berusia empat tahun, Bagus Burham diserahkan oleh RT. Sastranagara kepada Ki Tanujaya (abdi RT. Sastranagara). Bagus Burham diasuh oleh Ki Tanujaya sampai usia kurang lebih 12 tahun.
Pada usia 12 tahun, Bagus Burham kemudian dimasukkan ke pondok pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo pada tahun 1813 M. Di tempat itu, Bagus Burham berguru dan belajar agama Islam pada Kanjeng Kyai Imam Besari. Pada masa awal belajar di pondok itu, Bagus Burham tidak menunjukkan semangat belajar yang tinggi. Ia sangat malas dan senang menghabiskan waktunya untuk berjudi. Semua karena pengaruh asuhan dari Ki Tanujaya yang kurang baik. Kyai Imam Besari tak suka model Ki Tanujaya. Terlebih mengetahui bahwa Ki Tanujaya sering memamerkan kepandaiannya dalam ilmu sihir kepada para santri di Pondok Pesantren Gebang Tinatar. Mengingat kelakuan Bagus Burham dan Ki Tanujaya tersebut, keduanya kemudian diusir oleh kyai Imam Besari.
Bagus Burham dan Ki Tanujaya kemudian menuju Kediri. Keduanya bermaksud berkelana mengelilingi Jawa Timur. Akhirnya mereka sampai di Madiun. Di tempat itu mereka singgah di rumah Kasan Ngali, di dusun Mara. Oleh Kasan Ngali, mereka dinasihati untuk mengurungkan langkahnya mengembara ke Jawa Timur.
Pada sisi lain, kepergian Bagus Burham yang diiringkan oleh Ki Tanujaya membuat gelisah Kiai Imam Besari. Oleh karena itu, ia lalu memerintahkan kedua abdinya, Ki Kramaleya dan Ki Jasana untuk menyusul Bagus Burham dan Ki Tanujaya. Keduanya diminta untuk kembali ke Gebang Tinatar.
Setelah sampai di Gebang Tinatar. Bagus Burham yang semula nakal, karena sering mendapat nasehat dari Kiai Imam Besari, akhirnya kini menjadi seorang yang baik dan mulai mempelajari agama Islam dengan sungguh-sungguh. Ia melakukan berbagai pantangan, bertapa, bersemadi, atau bertirakat dengan cara lain.
Dalam perkembangannya, Bagus Burham menunjukkan kelebihannya dibanding dengan santri-santri lainnya. Bagus Burham dinilai sebagai murid yang cerdas di Gebang Tinatar. Melihat hal itu, Kiai Imam Besari kemudian mengangkatnya menjadi anggota pengurus santri. Dalam tugasnya, Bagus Burham diminta untuk membantu Kiai Imam Besari dan santri-santri lainnya dalam penguasaan pelajaran.
Setelah dirasa cukup dalam belajar ilmu agama (Islam) di Pondok Pesantren Gebang Tinatar. Akhirnya dia kembali lagi ke Surakarta, di rumah RT. Sastranagara. Oleh kakeknya itu, Bagus Burham diberi berbagai ilmu yang tidak diajarkan di Gebang Tinatar.
Pada tahun 1815 M, Bagus Burham kemudian diserahkan kepada Gusti Pangeran Harya Buminata oleh RT. Sastranagara. Di tempat barunya itu, Bagus Burham diberi pelajaran tentang ilmu jaya kawijayan, kadigdayan, dan kanuragan.
Magang di Keraton Surakarta
Setelah menimba ilmu di berbagai tempat dan kepada beberapa orang yang berkompeten di bidangnya. Bagus Burham mengalami perkembangan dalam hidupnya. Maka ketika Sunan Pakubuwana IV digantikan oleh Sunan Pakubuwana V, Gusti pangeran Harya Buminata memohonkan diri agar Bagus Burham diterima menjadi abdi dalem di keraton yang tengah dipimpin oleh raja baru tersebut.
Setelah beberapa kali mempertimbangkan. Sunan Pakubuwana V memberikan jabatan Abdi Dalem Carik Kepatihan kepada Bagus Burham yang dikukuhkan pada tanggal 28 Oktober 1819. Maka ketika mendapatkan jabatan itu, nama Bagus Burham pun berganti menjadi Rangga Pujangganom.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1821 M, Bagus Burham diangkat menjadi Mantri Carik Kadipaten Anomdengan gelar Mas Ngabehi Sarataka. Setelah pengangkatannya ini, Mas Ngabehi Sarataka dikawinkan dengan Raden Ajeng Gombak, anak Kanjeng Raden Adipati Cakraningrat (Bupati Kediri). Maka dia ikut mertuanya di kediri.
Sepulang dari kediri di keraton Surakarta sedang terjadi perang Diponegoro. Perang yang mengakibatkan rajanya, Pakubuwana VI disingkirkan oleh kolonial ke Ambon, sementara ayah Ranggawarsita ditangkap dan dibawa ke Batavia untuk diinterogasi. Ayah sang pujangga dibunuh dan mayatnya ditemukan di pinggir Luar Batang.
Maka pada tahun 1830 M Ranggawarsita menggantikan ayahnya (Ranggawarsita II) menjadi Kliwon Carik. Ranggawarsita sangatlah pandai dalam menulis sastra Jawa. Berkat kepandaiannya itu, maka dia memperoleh julukan Cangkok Kadipaten.
Deretan Karya Ranggawarsita
Setelah peristiwa menyedihkan penangkapan ayahnya dan juga pengasingan rajanya. Maka secara efektif Belanda mengepung istana dengan diiringi naiknya paman dari raja yang diasingkan itu ke tampuk pemerintahan. Sekitar masa inilah Ronggowarsita meyusun karya pertama puisinya.
Sepanjang hampir 45 tahun masa selanjutnya, Ranggawarsita menghasilkan berderet-deret karya yang luar biasa banyaknya dan ragamnya. Karyanya berupa prosa tebal yang mengisahkan sejarah Jawa (dari 0 hingga menjelang masa kininya). Semua karyanya itu dibuat dalam puluhan jilid dan ribuan halaman, ke genre tembang Sufi (suluk), puisi pengajaran moral (piwulang), cerita roman-roman legendaris, juga karya prosa yang memaparkan metafisika Islam, praktik sufi, serta soal perhitungan waktu, hingga karya-karya ramalannya (jangka) yang begitu terkenal. Dia juga sebagai salah satu editornya Bramartani, surat kabar pertama berbahasa lokal Hindia Belanda.
Menurut Karkono Parta Kusuma, jumlah karya Ranggawarsita lebih dari 50 karangan. Namun yang paling terkenal dan dipamerkan di museum Radya Pustaka adalah :
- Serat Hidayat Jati
- Serat Ajidarma Tuwin
- Serat Ajinirmala
- Serat Suluk Sukmanala
- Serat Jaka Lodhang
- Serat Jayangbaya
- Serat Pawarsakan
- Serat Kalatidha
- Serat Witaradya
Wafat
Ng. Ranggawarsita III meninggal pada tanggal 25 Desember 1873, hanya dua bulan setelah terbakarnya pameran pertanian modern yang dirancang mempertemukan elit pribumi dengan elit Eropa. Serta hanya beberapa minggu setelah sampainya laporan telegraf pertama di Surakarta terkait korban yang telah berjatuhan di antara pasukan penjajah (baik tentara Jawa maupun Belanda) yang sedang perang di Aceh. Dan makamnya terletak di desa Palar, kecamatan Trucuk, kabupaten Klaten. Yaitu berjejeran dengan makam keluarga ibunya.
Referensi
A. Mujib, dkk. (2013). Intelektualisme Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Nancy K. Florida. (2020). Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri dan Pujangga Jawa. Yogyakarta: Buku Langgar.
Priyo Dhanu Prabowo. (2003). Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya R. Ng. Ronggowarsita. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Simuh. (1998). Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ronggowarsito, Suatu Studi Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta. VI Press.
Saifuddin Zuhri. (2003). Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang.
Kontributor: A. Dhani, Semester III