Kisah Pasukan Gajah: Dari Keirian Abrahah hingga Eksistensi Ka’bah

Kisah Pasukan Gajah: Dari Keirian Abrahah hingga Eksistensi Ka’bah

MAHADALYJAKARTA.COM – Makkah merupakan salah satu kota yang cukup terkenal dikalangan bangsa Arab. Kota yang  menjadi kampung halaman nabi akhir zaman ini mempunyai sejarah yang panjang.  Mulai dari zaman Nabi Ibrahim hingga zaman kenabian Muhammad Saw, kota ini selalu diliputi dengan keberkahan dan keagungan hingga akhir zaman karena memang kota ini telah didoakan langsung oleh bapak para nabi, yaitu Nabi Ibrahim As. Berkah yang ada pada kota Makkah ini juga turut dirasakan pula oleh penduduk Makkah yang menjadikan Makkah begitu viral sebagai surga bagi para pedagang dari seluruh Jazirah Arab. Selain itu, Makkah juga terkenal dengan bangunan kuno nan suci yang dibangun oleh leluhur bangsa Arab sendiri, yaitu bangunan Ka’bah. Dengan adanya Ka’bah, akhirnya menjadikan Makkah selalu dikunjungi para peziarah yang akan melaksanakan ibadah Haji disana. 

Makkah sepertinya tidak akan pernah lepas dari peristiwa-peristiwa bersejarah. Pelaksanaan korban yang hendak dilakukan oleh Abdul Muthalib belum hilang dari ingatan penduduk Makkah. Pernikahan antara Abdullah dan Aminah juga masih begitu segar dalam ingatan. Kini sebuah peristiwa besar akan kembali menjadi catatan sejarah negeri Ka’bah ini. Beberapa kejadian yang sudah terjadi mungkin  hanya membuat penduduknya berdecak cemas ataupun haru. Untuk kali ini penduduk Makkah benar-benar merasa ketakutan, khawatir dan siap untuk kehilangan segala sesuatu yang selalu menjadi kebanggan mereka. Abrahah Al-Asyram, seorang panglima perang asal negeri Habasyah yang berhasil menaklukkan Yaman, akan datang untuk meluluhlantakkan Makkah dan juga Ka’bah. 

Selama ini belum pernah ada satu pun Kerajaan-kerajaan di Jazirah Arab maupun luar Arab yang mempunyai niatan sengeri Abrahah. Raja-raja di Jazirah Arab justru sangat menghormati bangunan suci yang didirikan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail itu. Di dalam dan kanan kiri Ka’bah bahkan banyak berhala-berhala yang memang sengaja dibawa oleh para jama’ah Haji sebagai lambang penghormatan dan kekerabatan negeri mereka dengan Makkah. Lain dengan Abrahah, mengunjungi Makkah saja belum pernah. Sekali datang ia menebar ancaman yang mengerikan. Abrahah benar-benar membuat Makkah tegang.  Apalagi ia dikenal sebagai raja yang memiliki kekuatan militer tak tertandingi di zamannya. Begitu ia memerintahkan perang, mulutnya seolah memuntahkan beratus-ratus ekor singa kelaparan yang siap menerkam apapun dihadapannya. 

Kondisi itu tentu tidak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki Makkah. Beberapa tahun terakhir mereka hampir melupakan seni peperangan. Masyarakatnya telah hidup tentram dan tak pernah kontak senjata dengan suku-suku di luar benteng kota. Kalau memang ada sengketa, biasanya dapat diatasi dengan cara damai. Hal ini membuat mereka tidak begitu perhatian lagi terhadap pertahanan negara. Keadaan mereka yang rapuh dalam segi pertahanan membuat masyarakatnya panik ketika mendengar ancaman yang ditebarkan Abrahah.

Baca Juga:

Tentara Bergajah Versus Burung Ababil

Sebenarnya antara kerajaan Abrahah yang berdiri di Yaman dengan Makkah juga tidak pernah terjadi konflik. Hanya saja sebuah peristiwa kecil tapi cukup memalukan telah memicu kemarahan komandan perang asal Najasy itu. Abrahah diutus oleh rajanya yang bernama Ashamah untuk menaklukkan Yaman. Singkat cerita Abrahah berhasil menaklukkan Yaman bahkan berhasil membangun sebuah gereja mewah. Awalnya peguasa baru Yaman ini memiliki kepribadian cukup luhur, berdisiplin tinggi dan ulet. Bahkan tercatat sebagai seorang yang cukup teguh memegang ajaran agamanya, yaitu agama Nasrani.

Seiring waktu, pertahanan dirinya ambruk dan remuk. Kenyataan bahwa tiap tahun penduduk Yaman selalu pergi ke Makkah membuat ia terbius sifat materialis dan iri dengki terhadap Makkah. Dia mulai menimbang-nimbang pemasukan yang diraup Makkah tiap tahun dari para peziarah. Pikirannya tak dapat membayangkan jika peziarah itu berduyun-duyun berpaling dari Makkah menuju ke Yaman, negeri taklukannya. Berapa besar keuntungan yang akan didapatkan negerinya jika hal itu benar-benar terjadi. Akhirnya satu kesimpulan ia tarik dengan rapi, sebuah bangunan suci harus didirikan guna menyaingi Ka’bah.

Untuk memenuhi ambisinya ini, sebuah gereja akhirnya dibangun di daerah Shan’a. Gereja itu bernama Al-Qullais yang dibangun begitu megah, Bahkan dari waktu ke waktu terus dikembangkan. Tujuannya agar penduduk Yaman khususnya dan seluruh penghuni Jazirah Arab umumnya berpaling ke negerinya serta meninggalkan Ka’bah. Setelah gereja itu dibangun, dengan bangganya Abrahah mengirimkan surat kepada rajanya yang ada di negeri Habasyah atau Etiopia. Surat yang dikirimkannya singkat, namun begitu jelas menggambarkan ambisinya.

Mendengar berita ini, Malik bin Kinanah salah penduduk Makkah yang kebetulan sedang berada di Yaman merasa geram. Dia langsung pergi ke gereja yang direncanakan sebagai saingan Ka’bah itu. Begitu berhasil masuk, ia lantas buang air besar di sana kemudian kotorannya dia oles-oleskan ke tembok gereja. Ketika mengetahui hal ini, Abrahah naik darah dan kemarahannya tumpah ruah seketika. Apalagi setelah Abrahah mengetahui bahwa pelakunya adalah lelaki asal negeri Makkah itu.

Kemarahan Abrahah memuncak, tempat suci yang dibangunnya dengan susah payah telah dihina. Ia bersumpah akan membuat perhitungan atas kekurangajaran lelaki asal Makkah itu. Raja Yaman itu begitu berambisi untuk menghancurkan Ka’bah, karena secara logika jika dia berhasil merobohkan bangunan suci orang Arab ini, minimal dua keuntungan akan didapatkannya sekaligus. Pertama, balas dendamnya tersalurkan. Kedua, ambisi untuk memalingkan perhatian masyarakat Yaman juga akan mudah digapainya. Dengan adanya peristiwa pelecehan terhadap gerejanya, Abrahah merasa mendapat kesempatan untuk melakukan rencananya. Tidak akan ada yang berani menyalahkan tindakannya, kalau pun ada yang berani tentu mereka tidak akan sanggup menghadapi kekuatan pasukan perangnya. Diam-diam Abrahah merasa diuntungkan juga oleh keberanian Malik bin Kinanah yang telah menistakan gerejanya. Untuk memuluskan rencananya, dia segera melayangkan surat pada Raja Najasyi dengan isi meminta dikirim seekor gajah terbesar bernama Mahmud. Setelah beberapa waktu menunggu, akhirnya datang juga gajah kebanggaan negeri Najasyi itu. Meskipun hanya bermaksud merobohkan Ka’bah, Abrahah tetap membawa pasukan perangnya termasuk gajah yang baru datang dari negeri asalnya.

Kepergian Abrahah yang membawa pasukan cukup besar sangat menggemparkan Jazirah Arab. Mulai dari pasukan pejalan kaki, tentara berkuda dan penunggang gajah semua dibawanya. Gemuruh langkah kaki mereka menggetarkan siapa pun, meskipun jaraknya masih bermil-mil di depan. Debu-debu berhamburan seperti asap hutan terbakar, membubung dari tiap jalan yang dilalui pasukan perang itu. Dzu Nafar, salah seorang penguasa di pinggiran Yaman bersama pasukannya mencoba untuk menghalau Abrahah. Namun usahanya sia-sia belaka, tentaranya berhasil digebuk pasukan Abrahah dan dia sempat tertawan walaupun akhirnya bisa menyelamatkan diri setelah diberi ampunan oleh Abrahah. Di daerah Khats’am, Abrahah kembali mendapatkan perlawanan tak seimbang dari Nufail bin Habib al-Khats’am dan sebagian penduduk pinggiran. Usaha mereka juga bisa dipatahkan oleh Abrahah dan Nufail berhasil ditangkap tetapi tidak dibunuh, melainkan diberi tugas sebagai penunjuk jalan menuju Mekah.

Ketika sampai di Thaif, Mas’ud ibnu Nu’ais dan beberapa orang lelaki dari daerah Tsaqif menemui Abrahah. Ketika itu Thaif juga mempunyai tempat suci yang tak kalah populer. Mungkin kedatangan mereka untuk memastikan pada Abrahah bahwa ia belum sampai tujuan. Hal ini, perlu dilakukan agar Abrahah tidak keliru merobohkan kuil berhala Latta, bangunan suci mereka. Mereka lantas mengirimkan seorang budak bernama Righal. Kini Abrahah mempunyai dua orang penunjuk jalan akan memudahkan perjalanannya menyusuri padang pasir yang panas nan gersang. Namun ketika sampai di daerah Maghmas, budak pemberian Mas’ud bin Nu’ais mati sehingga Abrahah hanya bisa mengandalkan ketajaman Nufail mengarungi hamparan padang pasir yang seolah tak bertepi itu. Masalah ini tidak mengganggu rencana semula karena jarak Maghmas ke Makkah sudah tidak jauh lagi. Mereka memutuskan untuk mendirikan kemah di situ guna memobilisasi pasukannya, menyiagakan gajahnya serta bersiap-siap untuk melakukan invasi ke kota Mekah.

Baca Juga:

Makna Kemenangan Fathul Makkah Bagi Orang yang Bersabar

Setelah berjalan beberapa hari, kini makin dekatlah kota Makkah. Semangat pasukan Abrahah kembali pulih setelah kelelahan bertempur melawan beratnya perjalanan. Beberapa mil lagi mereka akan memasuki Makkah. Di tempat itu, Abrahah kembali melakukan pengecekan terhadap pasukannya. Dalam kesempatan tersebut, mulailah Abrahah menebar teror pada penduduk Tanah Haram. Pasukan berkuda yang dipimpin Al-Aswad bin Mas’ud diperintahkan untuk merampas binatang ternak milik penduduk sekitar Makkah. Dua ratus ekor unta milik Abdul Muthalib berhasil mereka rampas. Pada kesempatan yang sama Abrahah juga mengutus Hanathah bin Al-Humairy untuk berunding dengan pemuka Quraisy. Ia berpesan pada juru rundingnya ini. “Tanyakanlah siapa pembesar Makkah dan sampaikan padanya bahwasannya kedatanganku bukan untuk berperang, tetapi hanya untuk merobohkan Ka’bah.”

Seperti halnya Al-Aswad, begitu amanat yang diembannya telah dipahami, Hanathah dengan gagahnya langsung melesat ke Makkah. Sedikit pun ia tidak menemukan kesulitan untuk menemukan pimpinan kaum Quraisy yang saat itu dipegang oleh Abdul Muthalib. Tanpa berpanjang lebar, utusan Abrahah ini langsung menuturkan maksud kedatangannya. “Sesungguhnya Raja Abrahah mengutusku untuk mengabarkan bahwa kedatangannya bukan untuk berperang, akan tetapi ia hanya akan merobohkan Ka’bah lalu pergi meninggalkan kalian”. Sebagai seorang pemimpin, Abdul Muthalib mencoba untuk tetap tenang menyikapi keadaan. Beliau tidak ingin menambah keresahan warganya yang telah diselimuti ketakutan akan penyerangan besar-besaran yang hendak dilakukan Abrahah. Dengan penuh wibawa beliau menjawab. “Tidak ada alasan bagi Abrahah untuk memerangi kami, dan kami juga tidak memiliki kekuatan untuk mencegah dia datang ke Makkah untuk tujuan tersebut. Sesungguhnya ini adalah rumah Tuhan dan Ibrahim kekasih Allah, maka yang berhak untuk melarangnya adalah Allah Swt. Demi Allah kami tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk mencegahnya”.

Pembicaraan tidak hanya sampai di situ, Abdul Muthalib akhirnya mencoba menemui sendiri Abrahah. Beberapa anggota keluarga beliau ikut menemani pertemuannya dengan raja yang hendak merobohkan Ka’bah itu. Kedatangan Abdul Muthalib sangat mengesankan Abrahah. Beliau begitu tenang, cerah bahkan tidak menampakkan permusuhan meskipun tempat suci penduduknya akan dihancurkan oleh raja yang kini duduk di depannya. Apalagi rasa takut, sama sekali tidak tampak dari raut wajahnya. Pelan saja beliau melangkahkan kakinya, namun begitu cepat karismanya menimbulkan kekaguman Abrahah padanya. Begitu kuatnya wibawa Abdul Muthalib sampai-sampai Abrahah mau duduk di atas permadani untuk menemui pemuka Quraisy itu. “Tanyakanlah pada Abdul Muthalib apa maksud kedatangan nya.” perintah Abrahah pada penerjemahnya.

“Maksud kedatanganku adalah meminta pada paduka raja agar sudi mengembalikan unta-untaku,” jawab Abdul Muthalib cuek seolah-olah tidak tertarik menanggapi ancaman Abrahah. Kontan jawaban beliau membuat Abrahah mengerutkan dahinya. Ia tak habis pikir, kenapa pemimpin Quraisy ini begitu rendah jiwanya. Masyarakatnya dicekam ketakutan, tempat suci agama penduduknya diambang kehancuran, tapi pimpinan mereka hanya memikirkan unta-unta miliknya. Sungguh, Makkah telah keliru mengangkat Abdul Muthalib sebagai pimpinan mereka. Namun semua ketidak karuan pikiran Abrahah segera lenyap, tersapu bersih oleh kata-kata Abdul Muthalib.

 “Aku adalah pemilik unta-unta itu, sedangkan Baitullah adalah milik Tuhan, Dialah yang akan menjaganya dari perbuatanmu,” kata Abdul Muthalib menghembuskan hawa teror.

 “Tidak akan ada yang dapat menghentikannya!!” Bentak Abrahah. “Ada, Tuhan pemilik Baitullah” Jawab Abdul Muthalib dengan tenang menandaskan terornya.

Pertemuan ini menyisakan ketegangan kedua belah pihak. Diakui atau tidak Abrahah tetap menaruh kagum atas keberanian pemuka Makkah itu. Dengan kekuatan tak seberapa, ia berani berkunjung ke kemah militernya, bahkan menelusupkan teror ke tengah-tengah riuhnya pasukan perang yang siap mengganyang. Selesai pertemuan, Abrahah mengembalikan unta-unta Abdul Muthalib. Begitu memasuki Makkah, Abdul Muthalib langsung memerintahkan masyarakatnya untuk mengosongkan kota dan mengungsi ke lereng-lereng gunung untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebelum mengungsi, mereka berkumpul di sekeliling Ka’bah. Secara serentak mereka memanjatkan doa, memohon agar tuhan menjaga Baitullah.

Di sisi lain, begitu Abdul Muthalib keluar dari kemah militer, Abrahah segera menyiapkan pasukannya. Sesekali pasukan berkuda berlari mengelilingi seluruh pasukan hingga mengepul debu-debu padang pasir bagai api unggun di siang hari. Perlahan-lahan mereka bergerak maju, rapi seperti pasukan perang yang telah terlatih puluhan tahun. Semua berjalan sesuai rencana dan sebentar lagi misi mereka selesai, semua telah siap meluapkan pesta kemenangan.

Tetapi perasaan mereka mulai khawatir ketika hendak keluar dari Maghmas, Ketika memasuki garis batas Makkah, Mahmud gajah andalan mereka tiba-tiba tidak mau bergerak maju. Setiap diarahkan menuju Makkah, gajah itu cepat-cepat menderumkan kakinya dan tak mau bangkit, sedangkan saat diarahkan menuju Syam dan Yaman, gajah itu segera bangkit dan langsung melangkahkan kakinya. Hal ini, tidak lain karena perbuatan Nufail sang penunjuk jalan. Selama dalam perjalanan ia berhasil menguasai cara memberangkatkan ataupun menghentikan Mahmud. Ketika pawangnya memerintahkan untuk berjalan ke Makkah maka ia berbisik di telinga Mahmud agar kembali ke Yaman. Demikian kuatnya pengaruh suara Nufail hingga gajah itu tidak mau menuruti pawangnya dan justru tunduk pada perintah penunjuk jalan ini.

Pasukan mulai panik, tetapi Abrahah tidak mau lagi menunda misinya. Dia terus memaksakan diri untuk menyerang Ka’bah. Sungguh seandainya Abrahah mau mempelajari semua itu dan kembali ke Yaman mungkin ia akan terhindar dari musibah besar. Saat ia terus berjalan maju, tiba-tiba langit berubah hitam pekat. Bukan karena mendung, namun sekawanan burung telah menguasai cakrawala langit Makkah. Itulah Burung Ababil yang dikirim oleh Allah Swt untuk menjaga Ka’bah.

Tiap-tiap burung telah membawa tiga buah batu yang berasal dari Neraka. Dua batu berada dalam cengkeraman dan satu lagi di paruhnya. Tiada batu itu mengenai kepala manusia melainkan akan tewas seketika. Ketika tepat berada di atas pasukan Abrahah, burung-burung menukik tajam sambil melepaskan batu-batu kerikil yang dibawanya. Pasukan Abrahah lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. Mereka tidak mengira akan menghadapi serangan yang begitu mengerikan. Semua semakin panik ketika melihat teman-temannya yang tertimpa batu ternyata langsung menemui ajalnya. Batu-batu itu jatuh tepat di atas kepala dan langsung menembus dubur mereka. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an surah Al-Fiil ayat 1-5.

Beberapa orang dapat menyelamatkan diri dari amukan burung misterius itu. Abrahah berhasil lolos dan kembali ke Yaman namun ia tak dapat bertahan lama. Shan’a menjadi saksi bisu kematian Abrahah yang mengenaskan. Tubuhnya digerogoti penyakit aneh. Ujung jari-jemarinya lepas satu per satu dan tak henti-hentinya mengucurkan darah yang membuatnya tersiksa. Panglima perang asal negeri Habasyah ini tewas mengenaskan dengan kondisi  dada terbelah.

Abu Yaksum, menteri Abrahah bernasib sedikit lebih beruntung daripada atasannya itu. Ia berhasil menyelamatkan diri hingga ke Najasy. Sesampainya di sana ia bermaksud langsung melaporkan keadaan Abrahah bersama pasukannya. Abu Yaksum hampir berhasil melaksanakan rencananya, sayang ketika ia tengah seru-serunya menuturkan apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri, tiba-tiba seekor burung menjatuhkan sebuah batu hingga membuatnya mati ditempat.

Peristiwa besar tersebut terjadi 55 hari sebelum Nabi Muhammad Saw lahir. Kedatangan burung Ababil adalah petaka bagi Abrahah dan seluruh pasukannya. Burung-burung itu telah membuat semuanya berantakan. Meskipun begitu, burung-burung itu adalah berkah bagi penduduk Makkah karena Ka’bah kebanggaan mereka selamat dari kehancuran. Mulai saat itu Abdul Muthalib terkenal sebagai tokoh yang doanya sangat mustajab. Sementara Makkah kian naik pamornya karena terbukti Tuhan telah menjaga kota tersebut. Dan tahun itu dikenal sebagai tahun gajah. Wallahu A’lam

Referensi : 

Tim FKI Sejarah ATSAR, Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad SAW, Lentera Kegelapan Untuk Mengenal Pendidik Sejati Manusia, (Kediri, Pustaka Gerbang Lama, 2021)

Abdussalam Muhammad Harun, Kitab Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, (Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1971)

Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri,  Ar-Rahiq Al-Mahtum, Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad SAW Dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir, terj. Hanif Yahya (Jakarta, Darul Haq, 2021)

Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, As-Sirah An-Nabawiyah, Terj. Muhammad Halabi Hamdi, Istiqamah dan Adi Fadli, (Yogyakarta : DIVA Press, 2020), hal. 140

Qassim Ibrahim, Muhammad Saleh, Al-Mawsu’ah al-Muyassarah fi al-Tarikh al-Islami, Terj. Zainal Arifin, (Jakarta, Pustaka Zaman, 2014) 

Samsul Munir Amin, Sejarah dan Peradaban Islam, ( Jakarta, Pustaka Amzah, 2010)

Muhammad Gusthoni, Tentara Bergajah Versus Burung Ababil, https://www.mahadalyjakarta.com/tentara-bergajah-versus-burung-ababil/ diakses pada 15 Februari 2023 Pukul 07.39 WIB

Kontributor: Muhamad Fathul Bari, Semester III

Editor: Dalimah NH

Leave a Reply