Mengenang Syekh Khatib al-Minangkabawi, Imam Makkah Berdarah Nusantara

Mengenang Syekh Khatib al-Minangkabawi, Imam Makkah Berdarah Nusantara

MAHADALYJAKARTA.COM – Proses penyebaran keilmuan akan terus berlanjut melalui tangan para ulama. Sebab, adanya jaringan keilmuan ini menyebabkan adanya ikatan yang kuat antara satu ulama dengan ulama lainnya, serta adanya ketersinambungan ilmu yang terus menerus dikaji. Kiprah mereka begitu besar tidak hanya bagi Nusantara, akan tetapi juga bagi dunia. Sebut saja salah satu tokohnya adalah Syekh Khatib al-Minangkabawi. 

Syekh Khatib menjadi salah satu ulama yang memiliki kontribusi besar, khususnya dalam dunia keilmuan. Meskipun beliau lama bermukim di Makkah, tetapi kontribusinya untuk Nusantara hadir dari murid-muridnya yang kelak menjadi tokoh pembaharu di daerahnya masing-masing. Di usia 38 tahun, tepatnya pada tahun 1298, ia mendapat penghargaan menjadi salah satu pengajar, imam, serta khatib di Masjidil Haram. Pencapaian itu tentu bukan hal yang mudah, tidak sembarangan orang bisa meraihnya sebab, butuh beberapa keahlian untuk bisa diterima sebagai pengajar di sana. 

Banyak ulama dan tokoh-tokoh besar Indonesia yang menjadi muridnya, di antaranya ada KH. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama dan KH. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah. Kedua organisasi ini memiliki pengaruh yang sangat besar di Indonesia. Selain keduanya, ada lagi Haji Abdul Karim Amrullah atau yang kerap kali dipanggil dengan Haji Rasul. Kemudian ada Syekh Sulaiman ar-Rasuli, pendiri organisasi PERTI dan masih banyak lagi. Sehingga tidak heran jika ia dikatakan sebagai salah satu tokoh pembaharu Islam di Indonesia. Meski ia telah wafat, namun namanya tetap harum melalui karya-karya yang ia tulis serta peranan penting murid-muridnya. 

Biografi dan Sekilas Tentang Pendidikannya

Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz. Ayahnya, Abdul Latif merupakan seorang khatib nagari. Sedangkan ibunya, Limbak Urai, merupakan keturunan dari Tuanku Nan Renceh, ulama pada masa perang Padri. Beliau lahir pada hari Senin, 6 Dzulhijjah 1276/ 26 Mei 1860 M di Koto Tuo, Agam, Sumatera Barat. Hidup dari kalangan yang agamis, berpendidikan serta lingkungan yang saat itu gencar dengan pembaharuan dan perjuangan, membuat Syekh Khatib mudah menerima berbagai ilmu pengetahuan.  

Sekolah pertama langsung ia dapatkan dari keluarganya, khususnya dari ayah dan kakek. Beliau mulai mempelajari ilmu-ilmu dasar Islam seperti: Nahwu, Sharaf, Badi’, Bayan, Mantiq sebagai ilmu dasar untuk mempelajari al-Qur’an, Hadis dan juga Fikih. Di usia 11 tahun, Syekh Khatib pergi meninggalkan kampung halamannya. Ia berangkat menuju kota Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu pengetahuan bersama ayah, kakek, pamannya, Syekh Abdul Latif, Syekh Abdullah, Syekh Abdul Ghani dan beberapa anak dari pamannya. Biaya perjalanan ditanggung oleh pamannya sendiri, berhubung pamannya ini adalah seorang saudagar yang kaya raya. Setelah melaksanakan ibadah haji, Syekh Abdul Ghani beserta keluarganya pulang ke Nusantara, kecuali Syekh Khatib, ayah dan tiga saudaranya. Mereka memutuskan untuk bermukim di Makkah untuk mempelajari ilmu agama sebagai bekal di kampung halaman nanti. 

Baca Juga:

Syekh Sulaiman ar-Rasuli: “Transformasi Pendidikan Islam di Minangkabau yang berawal dari Surau”

Di sana, ia belajar al-Qur’an kepada Syekh Abdul Hadi. Ia juga mempelajari jenis ilmu lain kepada Syekh Usman Syatta. Selain itu beliau juga aktif belajar di Maktab (sekolah non formal) bersama Syekh Sulaiman al-Khalidi. Di perantauan ini, Syekh Khatib banyak belajar kepada keluarga Syatha, yaitu Sayyid Umar Syatta, Sayyid Abu Bakar Syatha dan Sayyid Usman Syatta. Keluarga ini memang terkenal dengan keilmuannya. Bahkan para pelajar Nusantara pasti tidak akan merasa asing jika nama keluarga ini disebut. 

Tauhid, Hadis, Fikih, Ushul Fikih, Hadis, Ushul Hadis, Nahwu, Saraf, Ma’ani, Bayan, Badi’, Mantiq, Tarikh dan Matematika adalah mata pelajaran yang digeluti oleh Syekh Khatib. Setelah bermukim selama empat tahun di Makkah, ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya karena permintaan ibu yang memintanya pulang sebab telah dilanda rasa rindu.  

Karena memiliki jiwa pelajar sejak dini, Syekh Khatib terus menerus belajar. Kesempatan tinggal di kampung tidak ia jadikan sebagai ajang bersenang-senang, tapi sebaliknya, kesempatan itu ia isi dengan belajar kepada ulama Minangkabau, di antaranya kepada Tuanku nan Mudo. Kepadanya ia belajar Kitab Tafsir Jalalain dan kitab Minhaj at-Thalibin. 

Rasa rindu untuk bisa mengaji lagi di kota suci mulai membayang-bayangi hati Syekh Khatib. Di lubuk hatinya yang paling dalam ia senantiasa berdoa agar Allah berkenan mengizinkannya kembali lagi ke kota Makkah untuk belajar. Niat baik itu mendapat izin dari Allah, Syekh Ustman Syatta datang ke Padang. Ia pun mengajak Syekh Khatib untuk ikut bersamanya. Tepatnya pada tanggal 1294 M, ia merealisasikan mimpinya itu. Di Makkah ia menetap di rumah Ummu Shalihah. 

Kesalehan dan kepiawaiannya di berbagai bidang menarik hati salah seorang bangsawan Makkah, namanya Syekh Shalih Kurdi. Ia pun menikahkan anaknya, Khadijah dengan Syekh Khatib. Hari, bulan, dan tahun terus berlalu, Khadijah harus mendahului suaminya itu untuk kembali ke pangkuan Tuhan pada tahun 1301 H. Darinya, Syekh Khatib dikaruniai dua orang anak yaitu Abdullah dan Abdul Karim. Kepergian Khadijah menimbulkan luka mendalam baginya. Untuk mengobati luka itu Syekh Kurdi menikahkannya dengan kakak Khadijah bernama Fatimah yang kebetulan telah bercerai dengan suaminya. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua orang putra yang bernama Abdul Malik dan Abdul Hamid. 

Menjadi Imam Sekaligus Khatib di Masjidil Haram

Suatu ketika seorang syekh yang teramat terpandang di Makkah berniat menikahkan putrinya dengan Syekh Khatib. Beliau adalah Syekh Muhammad Saleh al-Kurdi. Banyak orang yang merasa heran apa sebenarnya yang melatarbelakangi keinginannya ini sebab, tidak sembarang orang bisa menjadi menantunya. Untuk menjawab pertanyaan orang-orang tersebut, Syekh Muhammad Saleh mengadakan jamuan makan malam di kediamannya. Ia pun mengundang para ulama Haramain begitu juga dengan para tokoh yang berpengaruh masa itu. 

Setelah semuanya berkumpul ia pun memerintahkan menantunya itu untuk naik ke atas mimbar dan berpidato. Semua orang merasa kagum dan mereka pun merasa yakin kalau Syekh Khatib adalah seorang orator ulung dan luas ilmunya. Ia bahkan diangkat menjadi Khatib dan mendapat jadwal khutbah di Masjidil Haram. Tidak sampai disitu saja, kekaguman orang bertambah di saat ia dan mertuanya berkesempatan untuk hadir di istana Syarif Makkah, Syekh Aunur Rafiq. Ketika memasuki waktu salat maghrib mereka pun melangsungkan salat berjama’ah, yang dipimpin langsung oleh Syarif. Akan tetapi, saat salat Syekh Khatib mendapati kekeliruan dalam bacaan Syarif sehingga membuatnya langsung memperbaiki bacaan itu.

Seusai salat, Syarif bertanya siapa gerangan yang berani mengoreksi bacaannya tadi. Para jama’ah menunjuk Syekh Khatib yang melakukannya. Dari sana bertambahlah kekaguman Syarif Makkah padanya. Mereka yakin jika Syekh Khatib adalah orang yang tegas, ‘alim dan qira’ahnya baik, sehingga ia pun kembali mendapat apresiasi dengan diangkat menjadi imam salat Masjidil Haram, sekaligus menjadi pengajar di sana. 

Di awal menjabat, Syekh Khatib banyak menerima cibiran dari ulama yang berasal dari Arab. Apalagi saat itu gaji yang ia dapatkan jauh jika dibandingkan ulama-ulama lain. Mereka beranggapan bahwa ulama yang berasal dari Nusantara ini tidak mahir dalam bahasa Arab. Meski pun banyak ulama Haramain yang sinis terhadap ulama Jawi masih ada beberapa ulama yang bersikap netral, bahkan sangat menyayanginya di antaranya: Syekh Ahmad al-Qusyasi, Syekh Ibrahim al-Kurai, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Said al-Yamani, Sayyid Alwi al-Maliki dan lainnya. Rasa sinis itu sebenarnya bertujuan agar mereka merasa tidak nyaman dan betah tinggal di sana. 

Baca Juga:

Buya Hamka; Tafsir Al-Azhar yang Terselesaikan di dalam Penjara

Sejumlah Murid-Muridnya Dari Nusantara

Beberapa murid beliau di antaranya: H. Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Jamil Jambek al-Falaki, Syekh Muhammad Thayyib Umar, Syekh Khatib Muhammad Ali al-fadani, Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi, Syekh Taher Jalaluddin al-Falaki, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Arifin Batuhampar, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Ahmad Baruah Gunung Suliki, Syekh Abbas Ladang Lawas Bukittinggi, Syekh Abdullah Abbas Padang Japang, Syekh Mustafa Padang Japan, Syekh Musthafa Husein Purba Baru, Syekh Hasan Maksum Deli, Syekh Baqir al-Jukjawi, Kiai Wahab Hasbullah, Syekh Mahmud al-Fadani, Muhammad Isa al-Fadani, Haji Agus Salim, Kiai Mas Mansur, Syekh Abdul Wasi’ al-Yamani, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari. 

Karya-karya Syekh Khatib al-Minangkabawi

Selain mahir di berbagai bidang keilmuan, ia juga menjadi salah satu ulama yang gemar menulis. Banyak karya tulis yang beliau hasilkan baik berbahasa Arab atau berbahasa melayu di antaranya: Kitab al-Nafahat Hasyiah  al-Waraqat, al-Jawahir al-Naqiyyah fi al-A’mal al-Jaibiyah, al-Da’i al-Masmu’ fi Radd A’la man Yuwarrist al-Ihkwah wa Aulad al-Akwat Ma’a Wujud al-Ushul wa al-Furu’; Raudah al-Hussab fi A’mal al-Hisb, Al-Riyadhah al-Wardiyah fi Ushul al-Tauhidiyah wa al-Furu’ al-Fiqhiyyah, Istbat al-Zain li Shulh al-Jama’atain bi Jawaz Ta,addud al-Jum’ataini  fi al-Radd ala al-Kitab al-musamma Taftih al-muqillataini fi al-Radd ‘al Sulh al-jama’atain dan al-Manhaj al-Masyru’ fi Tarjamah al-Da’i al-masmu’. 

Referensi:

Buku

Aziz, Thariqul. Literasi Para Kiai, Bogor: GUEPEDIA, 2021. 

Azra, Azyumardi, Surau: Pendidikan Islam Tradisi Dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: KENCANA, 2017. 

Hamka, Ayahku, Depok: Gema Insani, 2020. 

Jayana, Thariq Aziz, Ulama-Ulama Nusantara yang Mempengaruhi Dunia, Yogyakarta: Noktah, 2021. 

Rizem, Aizid, Sejarah Islam Nusantara, Yogyakarta: Diva Press, 2016. 

Zulkarnain, Rizky, Fatwa Jihad Ulama Nusantara Abad XIX, Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2023. 

Jurnal

Ilyas, Ahmad Fauzi, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Polemik Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara, Vol. 1 No 1, tahun 2017 Jurnal of Contemporary Islam and Muslim Societies. 

Indrawati, Nur Nadia, Peran syekh Khatib al-Minangkabawi (1860-1916 M) Dalam Islamisasi Nusantara, Vol. 4, tahun 2016 Jurnal TAMADDUN. 

Kontributor: Robiah, Semester VI

Leave a Reply