Permata Pasundan di Tatar Galuh Parahiyangan

Permata Pasundan di Tatar Galuh Parahiyangan

Ma’had Aly – Perjuangan dakwah Islam di Tatar Galuh Ciamis tak lepas dari perjuangan tokoh masyarakat, yang mana memahami makna dakwah dengan merangkul masyarakat, mampu menyatukan kebudayaan yang majemuk menjadi satu ikatan persaudaraan. Hanya saja, hambatan dakwah tidak selalu berupa penolakan manusia, tak sedikit hal-hal ghaib membentengi suksesi dakwah di Tatar Galuh, khususnya di kota Cijeungjing, Ciamis, Jawa Barat.

Konon, di kota Cijeungjing terdapat sebuah jembatan yang sering menelan banyak korban, tak jarang kendaraan banyak tergelincir jatuh dan meninggal. Alat berat pun dikerahkan untuk meruntuhkan dan merombak jembatan tersebut, namun hasilnya nihil karena terjaga oleh makhluk ghaib penunggu jembatan tersebut. Eyang Haji Ibrahim seorang tokoh agama yang dikenal karamahnya, beliau dengan mudah menghancurkan hanya dengan sebatang tongkat miliknya.

Berkembanglah dakwah di kota Cijeungjing, pada masa penjajahan Belanda, sebagian dakwah Islam dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, salah satunya dilakoni oleh Eyang Haji Ibrahim, tongkat estafet dakwah ini terus berlanjut secara turun-temurun hingga saat ini.

Setelah wafat, Eyang Haji Ibrahim perjuangan dakwah dilanjutkan oleh KH. Masduki, beliau memiliki darah Cirebon yang berujung kepada Sunan Gunung Djati keturunan ke-18. Setelah beliau wafat dilanjutkan oleh putranya KH. Ahmad Hidayat.

Ahmad Hidayat memiliki putra bernama KH. Aceng Masduki yang menjadi penerus dakwah setelahnya. KH. Aceng Masduki sedikit berbeda dengan pendahulunya dalam berdakwah sirriyah, beliau mendirikan pondok pesantren Islami as-Salafi kurang lebih tahun 1945, beliau menguatkan pondasi pesantren, selain dengan pemahaman yang moderat dan merangkul masyarakat, beliau menanamkan cinta kepada Rasulullah saw dengan merutinkan sekaligus pendiri amalan sholawat wabarik:

اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد 

Menurut penuturan Bapak Toto salah satu santri kalong Cijeungjing, pada tahun 80-an menyaksikan secara langsung berkah dan karamahnya KH. Aceng Masduki. Saat itu para santri sedang mempersiapkan barang perlengkapan beliau untuk menghadiri suatu acara, salah satu santri seorang abdi ndalem diminta tolong untuk memasukan pasir ke dalam karung, tanpa banyak bertanya santri pun melaksanakannya dan memasukkannya ke dalam mobil kiyai yang sudah siap berangkat. Setelah sampai di tempat tujuan sang kiyai memerintahkan untuk mengeluarkan karung dari dalam mobil untuk diberikan kepada sohibul hajat, santri tersebut kebingungan karena berfikir apa maksud kiai memberi pasir kepada sohibul hajat. Namun ternyata karung tersebut telah penuh dengan beras, sontak santri tersebut kaget melihat keadaan tersebut, santri tersebut baru memahami maksud sang kiai.

Setelah wafatnya beliau tahun 2008, perjuangannya dilanjutkan oleh putra bungsunya, yakni KH. Hafi Muhammad atau lebih dikenal dengan panggilan abah Cijeungjing. Dalam kepengurusan membina pondok pesantren, beliau mampu menarik ribuan jamaah dari dalam hingga luar daerah di setiap pengajian rutin pada malam rabu, atau agenda tahunan dalam haul KH. Aceng Masduki. Lembaganya pun mampu memberangkatkan 400 orang jamaah guna melaksanakan ibadah umroh pada tahun 2019.

Terdapat kurang-lebih 20 santri perempuan dan 30 santri laki-laki, pondok pesantren ini fokus mengaji kitab kuning pendidikan non-formal, sedangkan pendidikan formal santri menggunakan akselerasi atau dikenal dengan sekolah paket. Dalam kesehariannya, santri diberikan akses alat komunikasi (handphone) dengan alasan perkembangan zaman sudah tidak bisa lagi dibendung, hanya iman dan takwa yang mampu menyaringnya, maka agar santri selalu update/ tidak tertinggal berita, alasan inilah pihak pesantren memperbolehkan menggunakan handphone, dengan tata peraturan yang telah ditentukan.

Pandangan Terhadap Islam Nusantara

Menanggapi Islam Nusantara yang sedang ramai diperbincangkan, bapak Qomaruddin salah satu pengurus pondok sekaligus ketua RW setempat mengungkapkan bahwa, Islam Nusantara tidak boleh langsung kita salahkan jika belum sempat mendalami pemahamannya, sebab semua pergerakan demi kemajuan Islam ialah sebuah perjuangan yang mulia. Perbedaan metode dan hal furu’ dalam ber-islam sangatlah bermacam-macam, sebab menyesuaikan dengan kondisi Indonesia yang kaya akan budaya dan pemahaman, yang terpenting maqashidussyari’ah-nya tercapai.

Melihat perkembangan umat Islam yang pesat dengan diikuti kebudayaan yang beragam, pemahaman moderat dalam ber-Islam sangatlah dibutuhkan, khususnya bagi kaum muda yang terlalu semangat dalam ber-hijrah, hingga terkadang berani menyalahkan orang tuanya sendiri, disebabkan perbedaan hal-hal furu’ yang sejak zaman dahulu sudah berbeda. Lalu berdasarkan pengalaman penyaji terhadap reaksi masyarakat menanggapi dakwah islam, masyarakat lebih simpatik dan tertarik dengan metode yang lemah lembut tidak saling menyalahkan bahkan mengkafirkan.

Metode keras dalam berdakwah atau tidak menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitar, akan menimbulkan reaksi penolakan dari masyarakat, bagaimana dakwah Islam tersampaikan, jika di awal langkah saja sudah diusir menjauh dari masyarakat.[1]

_________

[1] Wawancara pribadi dengan Qomaruddin, Ciamis, 01 Januari 2020.

Oleh : Ali Rizqy Muttawahis Al-Qarni, Semester IV

Leave a Reply