Bahtsul Masail – Setelah sempat vakum selama dua tahun karena pandemi, Dema Amali (Dewan Eksekutif Mahasantri Asosiasi Mahad Aly Indonesia) akhirnyamelangsungkan Kongres untuk kali ke-3 guna memilih ketua baru dan menyusun kembali program yang terbengkalai.
Bertempat di Mahad Aly Al-Iman, Bulus Purworejo, salah satu rangkaian kegiatan yang berlangsung selama tiga hari tersebut (22-24) di antaranya ialah kegiatan Bahtsul Masail antar Mahasantri Mahad Aly se-Indonesia.
Mengusung tema, “Dema Amali dan Tantangan Mewujudkan Masyarakat Fiqhi; Fikih Kedokteran”, Bahtsul Masail kali ini membahas hukum melakukan operasi kecantikan.
Berikut rekam jejak masalah dan hasil putusan Bahtsul Masailnya:
Batasan Operasi Plastik Menurut Syariat Islam
Operasi plastik adalah sebuah tindakan medis yang menitikberatkan pada rekonstruksi atau perbaikan cacat dan kekurangan fungsional pada fisik pasien yang disebabkan oleh penyakit, penyakit bawaan dan operasi yang pernah dijalani. Tujuan utama dari tindakan ini adalah untuk mengembalikan fungsi kulit, tengkorak, dan struktur rahang wajah (maksilofasial), sistem otot tulang belakang (musculoskeletal), payudara, kaki dan tangan, dan alat kelamin melalui perbaikan-perbaikan. Bedah plastik juga melakukan rekonstruksi estetika, dan tindakan bedah yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas fisik yang tidak diinginkan dari struktur tubuh normal.
Sejarah Operasi Plastik
Proses bedah plastik ini telah diperkenalkan sejak 800 SM di India. Tahun demi tahun, metode bedah plastik mengalami perubahan dan perkembangan dalam dunia kedokteran. Seorang dokter ahli bedah asal India yang bernama Sushruta, oleh para sejarawan dianggap mempunyai andil besar dalam pengembangan metode ini, terutama lewat karya-karya medisnya yang berbahasa sansakerta dan ia susun bersama Charak mengenai bedah plastik dan katarak pada tahun 6 SM.
Karya-karya ini akhirnya diterjemahkan menjadi bahasa Arab pada zaman dinasti Abbasiyah tahun 750 M. Hingga akhirnya membawa metode bedah plastik ini muncul ke belahan bumi Eropa. Dari dunia barat inilah, sejak abad ke-19 dan 20 bedah plastik mulai berkembang secara pesat karena penelitian dan eksperimennya yang mulai bertambah. Dimulai sejak 1815 M., Joshep Constantine Carpue (w.1846) memulai praktek bedah plastik pertama di Eropa berdasarkan teori Sushruta. Karena sebelumnya bedah plastik hanyalah suatu teori metode kedokteran yang dibukukan, seperti halnya Heinrich von Pfolspeundt (w.1464) yang menulis teori rekonstruksi hidung yang rusak pada abad ke-15 M.
Keuntungan dari Operasi Plastik
Keuntungan dari operasi plastik dapat digolongkan ke dalam dua kelompok utama: keuntungan perbaikan (rekonstruktif) dan kecantikan (estetika). Mereka yang diuntungkan dari proses ini antara lain:
1. Mereka yang memiliki kelainan bawaan seperti jari berselaput, tanda lahir, dan bibir sumbing;
2. Mereka yang memiliki luka bakar atau cedera serius lainnya yang disebabkan oleh kecelakaan atau bencana alam;
3. Mereka yang menderita penyakit serius dan harus melakukan tindakan bedah untuk mengatasi masalah tumor kanker dari atau wajah; dan
4. Mereka yang ingin meningkatkan kepercayaan diri dengan memperbaiki keseimbangan dan kecantikan tubuh.
Dalam beberapa pembahasan terkait hukum operasi plastik, banyak kajian keislaman yang secara tegas melarang tindakan operasi plastik yang bertujuan untuk memperindah bentuk organ tubuh agar kelihatan lebih menarik, karena hal itu termasuk perbuatan merubah ciptaan Allah Swt.
Keputusan ini dirasa janggal jika kita mengaca pada beberapa kejadian seperti proses melangsingkan tubuh dengan olahraga, memutihkan wajah memakai pembersih wajah (Ponds, Biore, dll).
Sehingga alasan larangan operasi plastik berupa merubah ciptaan Allah dirasa masih perlu dikaji.
Pertanyaan:
1. Sebenarnya apa hukum melakukan operasi kecantikan?
2. Apa batasan taghyir li kholqillah yang diperbolehkan menurut syariat?
Dari seluruh Mahasantri yang hadir, mayoritas musyawirin sepakat:
1. Haram mutlak jika tujuannya murni untuk kecantikan.
2. Boleh jika ada illat dan bertujuan untuk menghilangkan aib.
3. Mahasantri Lirboyo berpendapat hukum melakukannya ialah mutlak boleh selama ada hajat.
Bahkan jika seorang calon pejabat melakukan operasi plastik agar lebih enak dilihat dan mendapatkan suara lebih banyak. Landasan argumen kitab مع الناس dan استفتاء karya Sa’id Ramadhan al Buthi.
Jawaban dari delegasi Lirboyo banyak mendapat penentangan dari delegasi lainnya hingga akhirnya ditengahi oleh perumus. Menurut perumus memang sudah jelas dalam kitab salaf akan keharaman operasi plastik untuk tujuan mempercantik sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw. Tapi perumus juga mengatakan setidaknya ada 3 ulama kontemporer seperti Sa’id Ramadhan al Buthi, Syauqi Ibrahim Abdul Karim ‘Allam dan juga Dr. Abdul Karim Zaidan yang memberikan celah. Maksudnya ialah seseorang boleh melakukan operasi plastik jika ada unsur adza nafsiyan atau adza ma’nawiy, menurut perumus yang dimaksud dengan adza nafsiyan ialah adanya beban mental sehingga orang tersebut boleh melakukan operasi plastik untuk izalatuttasywih/ tasyawuh.
Jawaban ini kembali dipertanyakan oleh delegasi Ma’had Aly MUS Sarang, karena menurutnya semua orang akan bebas melakukan operasi plastik untuk tujuan mempercantik diri dengan dalil tersebut. Sedangkan menurut delegasi dari Ma’had Aly Ploso, mempercantik diri yang dimaksud yaitu untuk izalatut tasywih, untuk menghilangkan sesuatu yang buruk, seperti merapihkan gigi yang tidak rata sehingga menimbulkan ketidakpercayaan diri orang tersebut, bukan semata-mata tahsin ataupun tajammul untuk lebih mempercantik bagian tubuh yang sebenarnya sudah bagus.
Perumus menanggapi delegasi MUS kebolehan operasi tersebut harus berdasarkan rekomendasi thabib mukhtash. Sebagai penguat, perumus juga menyertakan ta’bir yang ada di kitab
المفصل في أحكام المرأة و بيت المسلم في الشريعة الاسلامية karya Dr Abdul Karim Zaidan yang juga pernah dijadikan dalil dalam Bahtsul Masail PBNU saat kongres di Surabaya pada tahun 2006. Untuk pertanyaan kedua mengenai batasan mengubah ciptaan Allah tidak sempat dibahas karena waktu yang sudah habis.