R.A. Kartini: Pejuang Hak Perempuan dan Menolak Poligami

R.A. Kartini: Pejuang Hak Perempuan dan Menolak Poligami

MAHADALYJAKARTA.COM – Kebebasan seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat menikmati pendidikan tanpa adanya batasan gender, sosial, maupun ras tak terlepas dari peran serta perjuangan para tokoh bangsa. Ada yang berjuang dengan tenaga dan darahnya dalam merebut kemerdekaan, tapi ada juga yang berjuang melalui pemikirannya. Raden Ajeng Kartini merupakan salah satu tokoh bangsa yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Berbeda dengan tokoh feminis modern yang menuntut agar perempuan disetarakan dengan lelaki dalam berbagai lini kehidupan, R.A. Kartini fokus berjuang agar para perempuan pribumi bisa mendapatkan hak yang fundamental, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana kaum lelaki. Walaupun ia meninggal di usia yang masih sangat muda, tetapi pemikiran dan cita-citanya memberikan pengaruh yang cukup besar.

R.A. Kartini merupakan pejuang hak-hak perempuan pribumi khususnya hak untuk mendapatkan pendidikan. Ia terlahir pada tanggal 21 April 1879 M. di lingkungan keluarga aristokrat Jawa. Ia merupakan putri dari Bupati Jepara bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan seorang wanita biasa bernama Ngasirah, putri dari Kiai Haji Madirono seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Sejatinya Ngasirah merupakan istri pertama Sosroningrat, akan tetapi peraturan pemerintah Belanda waktu itu mengharuskan seorang bupati menikahi seorang perempuan dengan latar belakang bangsawan. Akibatnya, pada tahun 1875 M. Sosroningrat menikah lagi dengan Raden Ayu Muryam yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura. 

Pernikahan Sosroningrat yang kedua kalinya ini mengubah status Ngasirah menjadi garwa ampil atau selir karena ia tak berdarah biru, sementara Raden Ayu Muryam diakui sebagai garwa padmi (permaisuri/istri utama). Meskipun terlahir dari rahim seorang selir, R.A. Kartini tetap dianggap sebagai putri keraton yang harus dihormati karena ia mewarisi darah biru ayahnya. Bahkan ibu kandungya pun harus memanggil R.A. Kartini dengan sebutan ndoro atau majikan. Sedangkan R.A. Kartini memanggil Ngasirah dengan panggilan yu yang biasa diucapkan untuk memanggil perempuan abdi ndalem. R.A. Kartini dan saudara-saudaranya hanya boleh memanggil sebutan ibu kepada Raden Ayu Muryam yang berstatus garwa padmi. 

Melekatnya praktik feodalisme di Jawa pada masa itu menyebabkan adanya diskiriminasi sosial, bahkan di lingkup keluarga bangsawan sendiri. Hal ini turut dialami langsung oleh R.A. Kartini karena ia terlahir dari seorang ibu selir. Pengalaman pahit semasa kecilnya inilah yang membuat R.A. Kartini melawan segala bentuk ketidakadilan yang ada pada saat itu, utamanya yang berkaitan dengan perempuan Jawa.

PENDIDIKAN R.A. KARTINI

Keluarga R.A. Kartini merupakan keluarga yang sangat mengutamakan pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh dan pemikiran kakeknya yakni Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang diangkat menjadi bupati ketika berusia 25 tahun. Dia adalah bupati pertama yang mendidik semua anaknya, baik laki-laki maupun perempuan dengan pendidikan ala barat. Bahkan dia juga memanggil seorang guru langsung dari Belanda untuk mendidik putra-putrinya. Dia pernah berpesan kepada anak-anaknya mengenai pentingnya pendidikan, “Anak-anakku, jika tidak mendapat pelajaran, engkau tiada akan mendapat kesenangan, turunan kita akan mundur, ingatlah!” 

Pesan ini terus diingat oleh Sosroningrat. Dia merupakan seorang bupati yang pandai menulis dan berbahasa Belanda. Ketika itu tidak banyak bupati dengan kecerdasan intelektual yang cukup baik. Bahkan sejarawan M.C. Ricklefs menyebut Sosroningrat sebagai salah satu sosok bupati di tanah Jawa dengan pemikiran yang paling maju. Ketika ia menjabat sebagai bupati, ia berupaya untuk memajukan pendidikan warganya dimulai dari keluarganya terlebih dahulu. Ia memasukkan R.A. Kartini ke Europeesche Lagere School (ELS). Tindakan ini sebenarnya melanggar tradisi, yang mana tidak memperbolehkan perempuan terlebih perempuan pribumi untuk bisa mengenyam pendidikan modern. Namun, Sosroningrat meyakini anak perempuannya tetap bisa menikmati pendidikan tanpa harus kehilangan kepribadian dan adat istiadat. Hal tersebut turut disinggung oleh R.A. Kartini dalam suratnya yang ditujukan kepada Stella Zeehadelaar tertanggal 25 Mei 1899 M. 

“Pengkhianatan besar terhadap adat kebiasaan negeriku, kami bocah-bocah perempuan harus keluar rumah untuk belajar dan karenanya harus meninggalkan rumah setiap hari untuk mengunjungi sekolah, lihatlah adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke tempat lain kami pun tak boleh.”

R.A. Kartini juga menceritakan kepada Stella Zeehandelaar tentang diskriminasi sosial dan rasial yang dia alami di sekolah tersebut. “Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil dan menantang terhadap kami. Aduhai! Betapa banyaknya duka cita dahulu semasa masih kanak-kanak di sekolah; para guru kami dan banyak di antara kawan-kawan sekolah kami mengambil sikap permusuhan terhadap kami. Tetapi, memang tidak semua guru dan murid membenci kami, banyak juga yang mengenal kami dan menyayangi kami, sama halnya terhadap murid-murid lain. Kebanyakan guru tidak rela memberikan angka tertinggi pada anak Jawa, sekalipun murid itu berhak menerimanya.”

Baca Juga: Panggil Aku Kartini Saja

Kebebasan R.A. Kartini mengenyam pendidikan tidak berlangsung lama karena setelah ia lulus dari ELS pada 1892 M. ia harus menjalani masa pingitan. Posisi ayahnya sebagai seorang bupati yang membuat Kartini bisa merasakan bangku sekolah, tapi hal itu pulalah yang merenggut mimpi Kartini untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Jabatan bupati yang diemban Sosroningrat membuatnya harus tetap menghormati adat dan tradisi yang ada di tengah masyarakatnya. Ia tidak bisa begitu saja memenuhi keinginan R.A. Kartini untuk melanjutkan sekolahnya karena akan menyebabkan prasangka yang tidak baik dan pergolakan di kalangan masyarakat. 

Meskipun demikian, ia tidak pernah berhenti belajar kapan pun dan di mana saja ada kesempatan. Ia sering membaca buku, majalah, maupun surat kabar berbahasa Belanda. Ia tertarik pada kemajuan pola pikir perempuan Eropa. Timbullah keinginan di dalam hatinya untuk menaikkan derajat perempuan pribumi karena ia melihat pada saat itu, posisi perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Keinginannya amatlah sederhana, ia tidak berniat agar orang Jawa bertingkah seperti orang Eropa (pseudo-European), ia hanya berkeinginan agar mereka bisa menjadi orang Jawa yang lebih baik.

“Duh, Tuhan! Kadang-kadang aku ingin, hendaknya tiada satu agama pun di atas dunia ini karena agama-agama ini yang justru harus persatukan semua orang, sepanjang abad-abad yang telah lewat malah menjadi biang-keladi peperangan dan perpecahan, dari drama-drama pembunuhan yang paling kejam.” (R.A. Kartini)

PEMIKIRAN R.A. KARTINI

Pemikiran R.A. Kartini banyak dipengaruhi dari pengalaman hidupnya sendiri serta pemikiran para tokoh dan buku-buku yang ia baca. Ia sering kali mempertanyakan dan mengkritik tradisi yang menurutnya menghambat kemajuan. Bahkan, tak jarang ia juga megkritik ajaran Islam, sehingga ada beberapa kalangan yang menghubungkan R.A. Kartini dengan Freemason. Hal ini bisa dilihat dari isi surat-surat yang ia tulis untuk temannya. Salah satu pemikiran R.A. Kartini yang cukup ekstrim bisa dilihat dalam suratnya yang ditujukan kepada Stella Zeehadelaar terkait poligami tertanggal 6 November 1899 M .

”Aku tidak akan pernah mencintai. Bagiku, untuk bisa mencintai, pertama kali kita harus bisa menghargai pasangan kita. Dan, itu tidak kudapatkan dari seorang pemuda Jawa. Bagaimana aku bisa menghargai seorang lelaki yang sudah menikah dan sudah menjadi seorang ayah hanya karena ia sudah bosan dengan yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya? Ini sah menurut hukum Islam. Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan ataupun skandal. Hukum Islam mengizinkan laki-laki beristri empat sekaligus. Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan tetap menganggap ini sebagai sebuah dosa.”

Baca Juga: Pelopor Kebangkitan Perempuan Pribumi

Pandangan R.A. Kartini ini bukan karena ia menentang hukum Islam yang memperbolehkan poligami. Pandangannya ini karena ia melihat ibunya sendiri menderita saat ayahnnya menikah lagi karena aturan yang ditetapkan Belanda. Ia juga menyadari jika tradisi ini dibiarkan, maka akan melahirkan ketidakadilan yang lain seperti kawin paksa. Ia sadar bahwa sedang berhadapan dengan lawan yang sangat kuat bernama adat istiadat dan bahkan juga dibenarkan oleh agama. Kartini mencurahkan kegelisahannya itu kepada Nyonya Abendanon dalam suratnya yang ditulis pada Agustus 1902 M.

“Saya putus asa, dengan rasa pedih perih saya puntir-puntir tangan saya jadi satu. Sebagai manusia, saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu dan itu yang paling aduh, alangkah kejamnya! Dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan: korbannya aduh, saya pikir mungkin pada suatu ketika nasib menimpakan kepada saya suatu siksaan yang kejam yang bernama poligami itu. “Saya tidak mau” mulutku menjerit, hatiku menggemakan jeritan itu ribuan kali.”

Dalam suratnya yang lain, ia bahkan mengkritik guru ngajinya yang tidak mampu menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an. Kekecewaan itu semakin mendalam lantaran ia merasa tidak ada manfaat yang akan ia dapat jika hanya menghafal dan membaca Al-Qur’an tanpa memahami maknanya, sehingga R.A. Kartini merasa jika ia beragama Islam karena orang tuanya juga beragama Islam. 

“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikan dengan umat lain. Lagi pula sebenarnya agamaku Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Di sini orang diajar membaca Al-Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan gila kah, orang diajar membaca, tetapi tidak diajar makna yang dibacanya.” (Surat untuk Stella, 6 November 1890 M.)

Pandangannya terhadap Islam itu berubah menjadi kecintaan tatkala ia bertemu dengan KH. Muhammad Sholeh bin Umar dalam kegiatan pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat yang juga merupakan paman R.A. Kartini. Di sana KH. Muhammad Sholeh atau lebih dikenal dengan nama Kiai Sholeh Darat tengah menjelaskan tafsir surah Al-Fatihah. R.A. Kartini tertegun dibuatnya karena selama ini ia hanya membacanya tanpa pernah mengetahui maknanya. Bahkan Kiai Sholeh Darat memberikan kitab karangannya yang berjudul Faidh ar-Rahman fi Tarjamati Tafsir al-Kalam al-Malik ad-Dayyan jilid I yang terdiri dari surah Al-Fatihah sampai dengan surah Ibrahim sebagai hadiah pernikahan untuk R.A. Kartini. Kitab itu sendiri ditulis menggunakan aksara pegon untuk mengecoh pemerintahan Belanda yang ketika itu memang tidak mengizinkan penerjemahan Al-Qur’an.

Ketika sedang mempelajari Al-Qur’an, R.A. Kartini mendapati dalam surah Al-Baqarah ayat 257 yang berarti “Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yaNg mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” Kartini sangat terkesan dengan ayat ini karena ia merasakan langsung proses perubahan di dalam dirinya sendiri dari pemikiran jahiliah kepada pemikiran hidayah.

Dalam beberapa suratnya, R.A. Kartini banyak mengulang kata-kata Door Duisternis tor Licht yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan berarti “Dari gelap kepada cahaya”. Namun, makna ini bergeser ketika Armijn Pane menerjemahkan kalimat Door Duisternis tor Licht menjadi “Habis gelap terbitlah terang”. Kalimat terjemahan Armijn Pane mungkin memang memiliki nilai puitis, tapi ia justru menghilangkan spirit yang diperoleh R.A. Kartini dari pemahamannya terhadap ayat Al-Qur’an. (//)

REFERENSI:

Febriana, Efantino. 2010. Kartini Mati Dibunuh: Membongkar Hubungan Kartini dengan Freemason. Yogyakarta: Navila Idea.

Kartini, Raden Ajeng. 1921. Letters of a Javanese Princess translated by Agnes Louise Symmers. London: Duckworth & Co.

Kartini, Raden Ajeng. 2011. Habis Gelap Terbitlah Terang Cet. XXIX terj. Armijn Pane. Jakarta: Balai Pustaka.

Marihandono, Djoko dkk. 2016. Sisi Lain Kartini. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Kementeran Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Nurcholish, Ahmad. 2018. Celoteh R.A. Kartini: 232 Ujaran Bijak Sang Pejuang Emansipasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Ricklefs, Merle C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 Edisi Ketiga Cet. III terj. Satrio Wahono dkk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Rosyadi, Imron. 2012. R.A. Kartini: Biografi Singkat 1879-1904. Yogyakarta: Garasi.

Susanti, Ready. 2017. Seri Tokoh Nasional: Kartini Guru Emansipasi Perempuan Nusantara Cet. II. Bandung: Penerbit Marja.

Kontributor: Ammar Rizkillah, Semester 6

Penyunting Bahasa: Isa Saburai

Leave a Reply