Syekh Musthafa Husein: Pendiri Pondok Pesantren Tertua di Sumatera

Syekh Musthafa Husein: Pendiri Pondok Pesantren Tertua di Sumatera

MAHADALYJAKARTA.COM – Syekh Musthafa Husein atau yang dikenal dengan sebutan Tuan Natobang (tua) adalah seorang ulama yang hidup pada abad 19 M, beliau putra dari H. Husein dan Hj. Halimah. Sebelum berangkat melanjutkan pendidikannya ke Mekah, beliau terlebih dahulu belajar agama atas perintah ayahnya ke salah satu ulama yang mumpuni yaitu Syekh Abdul Hamid.

Pada masa kecilnya beliau juga mempunyai nama lain, yaitu Muhammad Yatim. Syekh Musthafa Husein selalu mendapatkan bimbingan dari gurunya tentang agama Islam, sehingga termotivasi untuk melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Muhammad yatim belajar kepada Syekh Hamid sekitar tiga tahun, sistem pembelajarannya adalah non formal dimana beliau tinggal bersama gurunya.

Muhammad Yatim adalah tergolong keluarga yang mempunyai ekonomi diatas rata-rata, ditandai dengan adanya usaha dibidang pertanian seperti kopi, karet, cengkeh dan beras. Usahanya ini tidak hanya berada di dalam daerah, namun sampai ke kota. Hubungan melalui perdagangan sehingga melahirkan wawasan yang luas pada diri dan keluarganya untuk lebih terbuka dengan dunia luar.

Selain mempunyai ekonomi yang sangat tinggi, beliau juga adalah termasuk memiliki keluarga yang sangat baik dan taat beragama. Muhammad yatim sering kali mengadakan kunjungan silaturahmi terhadap keluarga-keluarga yang berada di perantauan, tidak lupa juga selalu berusaha menjalin hubungan dangan ulama yang ada di tanah Sumatera dan Jawa.

Melihat kedekatannya dengan gurunya, menghasilkan prilaku Islami pada diri Muhammad Yatim, dan semakin tumbuh pada dirinya keyakinan dan kepercayaan yang kuat untuk lebih giat lagi belajar ilmu pengetahuan Islami. Melihat kemauan yang ada pada dirinya, Syekh Hamid menganjurkan agar melanjutkan pendidikannya ke Mekah bersama-sama dengan jama’ah haji dari daerah Mandailing.

Pada tahun 1900 M beliau berangkat ke Mekah bersama dengan Muhammad Nuh bin Syekh syahbudin (salah satu ulama yang ada pada masa itu). Syekh Musthafa Husein tinggal bersama keluarga Syekh Syahbuddin kemudian dengan keluarga Syekh Abdul Kadir al-Mandili, dan usia  beliau pada saat itu masih sangat muda. Hidup di Mekah bersama para Syekh, ini yang selalu didamba-dambakan oleh Muhammad Yatim sehingga tujuannya tercapai dalam menuntut ilmu.

Sistem pembelajaran yang dialami oleh Syekh Musthafa Husein selama di Mekah adalah sistem halaqoh (duduk bersila mengelilingi guru) selama lima tahun, sebagaimana kebiasaan para ulama-ulama terdahulu dalam menuntut ilmu agama. Namun Muhammad Yatim belum marasa puas setelah lima tahun belajar bersama ulama-ulama Mekah, maka ia berencana akan melanjutkan pendidikannya ke Mesir untuk mendalami ajaran Islam, namun rencananya dibatalkannya setelah mendapat bimbingan dan pikiran dari seorang yang berasal dari Palembang.

Setelah mendapatkan masukan tersebut, akhirnya beliau menetapkan diri di Masjidil Haram untuk lebih konsentrasi dan percaya diri dalam memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam kepada ulama Mekah. Diantara guru-gurunya adalah Syekh Abdul Kadir al-Mandily, Syekh Ahmad Sumbawa, Syekh Saleh Bafadlil, Syekh Ali Makky, Syekh Umar bajuned, Syekh Ahmad Khatib, Syekh Abdurrahman, Syek Umar Sato, dan Syekh Muhammad Amin Mardin.

Adapun ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh Syekh Musthafa Husein selama di Mekah, diantaranya Ulumul Quran, Ilmu Tafsir, Ulumul hadits, Mustolahul Hadits, Bahasa Arab beserta tata bahasanya (Nahwu dan Shorof), dan banyak lagi ilmu yang lainnya. Beliau mempelajari ilmu-ilmu tersebut kepada para ulama yang mumpuni dibidangnya. Syekh Musthafa Husein belajar di Mekah selama 12 tahun, dan tidak pernah pulang ke Indonesia, beliau berhubungan dengan keluarga saat musim haji jika kebetulan ada jama’ah yang berasal dari dari Mandailing.

Selama di Mekah, Syekh Musthafa Husein fokus belajar layaknya orang yang menuntut ilmu, beliau ingin meraih cita-citanya yaitu setelah pulang nanti akan mengamalkan dan mengajarkannya kepada masyarakat yang memerlukannya. Namun pada akhirnya beliau pun tidak fokus lagi karena mendapat berita bahwa ayahandanya telah wafat. Akhirnya ibunya menyuruhnya pulang ke Indonesia. Dan Syekh memenuhi permintaan ibundanya.

Pada tahun 1912 beliau pulang ke tanah air, dan tidak diperbolehkan keluarganya lagi kembali ke Mekah, bahkan masyarakat sangat mendukung sekali, karena diperlukan guru agama yang membimbing dan memberikan pengajian. Setelah enam bulan tinggal, beliau diminta keluarga agar berumah tangga. Akhirnya beliau nikah dengan Habibah yang bersal dari Huta Pungkut (Mandailing).

Kebiasaan para penuntut ilmu yang ada di Timur Tengah, setelah pulang dari tempat belajarnya, mereka mempunyai keinginan yang berbeda-beda untuk mengaplikasikan ilmu dalam sehari-hari, begitu juga dengan Syekh Musthafa Husein ingin mengajarkan ilmunya ke masyarakat, disini ada dua model yang dilakukan oleh beliau untuk mengaplikasikan ilmunya, pertama melakukan penyaringan terhadap ajaran yang sudah berkembang. Dua, melakukan adaptasi dan integrasi dengan kehidupan beragama masyarakat.

Syekh Musthafa Husein kelihatannya lebih banyak kegiatan keagamaannya jalur pendidikan disamping memberikan pengajian dan ceramah keagamaan kepada masyarakat. Beliau memulai pengajiannya dari masjid atau rumah orang yang sengaja mengundangnya. Melalui pengajian-pengajian inilah, beliau banyak mendapatkan masukan dari masyarakat supaya memberikan pelajaran dan pendidikan Islam dalam bentuk Madrasah (sekolah).

Pada tahun 1912, Madrasah tersebut didirikan, lokasinya berada di desa Tano Bato, Kayu Laut. Santri Madrasah masih puluhan orang dan terbatas dari masyarakat sekitarnya. Nama Syekh Musthafa Husein semakin populer karena banyak memberikan pengajian dan ceramah agama di desa Mandailing. Hal ini berjalan sampai kurang lebih tiga tahun, akan tetapi pada tahun 1915 terjadi banjir yang menyebabkan banyak rumah yang hanyut. Akibat bencana alam gedung sekolah dan rumah penduduk terbawa arus banjir.

Wilayah Tano Bato adalah lokasi Madrasah yang dibangun oleh Syekh Musthafa Husein cukup starategis, karena daerah ini menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan transportasi antara daerah Mandailing dan Natal sebagai pelabuhan laut pantai barat Sumatera. Hal yang sama juga, di Tano Bato ada sekolah yang didirikan oleh William Iskandar (seorang tokoh pendidik yang berasal dari Pidoli Panyabungan).

Terjadinya bencana banjir yang banyak mengakibatkan korban jiwa serta harta dan benda mempunyai kenangan yang pahit terhadap masyarakat setempat, termasuk bagi Syekh Musthafa Husein yang baru mendirikan bangunan keislaman dengan bentuk perguruan Islam. Untuk melanjutkan harapan masyarakat ada dua tawaran yang diajukan oleh masyarakat kepada beliau, yaitu masyarakat desa Kayu Laut meminta agar tetap melanjutkan cita-citanya, dan yang kedua masyarakat Purba Baru agar pindah ke daerah mereka dan bersedia memberikan tanah untuk perumahan dan bangunan sekolah.

Pada tahun 1915, Syekh Musthafa Husein hijrah ke desa Purba Baru, diantara muridnya ada yang ikut yaitu Syekh Abdul Halim Khatib. Pada awalnya beliau tinggal disebuah rumah dekat masjid, disinilah beliau mengadakan pengajian dengan masyarakat yang berdatangan dari desa Purba Baru. Dan pada akhirnya beliau mendapatkan rumah yang permanen dari masyarakat. Sedangkan bangunan sekolah masih bersifat darurat dan secara permanen baru selesai di bangun dan dapat ditempati pada tahun 1931 M. 

Setelah sarana belajar tersedia secara permanen, murid terus meningkat tidak hanya sebatas masyarakat Mandailing tetapi meluas sampai ke kota bahkan di luar pulau banyak yang mendaftar. Sedangkan untuk tempat tinggal para santri mempunyai khas tersendiri yaitu membangun gubuk-gubuk kecil, asrama tidak lagi menampung murid karena tiap tahun semakin meningkat.

Syekh Musthafa Husein telah berhasil membangun fundamental bangunan keilmuwan Islam melalui pendidikan formal yang dimulai dengan nama Maktab, kemudian menjadi Madrasah dan sekarang menjadi Pesantren. Perubahan nama dari Maktab menjadi Madrasah Musthafawiyah adalah  asal usul dari  Syekh Ja’far Abdul Wahab, dan berganti menjadi Ma’had untuk menyesuaikan dengan lembaga pendidikan Islam secara nasional.

Kehadiran lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh Syekh Musthafa Husein telah memberikan peluang besar bagi umat Islam yang ada di sekitarnya untuk mendapatkan pendidikan, karena masa itu lembaga pendidikan setingkat sekolah lanjutan belum ada kecuali sekolah umum. Keberhasilan beliau dalam mendirikan lembaga, membuat posisi dan kedudukannya melebihi ulama lain yang ada di daerah Mandailing dan umumnya di Sumatera Utara.

Syekh Mushtafa Husein terlibat langsung dalam kelas dan melakukan pembinaan terhadap santri tertinggi, guna untuk mengkader para santri supaya ada penerus beliau setelah wafat. Beliau juga membantu para santri yang punya minat belajar ke Mekah untuk mendalami ilmu-ilmu Islam, setelah selesai atau kembali dari Mekah mereka dijadikan sebagai tenaga pengajar di Madrasah Musthafawiyah.

Syekh Musthafa Husein juga dikenal sebagai ulama yang dihormati Nahdlatul Ulama (NU). Ketika Indonesia merdeka, ia pernah mengumpulkan para ulama Aswaja se-Tapanuli bagian Selatan. Di antaranya Syekh Ali Hasan, Syekh Baharudin Talib Lubis, dan lain-lain. Pada tanggal 9 Februari 1947, Nahdltahul Ulama Sumatera Utara resmi berdiri pertama kali di Kota Padangsidimpuan. Dan beliau terpilih menjadi Rais Syuria pertama dan Syekh Baharuddin Thalib terpelih sebagai ketua Tahfidziyah pertama. Pesantren Musthafawiyah Purba Baru menjadi pusat organisasi NU di Sumatera.

Syekh Musthafa Husein meninggal dunia di Padangsidimpuan dan di makamkan di Purba Baru pada tanggal 16 November 1955. Adapun tampuk kepemimpinan  pesantren yang diteruskan oleh putranya Syekh Abdullah Musthafa. Dibawah kepemimpinannya ponpes Musthafawiyah kian berkembang pesat hingga dipimpin cucunya Haji Musthafa Bakhri Nasution.

Dapat disimpulkan bahwa Syekh Musthafa Husein adalah sang tokoh dan pemimipin umat, orang yang memiliki banyak pengalaman dan aktif dalam bidang organisasi, diantaranya adalah membangun sebuah monumental pendidikan Islam pertama di Mandailing, Sumatera Utara. Beliau juga mempunyai jiwa kemandirian untuk membangun umat Islam dengan membuka perkebunan karet dan usaha perdagangan, serta aktif ikut mensponsori dan mengembangkan organisasi sosial dan keagamaan sebagai wadah untuk mengembangkan ajaran Islam yang lebih luas.

Referensi :

Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Sub Kultur,Jakarta, 1988.  

Abdul Halim, Aswaja Politisi Nahddltaul Ulama Prespektif Hermeneutika Gadamer, LP3ES, Jakarta, 2014.

Abbas Pulungan, Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Mandailing : Bangunan keilmuwan Islam dan Simbol Masyarakat, Bandung, 2004.

A Mukti Ali, Pondok Pesantren dalam Sistem Nasional, Dalam beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, 1981.

Abdul Aziz, Dinamika Kehidupan Beragama Muslim Pedesaan, Jakarta, 2003.

Kontributor: Ahmad Shobirin, Semester VI

Editor: Dalimah NH

Leave a Reply