Mengenal Sang Ulama Karismatik, Mbah Ma’shum Lasem

Mengenal Sang Ulama Karismatik, Mbah Ma’shum Lasem

Siapa itu Mbah Ma’shum? “Ia seorang guru (Kiai) dari Lasem yang kurang dikenal pada tingkat nasional, namun kematiannya pada 1972 menimbuulkan goncangan hebat dari ujung jaringan satu ke ujung jaringan yang lain,” demikian kata Denys Lombard dalam Le Carrefour Javaniais: Essai d Histoire Globale.

A. Biografi KH. Ma’shum Ahmad Lasem

Nama asli KH. Ma’shum Lasem adalah Muhammadun (pemberian dari orang tuanya yang lahir pada sekitar 1290 H atau 1870 M. Tahun kelahiran tersebut masih diperkirakan karena tidak ada seorang yang mengetahui secara pasti tahun berapa ia dilahirkan. Beliau adalah seorang ulama besar yang sejak masa mudanya sangat anti pada kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang, oleh karena itu segala yang berbau Belanda dan Jepang ditentangnya. KH. Ma’shum Ahmad memiliki semangat menuntut ilmu yang tinggi dengan belajar dari beberapa guru baik di Nusantara maupun Makkah.

Muhammadun adalah putra ketiga dari pasangan Mbah Ahmad dan Nyai Qasimah, ayah Muhammadun berprofesi sebagai pedagang yang cukup sukses juga seorang yang mempunyai bekal ilmu agama yang cukup. Dari kecil anaknya diserahkan kepada Kiai Nawawi dari Jepara. Dari itu dapat dikatakan bahwa Mbah Ahmad peduli dengan ilmu agama yang ditanamkan kepada anaknya. Pasangan Mbah Ahmad dan Nyai Qasimah dikaruniai tiga orang anak dua di antaranya perempuan dan satu laki-laki: Nyai Zainab, Nyai Malicha dan Muhammadun (KH. Ma’shum Lasem). Dari jalur ayahnya beliau masih mempunyai jalur keturunan dengan Sultan Minangkabau hingga silsilahnya sampai kepada Rasulallah.

Di dalam manaqib dijelaskan pada saat itu Muhammadun dan masyarakat kelihatannya tidak ada yang mencatat tahun kelahiran, bahkan orangnya sendiri pun tidak tahu kapan ia dilahirkan. Tetapi dengan kejadian tersebut membuat orang-orang yang ada di sekitarnya gerah, sehingga melakukan pelacakan. Pelacakan tersebut dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepadanya seputar peristiwa yang pernah terjadi di tanah Jawa, baik berkaitan dengan kejadian alam atau dengan peristiwa sosial dan politik waktu itu. Namun dari banyaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat meletusnya anak Krakatau ia masih muda, ia mengatakan dalam bahasa Jawa “nalika udan awu, aku isih jaka cilik” ketika terjadi hujan abu, (akibat gunung Krakatau meletus ia masih anak muda tetapi kecil). Peristiwa meletusnya gunung Krakatau terjadi pada 27 Agustus 1883. Dengan begitu berakhirlah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

B. Mendirikan Pesantren

KH. Ma’shum Ahmad Lasem ialah pendiri Pondok Pesantren Al Hidayah Lasem. Berawal dari mimpi, seperti disampaikan beberapa sumber (KH. Abdullah Faqih, H. Nasir Nawawi, serta H. Abrori Akwan (Lampung) yang meriwayatkan langsung dari Mbah Ma’shum), Mbah Ma’shum bermimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, dan mendapatkan nasihat supaya meninggalkan perdagangan serta berganti mengajar. Mimpinya bertemu dengan Kanjeng Nabi itu terjadi selama beberapa kali. Dan, hal tersebut berlangsung seolah terjadi dialog yang bersinambungan, dalam rentang waktu yang panjang antara dirinya dengan Kanjeng Nabi. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa dia bermimpi bertemu Kanjeng Nabi dan mendapatkan pesan-pesan khusus.

Setelah beberapa kali mimpi itu, dia bertanta-tanya, dan memiliki beberapa hal yang sedang dia pikirkan:

1. Kalau saya mendirikan pesantren, lalu bagaimana saya mencari makan?

2. Kalau saya mendirikan pesantren, lalu bagaimana dengan pesantren Kiai Kholil (Pendiri dan Pengasuh pesantren an-Nur) yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah saya? Apakah pesantren yang saya dirikan itu bisa diminati orang, toh didekat saya telah ada Kiai Kholil?

3. Kalau saya membuat pesantren, uang pembangunan dari mana?

4. Kalau saya telah mendirikan pesantren, yang saya ajarkan kepada para santri nanti kitab apa?

Melalui mimpi, Kanjeng Nabi masih menegaskan supaya dia segera berhenti jadi pedagang, dan segera mengajar, Kanjeng Nabi juga “menjawab” pikirannya bahwa urusan makan, Allah yang telah, akan, dan senantiasa menjamin, sedangkan urusan dana pembangunan, kamu (Mbah Ma’shum) bisa meminta bantuan kepada orang lain sebagai salah satu upaya. Mengenai kegelisahan dia tentang kitab apa yang diajarkan kepada para santri nanti, dalam sebuah mimpi yang lain Kanjeng Nabi berpesan bahwa dia dipersilahkan mengajarkan kitab apa saja, yang penting hal itu berurusan tentang keagamaan.

Proses pembuatan pesantren pertama-tama yang dilakukan Mbah Ma’shum adalah seperti kebanyakan pesantren pada umumnya, yaitu memulai dengan memberikan pelajaran-pelajaran dengan mengambil tempat di mushala yang telah ada di ndalem. Tidak ada informasi yang valid tentang siapa kali pertama yang membangun mushala di ndalem tersebut, apakah Mbah Ma’shum sendiri atau warisan dari orang tuanya. Disebutkan bahwa yang membangun kali pertama adalah Mbah Ma’shum. Akan tetapi, jika melihat sejarah bahwa orang tua Mbah Ma’shum adalah orang yang telah memiliki wawasan tentang Islam dan Dakwah Islamiyah, sangat mungkin orang tua Mbah Ma’shum memiliki andil dalam mendirikan fondasi mushala. Alhasil, mushala tersebut di kemudian hari menjadi sangat bermanfaat bagi segenap santrinya.

Untuk ukuran bangunan di zamannya, bangunan tersebut cukup maju. Ia terbuat dari tembok, berukuran sekitar 20 x 7 meter. Bangunan tersebut, yang masih berdiri tegak hingga sekarang, terdiri dari dua lantai; pertama berfungsi sebagai mushala dan tempat pengajian, sedangkan lantai kedua yang terbuat dari kayu, bukan beton difungsikan sebagai kamar para santri.

C. Kiprah Aktif KH. Ma’shum Ahmad Lasem

Ketika Nahdlatul Ulama (NU) dideklarasikan pada 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M, Mbah Ma’shum bersama KH. Khalil Masyhuri mewakili daerah Lasem untuk menghadiri peresmian organisasi keagamaan tersebut tepatnya di Jalan Bubutan VI Surabaya. Menurut keterangan cucunya yaitu KH. Zaim Ahmad bahwa Mbah Ma’shum merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama. Beliau aktif di organisasi bersama KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab dan KH. Kholil. Kiprah beliau pasca berdirinya NU adalah dengan mendirikan cabang-cabang NU seperti di Lasem yang menjadi cabang NU ke 11.

D. Wafatnya KH. Ma’shum Ahmad Lasem

Sejak 14 Rabiul Awal 1392 H/ 28 April 1972, tepatnya jam 2 siang kesehatan Mbah Ma’shum turun drastis. Hal tersebut terjadi selama beberapa bulan, tepatnya hingga September. Dan pada akhirnya 17 September 1972, Mbah Ma’shum dirujuk ke rumah sakit dr.Karyadi Semarang, selama 10 hari beliau dirawat di rumah sakit tersebut di bawah pengawasan dr. Soetomo, dr. Harjono (seorang ahli penyakit dalam) dan dr. Chamidun.

Hampir satu bulan setelah beliau keluar dari rumah sakit, tepat di umur 102 tahun, dalam keadaan tenang pada Jum’at pukul 14.00, 12 Ramadhan 1392 M bertepatan dengan 20 Oktober 1972 H beliau wafat kemudian dikebumikan di komplek pemakaman Masjid Jami’ Lasem Rembang pada Sabtu 13 Ramadhan pukul 15.00. meluapnya arus manusia, yang datang untuk bertakziyah, membuat prosesi sholat jenazah dilakukan berulang-ulang karena meluapnya keinginan orang untuk ikut serta mensalati.

Referensi:

M. Luthfi Thomafi, The Authorized Bioghraphy of KH. Ma’shum Ahmad (Mbah Ma’shum Lasem), Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007.

Sayyid Chaidar, Manaqib Mbah Ma’shum, Yogyakarta: Pondok Mas, 2013.

Afina Izzati, Mbah Ma’shum Lasem, Ulama Karismatik Yang Terlupakan. https://ulamanusantaracenter.com/ diakses pada 20 September pukul 23.34 WIB

M. Shofa Ulul Azmi, Ayam Jago dari Tanah Jawa (KH. Ma’shum Lasem). https://www.suaramerdeka.com/naional/ diakses pada 20 September pukul 01.39 WIB

Hasan Bastomi, Pendidikan Pesantren dalam Pandangan KH. Ma’shum Ahmad Lasem, vol 24 no. 2 2019 INSANIA Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan.

Kontributor: Ila Haolia, Semester VII

Leave a Reply