KH. Maimun Zubair: Ulama Karismatik Yang Digandrungi Sejuta Umat

KH. Maimun Zubair: Ulama Karismatik Yang Digandrungi Sejuta Umat

MAHADALYJAKARTA.COM – Siapa sebenarnya sosok Mbah Maimun?

Bagaimana cara beliau mencetak 8 generasi yang semuanya menjadi ulama bahkan wakil gubernur?

Apa rahasia Mbah Moen sehingga ulama mesir pun mengakui kewalian beliau?

Bagaimana cara mendidik santri ala Mbah Moen sehingga menghasilkan santri seperti Gus Baha’?

Apa penyebab Mbah Moen begitu mencintai NKRI?

Beliau dikenal dengan sebutan Mbah Mun (biasa ditulis Moen) atau Mbah Maimoen. Maimun Zubair adalah nama lengkap seorang ulama besar Nusantara di abad ini. Beliau berkhidmat dalam keilmuan islam dan sosial maupun politik sekaligus sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang Jawa Tengah. 

Mutiara dari Sarang

Bagi Bangsa Indonesia, tanggal 28 Oktober merupakan hari yang bersejarah karena pada saat itu digelar “sumpah pemuda” untuk menegaskan cita-cita bangsa indonesia yaitu satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Pada saat itu juga, di Sarang Rembang Jawa Tengah telah lahir seorang anak laki-laki yang kelak menjadi ulama besar sekaligus guru bangsa: Maimun bin Zubair yang kemudian dikenal dengan KH. Maimun Zubair. Kiai sae sangking sarang itu dilahirkan di Karangmangu,Sarang pada hari Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1347 H/1348 H yang bertepatan dengan 28 Oktober 1928 M. Ayahnya Kiai Zubair Dahlan merupakan seorang santri kinasih Syekh Sa’id Al-Yamani dan Syaikh Hasan Al-Yamani Al-Makki. Sementara itu Ibundanya bernama Nyai Hj. Mahmudah, putri dari Kyai Ahmad bin Syuaib ulama kharismatik yang dikenal teguh memegang prinsip. Sebagai keturunan ulama besar lewat jalur ayah ternyata nasab beliau bersambung dengan Sunan Giri.   

Baca Juga :

Ratu Kalinyamat: Pemimpin Perempuan dari Jepara

Pendidikan Mbah Maimun

Seperti kisah kebanyakan ulama pada umumnya yang masa mudanya dihabiskan dengan pengembaraan mencari ilmu, Mbah Maimun pun melakukannya. Pendidikan Kiai Maimun muda dimulai dari lingkungan keluarganya sendiri tepatnya ayahnya. Sejak dini, Kiai Maimun Muda memang sudah menampakkan kecerdasan dan keseriusannya dalam mempelajari berbagai disiplin ilmu agama. Bahkan sebelum usianya 17 tahun, Kiai Maimun sudah hafal diluar kepala berbagai macam kitab pesantren seperti Al-Jurumiyyah, Al-Imrithi, Alfiyah Ibnu Malik, Matan Jauharud Tauhid, Sullamul Munawwaraq, dan masih banyak lagi. 

Pada tahun 1945 tepatnya saat berusia 17 tahun, Maimun Muda memulai pengembaraannya mencari ilmu ke berbagai pesantren di Jawa dan yang menjadi pesantren tujuanya adalah Pesantren Lirboyo. Di Bawah asuhan KH. Abdul Karim, KH Mahrus Aly, dan KH. Marzuqi inilah Maimun Muda menimba ilmu selama 5 tahun. Setelah menimba ilmu dari Lirboyo, Maimun muda kemudian melanjutkan pendidikannya ke Mekah dengan diantar oleh kakeknya, KH. Ahmad bin Syuaib. Selama di Mekah, Maimun Muda belajar kepada banyak ulama negeri Hijaz salah satunya kepada Syekh Yasin Isa Al-Fadani dan kembali ke Tanah Air setelah 2 tahun lebih belajar di Mekah. Setelah kembali dari Tanah Suci, Maimun Muda masih melanjutkan belajarnya ke banyak kiai dan ulama di Tanah Jawa, seperti Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Mustofa Rembang, Kiai Wahab Chasbullah Jombang, Kiai Muslih Mrangggen, Kiai Abbas Buntet Cirebon, Syekh Abul Fadhol Senori Tuban, dan beberapa kiai lain. 

Mbah Maimun dan Pesantren Al-Anwar

Bagi kebanyakan kiai, mendirikan pesantren dan mempunyai santri merupakan impian semua kiai meskipun tantangannya besar, begitu pula yang dialami oleh Mbah Maimun. Pada tahun 1965 tepatnya saat berusia 37 tahun, Mbah Maimun mulai mendirikan pesantren Al-Anwar. Pesantren inilah yang kemudian menjadi tujuan santri-santri dari berbagai daerah di Indonesia untuk menimba ilmu Agama. Karena kealiman, kecerdasan, dan kemuliaan akhlaknya yang luar biasa menjadikan sosok Mbah Maimun sebagai ulama yang disegani oleh seluruh lapisan masyarakat, pejabat, rakyat jelata hingga kemudian beliau dikenal dengan ulama kharismatik.

Seiring berjalanya waktu, Pesantren Al-Anwar kemudian menjadi pesantren besar dengan santri berjumlah ribuan dan menjadi salah satu pesantren paling berpengaruh di Jawa Tengah. Dalam perkembanganya, selain semakin besar jumlah santrinya, juga semakin berkembang kelembagaannya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga pendidikan salaf maupun modern yang dimiliki Al-Anwar mulai dari tingkat SLTP, SLTA hingga Perguruan Tinggi. Semua pencapaian tersebut tidak lepas dari peran putra-putra Mbah Maimun yang turut berjuang mengembangkan pesantren dengan gaya pendidikan dan manajemen pesantren yang bisa dibilang modern dan profesional mengingat seluruh putra Mbah Maimun merupakan lulusan Timur Tengah. Keikutsertaan putra-putra Mbah Maimun dalam mengelola dan mengajar di pesantren inilah yang membuat putra-putra Mbah Maimun menjadi ulama bahkan wakil gubernur. 

Kiai yang akrab disapa Mbah Moen itu juga mempunyai banyak karya yang menjadi rujukan dan kajian di Pesantren Al-Anwar, diantaranya Nushushul Akhyar, Tarajim Masyayikh Al-Ma’ahid Ad-Diniah bi Sarang Al-Qudama’, Al-Ulama’ Al-Mujaddidun, Maslakul Tanasuk, Kifayatul Ashab, Taqirat Badi Amali, Taqrirat Mandzumah Jauharut Tauhid.

Kesederhanaan Mbah Maimun

Mbah Maimun merupakan ulama yang bisa dibilang anti mainstream atau langka. Jika kebanyakan kiai besar dan terkenal mempunyai rumah dan kendaraan yang bisa dibilang mewah, maka beliau lebih memilih hidup dengan penuh kesederhanaan.

Bahkan dalam salah satu ceramah KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih populer disebut Gus Baha’, mengatakan bahwa sudah berulang kali ada orang menawarkan diri untuk merenovasi rumah Mbah Maimun agar rumah beliau tampak lebih bagus tetapi selalu ditolak. Hal ini karena Mbah Maimun merupakan tipe kiai yang mempunyai jiwa kesederhanaan dan cenderung tidak menyukai kemewahan.

Berdasarkan penuturan santrinya, kehidupan Mbah Maimun sejak dulu sampai wafat terkenal sederhana. Bayangkan saja beliau pernah menjadi anggota DPR, menjadi ketua Majelis Syariah PPP dan menjadi mustasyar PBNU, belum ditambah dengan posisi-posisi penting yang beliau pegang. Tentu saja dengan posisi yang sangat strategis itu sangat mudah bagi Mbah Maimun untuk sekedar mempunyai rumah mewah, mobil mewah, dan berbagai aset kekayaan lainya. Tetapi kesempatan tersebut tidak beliau ambil dan justru lebih memilih hidup dengan sesederhana mungkin.

Selain sederhana, Mbah Maimun juga dikenal dengan kiai yang egaliter. Hal ini tercermin ketika beliau menghadapi tamu-tamunya. Siapapun yang menjadi tamunya, meski tamu tersebut baru pertama kali sowan dan bukan orang penting pasti akan diajak untuk ngobrol dengan akrab. Hal inilah yang kemudian menular kepada salah satu santri kesayangannya, Gus Baha’ yang terkenal dengan kesederhanaannya. 

Rahasia Gus Baha’ mewarisi kealiman Mbah Moen

Di era milenial seperti sekarang ini tentu nama Gus Baha’ sudah tak asing lagi. Kiai yang terkenal sebagai pakar ahli tafsir dan ahli Al-Qur’an itu bahkan menjadi Ketua Tim Lajnah Mushaf UII yang anggotanya terdiri dari Profesor, Doktor dan ahli-ahli Al-Qur’an seperti Prof.Dr. Quraish Shihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Sohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain. Bahkan Gus Baha merupakan satu-satunya dari jajaran Dewan Tafsir Nasional yang berlatar belakang non formal dan non gelar. Tentu hal ini merupakan buah khidmahnya serta berkah dari kedekatanya dengan gurunya, yaitu Mbah Maimun. 

Bahkan pernah suatu ketika Gus Baha’ diminta untuk mencarikan ta’bir tentang suatu permasalahan oleh gurunya. Karena saking cepatnya ta’bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, sehingga gurunya pun terharu dan ngendikan dengan bahasa jawa” Iyo ha’ koe pancen cerdas tenan” ( iya ha’ kamu memang benar-benar cerdas).

Pesan Mbah Maimun kepada santri Milenial

Karena kedekatanya dengan pemimpin, Mbah Maimun sadar akan perubahan zaman yang terjadi seiring berjalanya waktu termasuk bagi kaum kiai dan santri. Kiai dari Jawa Tengah itu sering berpesan kepada kiai muda pengasuh pondok pesantren agar selalu mengikuti perkembangan zaman dalam melakukan dakwah. Hal ini disampaikan mengingat Mbah Maimun merupakan kiai yang mengalami berbagai macam perubahan zaman di Indonesia mulai dari sebelum kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Menurut Mbah Maimun, dakwah di zaman sekarang tidak bisa dilakukan dengan kekerasan seperti zaman dahulu. Metode dakwah yang paling tepat bagi generasi zaman now adalah berdakwah dengan damai dan kontekstual serta penuh dengan ketenangan.

Karena Mbah Maimun hidup dari zaman sebelum kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan, serta  kelahirannya yang bertepatan dengan hari sumpah pemuda menyebabkan kecintaannya kepada NKRI begitu dalam. Bagi beliau rasa Hubbul Wathan harus dimiliki oleh setiap warga negara demi mempertahankan kemerdekaan yang sudah dicapai mengingat betapa pedihnya hidup dibawah cengkraman penjajah.

Impian yang menjadi kenyataan

Seperti layaknya manusia pada umumnya, Mbah Maimun juga mengalami masa tua. Beliau bisa dibilang kiai yang berumur panjang mengingat usianya yang hampir mencapai 1 abad yaitu 90 tahun. Mbah Maimun merupakan kiai yang diyakini kewaliannya oleh banyak ulama, baik ulama nusantara maupun Timur Tengah. Hal ini terbukti dari pengakuan salah satu Alumni Al-Anwar yang melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar kairo Mesir dimana salah satu gurunya disana menitipkan salam kepada Syaikh Maimun karena termasuk waliyyun min auliyaillah.

Mbah Moen memang mempunyai impian untuk meninggal Khusnul Khotimah dan meninggal di hari selasa dan impiannya pun menjadi kenyataan. Seluruh masyarakat Indonesia terutama santri dan warga NU menangis dan kaget saat mendengar kabar bahwa ulama yang digandrungi sejuta umat itu meninggal dunia pada Selasa, 6 Agustus 2019 di Tanah Suci Mekah setelah menunaikan salat subuh. Beliau meninggal saat menunaikan ibadah Haji atas undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi, bahkan dimakamkan di komplek pemakaman tertua di Mekah yaitu komplek pemakaman Ma’la. Makamnya berdekatan dengan makam guru beliau, Sayyid Alawi Al-Maliki Al-Hasani dan Istri Rasulullah SAW, Sayyidah Khadijah.(//) 

Referensi :

Makmun Kholil, Mbah Maimun Kisah-Kisah Kemuliaan Guru Semua Golongan, Yogyakarta: Araska, 2019

Jamal Ma’mur Asmani, KH. MAIMOEN ZUBAIR Sang Maha Guru, Yogyakarta: DIVA Press (anggota IKAPI), 2021

Khoirul Anam, Bahagia Beragama Bersama Gus Baha, Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kompas – Gramedia Anggota IKAPI, 2022

Khoridatunisa, Kiai dan Politik (Analisis Tokoh KH. Maimoen Zubair sebagai Jangkar Politik) http://repository.iainkudus.ac.id/id/eprint/8550 diakses pada 1 Maret 2023 pukul 22.59 WIB 

Riadi  Ngasiran, AULA edisi 11/ Tahun XXXVIII/November 2016, halaman 41, Surabaya, Aula Media Nahdlatul Ulama, 2016

Alwi HS, M. (2019). Mewujudkan Perdamaian Di Era Media Versi KH. Maimun Zubair : (Analisis Ma’na-cum-Maghza Atas Pesan KH. Maimun Zubair Di Media Sosial). Madinah: Jurnal Studi Islam, 6(1), 53-70.  http://ejournal.iai-tabah.ac.id/index.php/madinah/article/view/1289/ diakses pada 2 Maret 2023

Anom Whani Wicaksana, Mbah Moen, Kiai Kharismatik Penuh Inspirasi, Yogyakarta: c – Klik Media, 2019

Kontributor: Muhamad Fathul Bari, Semester II

Editor: Dalimah Nur Hanipah

Leave a Reply