Pandemi dan Kearifan Lokal dalam Naskah Islam Nusantara

Pandemi dan Kearifan Lokal dalam Naskah Islam Nusantara

Bincang di masa pandemi bersama Mahad Aly pekan ini (23/09) tiba giliran Ma’had Aly Saiidussiddiqiyah Jakarta sebagai tuan rumah. Dengan mengusung tema “Gring Sore Esuk Basuki, Gring Sore Esuk Waluya, Pandemi dan Kearifan Lokal dalam Naskah-Naskah Islam Nusantara”, Mahad Aly Jakarta yang notabene merupakan satu-satunya Mahad Aly takhasus Sejarah membahas wabah yang terjadi di masa lampau melalui catatan-catatan yang terlampir dari Naskah-naskah kuno warisan ulama Nusantara. Dinarasumberi oleh Kiai Ahmad Baso, bincang pandemi bersama Mahad Aly kali ini berjalan cukup meriah.

“Santri Mahad Aly hendaknya tidak hanya bisa dan biasa membaca teks-teks Arab saja, santri Mahad Aly harus bisa juga membaca teks-teks aksara warisan ulama Nusantara” tutur Kiai Baso dalam pertemuan bincang kali ini.

Kiai Ahmad Baso yang menjadi narasumber pada pertemuan kali ini membahas pandemi di masa lalu dengan pendekatan beberapa naskah kuno yang berisi catatan tentang wabah di masa lalu dan cara penanganannya.

Kiai Baso mula-mula menjelaskan definisi secara harfiah terkait pandemi. Ia menyebutkan pandemi/pageblug dalam kamus Bausastra Jawa (Poerwadarminta, 1939) diartikan sebagai “ungsum lelara nular”, musim penyakit menular. Dengan waba dan jrong yang merupakan nama lain (sinonim) dari penyakit ini. Ia juga menyebutkan bahwa, dalam konteks penelitian sejarah, kerja perkamus bukan hanya menjabarkan definisi, namun juga menyediakan bukti adanya realitas.

“Adanya kosa-kata tersebut (pageblug, jrong dan waba) merupakan bukti bahwa pernah terjadi pandemi di tanah Jawa. Jadi, Bausastra Jawa yang disusun Poerwadarminta di masa kolonial yang juga memuat istilah tersebut berfungsi sebagai penjaga memori bahwa pernah terjadi pageblug di masa kolonial seperti pes, cacar, malaria, kolera dan pathek. Sama dengan korona yang sedang mewabah sekarang,” jelas Kiai Baso.

Kiai Baso menjelaskan beberapa peristiwa wabah yang terjadi di masa lampau seperti serangan epidemi di Makasar (1636 M) yang merenggut 60.000 jiwa penduduknya, wabah penyakit di Jawa (1643-1644 M), demam epidemi gila dan keras di Maluku (1657 M), penyakit wabah yang terjadi di Sumatra, Jawa, Bali dan Makassar (1665 M) dan juga pernah terjadi wabah penyakit yang cukup besar (1625-1630 M) di mana pada tahun 1626 M-nya 2/3 penduduk Jawa Tengah tewas akibat wabah ini.

Selanjutnya, Kiai Baso mulai menjelaskan wabah-wabah yang terjadi di masa lampau melalui pendekatan naskah-naskah kuno. Ia menggunakan naskah kuno Serat Centhini dan Lontara Bilang Aksara Pegon Serang Makassar (naskah VT 25 PNRI). Termasuk kata “Gring Sore Esuk Basuki, Gring Sore Esuk Waluya”, waktu sore sakit pagi sembuh yang ia ambil dari naskah Serat Centhini.

“Naskah Serat Centhini tersebut menjelaskan bahwa kearifan kebangsaan Islam Nusantara ialah “islah” dalam artian memperbaiki dan menyembuhkan, bukan kepasrahan pada nasib ataupun “misuh-misuh”, marah-marah kepada kebijakan penanganan pandemi.” Tutur Kiai Baso.

Melalui naskah Lontara Bilang Kiai Baso juga menjelaskan bahwa adanya kearifan Islam Nusantara yang membahas social distancing dalam menyikapi wabah. Ia menyebutkan bahwa, pada saat Makassar terjangkit wabah penyakit menular (1636 M) Pemerintah setempat menganjurkan untuk melakukan jaga jarak dengan tetap berdiam di rumah beberapa waktu untuk menghindari penularan wabah penyakit.

“Masih banyak naskah-naskah Nusantara yang menjelaskan wabah, juga hal lainnya yang perlu dipelajari oleh generasi sekarang. Santri seharusnya bisa membacanya, terutama anak Mahad Aly,” jelas Kiai Baso.

Di akhir sesi, Kiai Baso menyebutkan tantangan Mahad Aly untuk menyambut Indonesia emas 2045 dalam bidang kesehatan di antaranya dengan mengkaji ilmu-ilmu kedokteran Islam dan Nusantara dari karya-karya Ibnu Sina (yang banyak menjadi referensi kajian kesehatan) sampai kearifan ilmu kedokteran dan pengobatan Islam Nusantara. Juga memberi kontribusi bagi kemajuan ilmu kedokteran modern berbasis kearifan kebangsaan Indonesia, bukan berbasis industri farmasi kapitalisme global.

Kontributor: Alwi Jamalulel Ubab, Semester III

Leave a Reply