Ma’had Aly – Demi melaksanakan keberlanjutan organisasai, Dewan Mahasantri Asosiasi Ma’had Aly Indonesia (Dema Amali) mengadakan kongres ke-3 pada 22-24 Februari 2022 di Ma’had Aly Al-Iman, Desa Bulus, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.
Kiai Nur Salikin, salah satu badan pengurus harian AsosiasiAsosiasi Ma’had Aly Indonesia (Amali), Mudir Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta menyampaikan bahwa ciri khas mahasantri adalah membumi.
“Program-program yang ada seharusnya dapat membumi. Dan pemuda itu adalah agent of changes, tapi tugas kita bukan lagi berdemo, harus bisa melihat peluang dan potensi yang ada,” kata Kiai Nur Salikin ketika sambutan pada acara dengan tema ”Dema Amali dan Tantangan Mewujudkan Masyarakat Fiqhi: Fiqih Kedokteran” itu.
Lebih lanjut, Kiai Nur Salikin juga menyinggung tentang ruang birokrasi yang masih banyak belum diisi oleh mahasantri. Sehingga diharapkan supaya dapat dipahami oleh mahasantri agar kebijakan-kebijakan dapat mengutamakan kepentingan-kepentingan terkait.
Dalam kesempatan itu, Kiai Nur Salikin juga mengingatkan bahwa dalam organisasi itu tidak semua pengurusnya memungkinkan untuk bergerak. Kendati demikian, harus tetap bergerak dan ada pergerakan yang serius.
“Tidak perlu banyak program. Cukup fokus pada program-program aktual yang memberikan banyak kemanfaatan,” ungkapnya.
Beliau juga mengutip salah satu jargon NU yang berbunyi. Wa al-Ahdu bi al-Jadid al-Ashlah.
“Bukan hanya sekadar jadid tapi juga harus ijad, discovery, sehingga tidak menjadikan Islam hanya sebagai pisau hukum,” terangnya.
Kiai Nur Salikin juga berharap agar mahasantri dapat memanfaatkan digitalisasi media. Karena ciri khas dari santri sejak dari dulu adalah survive, dan tidak semua santri harus jadi kiai.
“Makna إقراء bukan cuman membaca tulisan, tapi membaca situasi. Kalau mahasantri hanya bisa membaca kitab, maka akan tergopoh-gopoh menyikapai keadaan,” papar pria kelahiran Grobogan itu.
Menurutnya, zaman sekarang bukanlah zamanya untuk berkompetisi lagi, tapi zaman untuk berkolaborasi. Tidak mungkin semua dikerjakan oleh satu orang saja melihat potensi Mahasantri yang dapat dikolaborasikan lewat Dema Amali ini.
“Ajaklah kawan yang memiliki jabatan namun tetap profesional. Sedang penyebab tidak berkembangnya pesantren dan Ma’had Aly karena tidak adanya kolaborasi yang masif, tapi malah berkompetisi atau bahkan saling menjatuhkan. Carilah jati diri Dema Amali agar bisa menentukan langkah-langkah dengan jelas,” pungkasnya.
Sebelumya diinformasikan bahwa Kongres ini resmi dibuka pada selasa (22/2/2022) oleh ketua Asosiasi Ma’had Aly Indonesia, KH Nur Hannan dengan menabuh rebana. Pula diikuti oleh perwakilan dari 71 Ma’had aly se-Indonesia dengan total 169 peserta dan sejumlah pengurus Amali. (A. Dhani)