Ma’had Aly – Imam Malik merupakan salah satu dari empat imam madzhab yang dianut oleh umat muslim dunia. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Amir bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi al-Humairi. Ia juga salah seorang ulama terkenal dan termasuk ulama dua zaman di kota Madinah, yang lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H pada usia 87 tahun. Lahir pada zaman Bani Umayyah tepatnya pada pemerintahan al-Walid Abdul Malik dan meninggal pada zaman Bani Abbas, tepatnya pada zaman Harun al-Rasyid. Ia sempat merasakan masa pemerintahan Umayyah selama 40 tahun dan masa pemerintahan Bani Abbas selama 46 tahun. Penderitaannya ketika menuntut ilmu, patut dijadikan pelajaran oleh kita. Seperti perkataan Ibnu Qasyim, “Penderitaan Imam Malik sedemikian rupa dalam menuntut ilmu, sehingga ia pernah terpaksa memotong kayu atap rumahnya untuk dijual di pasar.” Ia juga mampu membiayai hidupnya setelah ditinggal wafat oleh ayahnya, dengan bermodalkan 400 dinar sebagai warisan.
Selama menuntut ilmu di Madinah, pelajaran pertama yang ia dapatkan adalah al-Qur’an, dari mulai cara membacanya sampai memahami makna tafsirnya sekaligus. Sehingga ia mampu menghafal al-Qur’an di luar kepala. Selain menghafal al-Qur’an, Imam Malik juga mempelajari Hadis serta menghafalkannya.
Sejak masih muda, Imam Malik dikenal sebagai pengajar agama Islam. Ketika menuntut ilmu, ia terkenal sebagai orang yang sabar dan sudah terbiasa menghadapi kesulitan serta penderitaan dalam hidupnya. Berkat kesungguhan dan ketekunan yang dimilikinya, ia banyak berguru kepada ulama yang mempunyai banyak ilmu khususnya dalam bidang hadis dan fikih. Sehingga ia menjadi ulama besar khususnya dalam bidang hadis di Madinah, serta dijuluki sebagai Ahli Hadis. Ia juga orang yang sangat teliti, hingga suatu ketika Ibn Hibban mengatakan bahwa Imam Malik adalah orang yang pertama dari kalangan fuqaha Madinah yang menyeleksi para perawi hadis saat itu. Imam Malik menolak perawi yang tidak siqat, serta menghimbau untuk tidak meriwayatkan hadits kecuali yang sahih. Sama halnya dengan dirinya yang tidak akan meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang siqat.
Imam Malik mempunyai banyak murid salah satunya yaitu Imam Syafi’i. Ia adalah ulama fikih yang terkenal dan menjadi panutan umat muslim dengan Madzhabnya, yaitu Madzhab Syafi’i. Ia juga sangat mengagumi keunggulan mengenai keilmuan Imam Malik terutama dalam ilmu hadis. Menurut M. Ali Hasan dalam bukunya Perbandingan Madzhab bahwa, berikut adalah pengakuan Imam Syafi’i mengenai gurunya tersebut, “Apabila datang hadis kepadamu dari Malik, maka pegang teguhlah olehmu dengan kedua tanganmu, karena ia menjadi alasan bagimu,” dan di dalam buku Biografi Imam Malik karya Abdul Aziz asy-Syinawi menyatakan bahwa Imam asy-Syafi’i berkata, “Jika ada atsar, maka Imam Malik adalah bintangnya.”
Imam Malik berguru kepada banyak ulama, ia memilih guru yang terbaik dengan tujuan untuk memperoleh ilmu dari mereka. Suatu ketika salah satu gurunya berpesan kepada Imam Malik agar tidak segan untuk menjawab “Saya tidak tahu,” jika belum mengetahui jawaban dari permasalahan yang ada. Ibnu Harmaz juga menyatakan bahwa seorang yang berilmu harus dapat mewariskan kepada murid-muridnya perkataan “Saya tidak tahu,” jika belum mengetahui jawaban suatu permasalahan, itulah yang tertanam dan selalu diingat oleh Iman Malik.
Karena kecintaannya terhadap ilmu, ia rela mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk dunia pendidikan. Sehingga ia dapat melahirkan banyak kitab-kitab yang menjadi rujukan umat Islam hingga saat ini. Salah satunya yaitu Kitab al-Muwaththa yang terkenal. Kitab ini mencakup mengenai hadis-hadis shahih serta fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in yang tersusun secara praktis sesuai penulisan fikih. Keistimewaan kitab ini adalah menjawab berbagai persoalan fiqhiyah yang diambil dari hadis atsar. Hadis-hadis tersebut adalah hasil dari yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun dan disesuaikan dengan problematika yang ada di masyarakat.
Penulisan kitab al-Muwaththa ini merupakan saran dari khalifah Abbasiyah, yakni Abu Ja’far al-Mansur pada tahun 144 H. Saat itu, Imam Malik sedang pergi menunaikan ibadah haji di Mekah, kemudian Abu Ja’far al-Masur mengundang ke tempat kediamannya. Setelah berdialog cukup panjang dengan Imam Malik, Abu Ja’far al-Mansur merasa kagum atas kecerdasan yang dimiliki Imam Malik. Semua pertanyaan yang ia ajukan dijawab dan dijelaskan dengan penjelasan yang rinci dan jelas. Saat itulah kemudian Abu Ja’far al-Mansur menyarankan agar Imam Malik membuat buku, agar masyarakat mempunyai sandaran atas persoalan yang mereka miliki. Pada mulanya Imam Malik menolak untuk membuat buku, namun setelah Abu Ja’far memintanya berulang kali barulah ia menerima saran tersebut dan menyusun Kitab al-Muwaththa.
Dilihat dari aspek fikih, Kitab al-Muwaththa ini tersusun rapi dimulai dengan pembahasan bab Thaharah kemudian dilanjutkan bab shalat, zakat, puasa, nikah dan seterusnya. Kitab tersebut mendapat sambutan baik di kalangan masyarakat. Banyak ulama yang menggunakan dasar referensi kitab tersebut, sehingga tersebar dan diterima di masyarakat umum.
Referensi
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi 4 Imam Madzhab, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993.
Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang, 2001.
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Cet. III, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Abdul Aziz asy-Syinawi, Biografi Imam Malik, Yogyakarta: Aqwam Jembatan Ilmu, tt.
Mansyur, Berguru Adab Kepada Imam Malik, Sukabumi: CV Jejak, 2018.
Oleh : Milasari, Semester VI