MAHADALYJAKARTA.COM – Islam Asia Tenggara atau yang sering disebut dunia Melayu-Nusantara memiliki tradisi keilmuan yang sama melalui interaksi yang panjang di antara para ulama dan penuntut ilmu mereka dalam tahap-tahap historis yang kompleks. Proses interaksi berlangsung bukan hanya di pusat-pusat intelektual di wilayah Nusantara tetapi juga hingga ke Haramain, terutama setelah Makkah dan Madinah memperoleh kembali posisinya sebagai pusat jaringan keilmuan (Islam) sejak abad ke-17.
Sesuai dengan kelaziman masa tersebut, kelompok-kelompok etnis di Haramain membentuk komunitas keilmuan masing-masing, mereka dikenal sebagai komunitas yang sama, yaitu komunitas orang Jawa atau komunitas Jawi: “jama’at al-Jawiyyin” atau “ashab al-Jawiyyin.” Melalui komunitas ini “tradisi-tradisi kecil Islam” dari wilayah asal mereka berinteraksi dengan tradisi-tradisi kecil Islam dari belahan dunia lainnya sehingga membentuk sebuah “tradisi besar Islam” yang kosmopolitan, yang kemudian melalui jaringan keilmuan guru-murid menyebar kembali ke masyarakat di negeri-negeri asal mereka, yang meliputi setidaknya wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan Kamboja sekarang.
Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani adalah salah satu ulama dari lingkungan komunitas Jawi tersebut. Semasa berkiprah di Arabia, ia dilaporkan mempunyai posisi terhormat dengan jaringan murid yang luas, yang tidak hanya asal kepulauan Melayu-Nusantara. Sumber-sumber Arab menyebut Abd al-Shamad sebagai penafsir paling berwibawa dan kreatif dalam tasawuf; para penuntut ilmu di Haramain dinilai belum sempurna ilmunya jika belum belajar pada Abd al-Shamad. Lebih lanjut, Azra (2013: xxx) menemukan Abd al-Shamad adalah ulama paling awal dari dunia Melayu yang kegiatan keilmuannya dicatat dalam kamus biografi Arab (thabaqat), sesuatu yang tidak terjadi sebelumnya, yang memastikan karirnya dihormati bukan hanya di dunia Melayu tetapi juga seantero Timur Tengah. Van Bruinessen, seorang pengkaji modern yang lain, bahkan menyebut Abd al-Shamad sebagai ulama ‘Sufi Nusantara’ yang mungkin paling terpelajar sepanjang sejarah.
Nasab dan Kelahiran
Mal An (2015: 16) dengan merujuk kepada temuan Abdullah bahwa salah satu nama Abd al-Shamad dalam isnad Muhammad Yasin Isa al-Padani dan termaktub dalam Bulugh al-Amani ialah Abd al-Shamad bin Abd al-Rahman bin Abd al-Jalil bin Abd al-Wahhab bin Ahmad al-Mahdali. Sebuah manuskrip yang ditulis pada tahun 1867, bertajuk Silsilah Anak-anak Bangsawan Palembang mencatat Raden Ranti (istri Abd al-Jalil atau nenek dari Abd al-Shamad) sebagai anak ke-15 (terakhir) dari Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya sendiri adalah anak laki-laki ‘tertua’ dari Sultan Muhammad Mansyur, Sultan Palembang yang kedua (memerintah 1706-1714). Ia sebetulnya berkedudukan sebagai putra mahkota tetapi tidak pernah menaiki tahta karena meninggal dunia lebih dahulu dari ayahnya (Oktober 1710 M). Sebab itu dapat kita pastikan bahwa dari jalur neneknya (Raden Ranti), Abd al-Shamad adalah bagian dari kerabat utama Keraton Palembang yang mempunyai garis nasab ke atas yang terhubung lurus dengan Sultan. Dalam literatur lain, Azra (2013: 319) mencatat bahwa sumber-sumber Arab menyebut Abd al-Shamad sebagai Sayyid (gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. melalui cucu beliau, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali).
Terkait kelahiran Abd al-Shamad tidak seperti perkiraan selama ini (yang menyebutkan bahwa ia lahir pada tahun 1704, 1714, atau 1719), Faydh al-Ihsani mempunyai catatan pasti tentang tahun kelahirannya, yaitu “ia diperanakkan pada tahun seribu seratus lima puluh (1150) tahun daripada hijrah Nabi Muhammad Saw … di dalamnya negeri Palembang” (hlm.12), atau kalau dihitung menurut kalender Masehi bersamaan dengan tahun 1737. (Mal An, 2015: 13).
Baca Juga:
Syekh Musthafa Husein: Pendiri Pondok Pesantren Tertua di Sumatera
Masa Kecil
Menilik tahun lahirnya (1150/1737), Abd al-Shamad menjalani masa kecilnya pada saat Kesultanan Palembang di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1727-1756). Ini adalah masa ketika Palembang dicatat telah berkembang menjadi pusat belajar Islam yang penting di wilayah Melayu-Nusantara, yang mampu menarik ulama-ulama dari Jazirah Arabia untuk datang, bermukim, mengajar, dan melakukan aktivitas keilmuan di sini, kemudian pada gilirannya melahirkan sejumlah ulama penting dan produktif di zamannya.
Mengikut Faydh al-Ihsani masa kecil Abd al-Shamad tidaklah mudah, ia menjadi piatu (ditinggal wafat oleh ibunya) umurnya belum setahun. Ayahnya tidak lama kemudian pergi dan ketika umurnya sembilan tahun berpindah ke ‘negeri yang sejahtera’ (sangat mungkin negeri yang dimaksud adalah terjemah dari ‘Dar al-Aman’ yakni negeri Kedah). Abd al-Shamad mendapat didikan awal di Palembang, antara lain melalui bimbingan dari Sayyid Hasan bin Umar Idrus (mungkin Sayyid Hasan bin Umar bin Idrus bin Abdullah al-Aydrus). Pendidikan di sini berhasil mengantar Abd al-Shamad ‘memahami Al Qur’an dan ilmu agama, juga menjadi hafizh’ pada usia yang muda (masih sekitar 9 tahun). Pada masa balighnya yang awal, ia dinikahkan dengan istri pertamanya (dalam lingkup tradisi Palembang, Abd al-Shamad diketahui mempunyai tiga orang istri), sebelum ia pergi ke Tanah Suci untuk naik haji, dan seterusnya bermukim dan belajar di sana.
Perkembangan Intelektual dan Karir Keilmuan
Karir keilmuan Abd al-Shamad dapat kita pilah ke dalam tiga periode. ‘Periode Intelektual I’ dimulai ketika ia belajar ilmu-ilmu syariat (fikih) pada beberapa puluh ulama terkemuka di Makkah, yang dicatat oleh Faydh al-Ihsani berlangsung selama kira-kira dua puluh tahun. Dalam masa itu, ia juga mengajar ilmu fikih, utamanya kepada komunitas Jawi (beberapa muridnya antara lain Mahmud bin Kanan al-Palimbani, Arsyad al-Banjari, Saleh Darat, dan Nawawi al-Bantani), juga telah menghasilkan sedikitnya tiga karya tulis. Setelah itu, ia tertarik dan memusatkan minatnya pada tasawuf. Melalui liku-liku pencarian guru yang khas ‘sufistik’, ia memasuki ‘Periode Intelektual II’ dengan belajar tasawuf di Madinah, dan mendapat bimbingan langsung dari Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman, Sufi besar pendiri Tarekat Sammaniyah. Selepas masa bimbingan, al-Samman mempercayakan pada Abd al-Shamad posisi khalifahnya untuk wilayah Makkah.
Selama ini sering disimpulkan bahwa karir keilmuan Abd al-Shamad berpuncak pada Sayr al-Salikin yang selesai ditulisnya pada tahun 1203/1789. Tidak lama setelah karya besarnya ini, yang selesai ditulis pada tahun 1203/1788, ia oleh kebanyakan pengkaji meninggal dunia. Hal ini perlu diperbaiki, bukti-bukti lainnya (seperti yang terdapat pada kamus biografi al-Nafas al-Yaman yang ditulis oleh murid Abd al-Shamad, Mufti Zabid yang bernama Abd al-Rahman al-Ahdal memberitakan bahwa pada tahun 1206/1792 Abd al-Shamad melakukan kunjungan ke Zabid, Yaman) membuat kesimpulan itu harus dikoreksi. Puncak karir Abd al-Shamad justru terjadi setelah itu, ketika ia dikenal luas di seantero Timur Tengah karena kepakarannya dalam Ihya Ulum al-Din, dengan para murid yang mencakup ulama-ulama terkemuka, juga dari jazirah Arabia. Ia juga menebarkan pengaruh semakin luas di wilayah Melayu-Nusantara melalui kunjungan dan kegiatan mengajar berulang kali yang dilakukannya di sini, lebih-lebih di Palembang, Kedah, Patani dan Trengganu. Inilah Periode Intelektual III dalam karir keilmuan Abd al-Shamad.
Wafat
Terdapat beberapa riwayat dan perkiraan tentang kapan dan bagaimana Abd al-Shamad wafat. Namun dengan bukti yang semakin banyak, termasuk kesertaannya dalam perlawanan Patani pada 1205/1791, kita meyakini bahwa dia memang ikut serta dalam perjuangan Kedah dan Patani melawan Siam. Ia wafat sebagai syahid, mungkin pada hari Kamis 17 Dzulqaidah 1247 H bersamaan dengan 19 April 1832 M, atau mungkin pula pada Jum’at 17 Dzulqaidah 1254 H bersamaan dengan 1 Februari 1839 M. Letak kuburnya ditemukan di sebuah perkebunan karet di Ban Trap, kini berada dekat laluan jalan raya menuju Chana, provinsi Songkhla, di selatan Thailand. Dengan demikian masa hayat Abd al-Shamad berlangsung dari tahun 1150/1737 sampai dengan tahun 1247/1832 atau sampai tahun 1254/1839. (Mal An, 2015: 117).
Karya Tulis dan Khazanah Keilmuan
Abd al-Shamad mulai menghasilkan karya tulis keilmuan sejak berumur 28 tahun (1178/1765). Sedikitnya terdapat dua puluh tujuh karya yang sudah teridentifikasi sebagai peninggalannya, dan jumlah tersebut diperkirakan masih akan bertambah mengikut upaya pencarian dan pengkajian yang masih dilakukan terhadap warisan keilmuannya. Karya tulisnya yang beredar luas di dunia Melayu ialah Hidayat al-Salikin dan Sayr al-Salikin. Sementara di Timur Tengah, judul yang paling dikenal ialah Fadha’il al-Ihya li al-Gazali.
Tradisi keilmuan palimbani (merupakan tradisi keilmuan Islam yang terbentuk di Palembang pada masa itu) mempunyai karakteristik neo-sufisme Ghazalian (berpijak kepada karya-karya Imam al-Ghazali) yang mengintegrasikan secara baik perspektif Ibn ‘Arabi (Abd al-Shamad tidak menolak karya-karya Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya, tetapi menyarankan hal tersebut ditempuh bagi pejalan ruhani yang sudah berada pada tingkat muntahi), memperkenalkan fikih tasawuf, terbuka terhadap (dan memperkaya tradisi Melayu dengan) khazanah intelektual Islam yang beragam, serta mendorong aktivisme sosial dan intelektual. Maka tidaklah berlebihan jika selama periode abad ke-18 dan 19 tradisi palimbani dinilai berhasil memberikan arah dan kecenderungan baru bagi peradaban Islam di dunia Melayu-Nusantara.
Demikianlah sedikit tulisan mengenai Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani. Sebenarnya riwayat hidup beliau begitu luas (karena banyak peneliti yang berhasil menafsirkan sumber-sumber terkait beliau), perjalanan intelektualnya begitu panjang dan penuh kegigihan juga gairah akan ilmu, tak berlebihan terutama bagi kita para penuntut ilmu untuk membaca lebih dalam tentang beliau melalui sumber-sumber yang ada dan meraup pelajaran serta hikmah sebanyak-banyaknya, kiranya agar api semangat dalam diri kita dapat kembali menyala bahkan berkobar hingga pada akhirnya mampu meneladani sosok seperti beliau.
Selawat dan salam semoga tercurah kepada para nabi, keluarga juga sahabat beliau, dan orang-orang beriman yang mengikuti jejak mereka. Aamiin.
Referensi:
Abdullah, Mal An. 2015. SYAIKH ABDUS-SAMAD AL-PALIMBANI. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Arifin, Miftah. 2013. Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual, dan Pemikiran Tasawuf. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Azra, Azyumardi. 2013. JARINGAN ULAMA Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Depok: Kencana.
Bimas Islam. 2023. Moderasi Beragama Perspektif BIMAS ISLAM. Jakarta: Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama.
Mulyati, Sri. 2006. TASAWUF NUSANTARA: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana.
Kontributor: Mamluatul Hidayah, Semester VI