Qur’an, Liberation and Pluralism: Tafsir Pembebasan Farid Esack
MAHADALYJAKARTA.COM—Isu diskriminasi selalu menimbulkan banyak perdebatan, baik terkait perbedaan suku, budaya, maupun ras. Padahal, Islam mengajarkan bahwa semua ciptaan Allah memiliki derajat yang sama. Satu-satunya hal yang membedakan manusia di sisi Allah adalah ketakwaannya. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Ḥujurāt [49]:13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Ayat ini menegaskan bahwa manusia dilarang saling menghina, mencaci, maupun merendahkan. Salah satu contoh nyata diskriminasi yang patut dijadikan pelajaran adalah peristiwa di Afrika Selatan. Pada kesempatan ini, kita akan menyoroti seorang tokoh Muslim bernama Farid Esack beserta karyanya Qur’an, Liberation and Pluralism yang menjadi respon atas diskriminasi rasial di sana.
Sekilas tentang Farid Esack
Farid Esack adalah seorang aktivis Muslim asal Afrika Selatan. Ia lahir pada tahun 1959 di Cape Town, sebuah daerah miskin dan terpinggirkan. Karena kebijakan Group Areas Act, ia dan ibunya dipaksa pindah sebagai warga “non-kulit putih.” Dari kondisi itu, Esack tumbuh menjadi seorang cendekiawan yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi masyarakat Afrika.
Dalam perjuangannya, ia terlibat aktif dalam gerakan anti-Apartheid serta organisasi Islam dan lintas agama, di antaranya Muslim Youth Movement of South Africa (MYM), United Democratic Front (UDF), South African Council of Churches (SACC), The Interfaith Alliance, International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO), hingga The African National Congress (ANC). Esack menempuh pendidikan tinggi di Pakistan, lalu kembali ke Afrika Selatan untuk mengimplementasikan ilmunya melalui organisasi Call of Islam.
Politik Apartheid
Apartheid adalah sistem politik yang memisahkan masyarakat berdasarkan ras, dengan dominasi penuh di tangan kulit putih. Diterapkan sejak 1948, sistem ini mengatur hampir seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Afrika Selatan.
Benih rasisme sebenarnya sudah ada sejak awal abad ke-20. Pasca Perang Boer, politik pemisahan ras mulai diterapkan, dan pada 1910, Uni Afrika Selatan dibentuk di bawah kendali Inggris. Kebijakan tersebut kemudian diperkuat oleh kaum Afrikaner.
Babak baru dimulai pada 1948, ketika Partai Nasional yang dipimpin Dr. Malan memenangkan pemilu dan menjadikan Apartheid sebagai kebijakan resmi negara. Undang-undang diskriminatif pun lahir, seperti larangan pernikahan antar ras, penggolongan penduduk berdasarkan warna kulit, serta pemisahan fasilitas publik. Semua ini dilegalkan dengan alasan stabilitas politik, sosial, dan ekonomi.
Qur’an, Liberation and Pluralism sebagai Respon Diskriminasi
Buku Qur’an, Liberation and Pluralism ditulis Esack sebagai respon terhadap rezim Apartheid. Berangkat dari pengalamannya sebagai bagian dari komunitas kulit hitam, ia menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab pembebasan yang menolak segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.
Esack menekankan perlunya reinterpretasi teks Al-Qur’an agar tetap relevan dengan tantangan zaman modern. Menurutnya, Al-Qur’an seharusnya menjadi instrumen untuk membebaskan kaum tertindas, bukan alat untuk membatasi kebebasan. Ia menggarisbawahi pentingnya pluralisme, keterbukaan terhadap keberagaman, serta pemahaman kontekstual atas wahyu yang diturunkan.
Dalam bukunya The Qur’an: A User’s Guide, Esack juga menyoroti tiga aspek penting dalam memahami Al-Qur’an: kontekstualisasi makna, partikularitas teks, dan relevansi praktis. Prinsip Tadrij (proses bertahap turunnya wahyu) menurutnya relevan untuk menjawab kebutuhan personal, politik, maupun sosial-ekonomi umat. Oleh karena itu, ia menggunakan pendekatan hermeneutika liberatif untuk menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an.
Warisan Pemikiran Farid Esack
Esack mengingatkan bahaya terjebak dalam tafsir konservatif yang kaku. Ia mendorong umat Muslim untuk memahami ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual, agar nilai keadilan sosial dan pluralisme benar-benar menjadi praktik dalam kehidupan sehari-hari.
Pemikiran dan perjuangan Esack ikut menyemangati lahirnya gerakan perlawanan terhadap Apartheid. Pada akhirnya, sistem Apartheid resmi dihapuskan pada 21 Februari 1991. Kejatuhan rezim ini membawa dampak besar, seperti lahirnya kesetaraan hak antara kulit hitam dan kulit putih, serta berkembangnya paham anti-rasisme di seluruh dunia.
Melalui karyanya, Esack mengajak umat Islam untuk membayangkan masa depan yang inklusif, adil, dan harmonis, di mana pluralisme dijadikan pijakan utama dalam kehidupan bermasyarakat.
Referensi:
Abdal-Hakim Murad. 2000. “Intellectual Discourse”. Jurnal Vol. 8, No. 1.
Esack, Farid. 2005. Al-Qur‘an: User‘s Guide. Oxford: Oneworld Publications.
Farid Esack. 2003. On Being A Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural. Terj Nuril Hidayah, Yogyakarta : IRSiSoD.
Farid Esack. 2000. Qur‘an, liberation & Pluralism: An Islam is Perspective of Interreligious Solidarity againts Oppression. Terj. Al-Qur‘an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas. Bandung: Mizan.
Munir, Misbachul. 2018. “Hermeneutika Farid Esack”. Jurnal Spiritualis, vol. 4, no. 2.
Nadia, Zunly. 2012. “Pandangan Farid Esack Tentang Al-Qur’an, Tafsir Dan Takwil Serta Implikasinya Terhadap Bangunan Teologi Pembebasan”. Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1.
Sampson, Anthony. 2011. Nelson Mandela: The Authorised Biography. Sleman: Penerbit Bentang.
Wijaya, Aksin. 2009. Arah Baru Studi Ulum al-Qur‘an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kontributor: Leni Ajeng Musafiroh, Semester VII
Editor: S. Yayu. M