MAHADALYJAKARTA.COM- Sesungguhnya, siapa pun yang pertama kali melihat al-Barra’ saat berperang mungkin tidak akan percaya bahwa ia adalah seorang kesatria yang tidak hanya berperang untuk meraih keberuntungan dan kemenangan. Sebaliknya, al-Barra’ berperang untuk meraih mati syahid, mencari surga di mana pun berada, dan dengan cara apa pun, seberat apa pun itu. Slogan yang selalu tertanam dalam hidupnya adalah “Allah dan Surga”. Kesatria itu adalah al-Barra’ bin Malik bin an-Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundab bin ‘Amir bin Ghanm dari Bani Ghanm bin Adi bin Najjar, yang berasal dari Bani Khazraj dari Bani Azad. Ia adalah saudara dari pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Anas bin Malik, dari garis keturunan ayah dan ibunya.
Al-Barra’ selalu bersama Nabi Muhammad saw dan mengikuti semua perang setelah perang Badar serta bai’at Ridwan. Anas bin Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Betapa banyak orang yang lemah dan tertindas dengan pakaian lusuh yang tidak dipedulikan orang, yang apabila bersumpah kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya. Di antara mereka itu adalah al-Barra’ bin Malik.” Al-Barra’ merupakan sosok yang dijadikan teladan dalam hal keberanian. Oleh karena itu, Umar bin Khattab khawatir mengangkatnya sebagai pemimpin pasukan kaum Muslimin karena takut dengan keberaniannya yang luar biasa dalam mencari mati syahid. Umar bin Khattab bahkan menulis instruksi kepada para pemimpin pasukannya, “janganlah kalian mengangkat al-Barra’ sebagai pemimpin pasukan sebab dikhawatirkan ia akan mencelakakan pasukannya.”
Al-Barra’ bin Malik merupakan salah satu pasukan berkuda Rasulullah saw yang pemberani dan juga simbol perjuangan serta keberanian Islam. Ia termasuk dalam kategori sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memiliki kezuhudan yang hakiki. Kesatria berkuda ini adalah salah satu ksatria cerdik dan pahlawan gagah berani yang telah mencatatkan pengaruh paling agung dan meninggalkan jejak paling berkesan di medan pertempuran pada masa kenabian, yang terus diabadikan. Ia terbunuh dalam penaklukan Tustar dan wafat pada tahun 20 H atau bertepatan dengan tahun 641 M.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab r.a., al-Barra’ adalah salah satu dari sedikit ksatria langka yang dijadikan legenda hidup karena ketangkasan berkuda dan kehebatannya dalam berperang. Ia juga merupakan salah satu sahabat paling mulia dari kalangan Ansar, yang dikenal sebagai pemuka yang baik hati dan berhasil membunuh 100 orang kafir dalam duel satu lawan satu. Al-Barra’ juga dikenal karena kesengitan dan kegarangannya dalam berperang.
Kehidupan al-Barra’ adalah tentang berjuang dan terus berjuang, serta jihad dan terus berjihad. Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya menyebutkan bahwa, “al-Barra’ bin Malik merindukan mati syahid yang tidak dapat ia raih dalam hari taman kematian. Pertempuran demi pertempuran diikutinya karena ia ingin mati syahid dan rindu untuk berjumpa dengan Allah Swt dan Rasulullah saw.”
Keberanian dan kepahlawanan al-Barra’ bin Malik mulai dikenal setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Nabi sudah menghadap kepada Rabb-nya, banyak kabilah Arab yang berbondong-bondong meninggalkan agama Allah dan kembali menjadi murtad. Namun, orang-orang Makkah, Madinah, Thaif, serta beberapa kabilah Arab lainnya tetap teguh di atas agama Islam, bersama beberapa kelompok orang yang telah Allah teguhkan hatinya untuk terus beriman.
Abu Bakar as-Shidiq, yang senantiasa teguh di tengah fitnah yang merebak saat itu, tegar bagai gunung kokoh yang tak tergoyahkan. Dengan strategi yang matang, ia menyiapkan sebelas pasukan yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Ansar, mengutus mereka untuk bergegas menuju seluruh penjuru Arab guna mengembalikan orang-orang yang telah murtad ke jalan yang benar, dan menggiring orang-orang yang sesat kembali ke jalan yang lurus melalui kekuatan pedang.
Salah satu kaum murtad yang sangat kuat saat itu adalah Bani Hanifah, pendukung Musailamah al-Kadzab. Jumlah sekutu dan pejuang yang mendukung Musailamah mencapai 40 ribu orang, meskipun banyak di antara mereka hanya mendukungnya karena fanatisme. Sebagian bahkan mengatakan, “aku bersaksi bahwa Musailamah adalah pembohong dan Muhammad adalah benar. Tetapi pembohong yang berasal dari suku Rabi’ah lebih kami sukai daripada orang yang benar dari suku Mudhar.”
Untuk pertama kalinya, Musailamah berhasil mengalahkan pasukan kaum Muslimin di bawah komando ‘Ikrimah bin Abu Jahal’. Menyikapi hal ini, Abu Bakar mengirimkan pasukan kedua dari kaum Muslimin di bawah komando Khalid bin Walid untuk kembali menyerang pasukan Musailamah di Yamamah, Najd. Perang ini dikenal sebagai Perang Yamamah, dan pasukan tersebut dipenuhi oleh tokoh-tokoh Ansar dan Muhajirin, termasuk al-Barra’ bin Malik di antara mereka.
Peran al-Barra’ bin Malik sangat besar dalam Perang Yamamah yang terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar. Ketika bala tentara Islam di bawah komando Khalid bin Walid bersiap-siap untuk menyerang pasukan Musailamah, al-Barra’ berdiri di medan perang, merasakan detik-detik sebelum Khalid memerintahkannya untuk maju. Matanya yang tajam bergerak cepat, menelusuri seluruh medan tempur untuk mewaspadai pasukan musuh.
Bukan hanya al-Barra’, banyak di antara para tokoh Muslim yang menjadi pemantik semangat kaum Muslimin saat itu dan akhirnya menjadi syahid. Korban yang gugur dalam Perang Yamamah termasuk para penghafal Al-Qur’an (qurra’). Di antara para tokoh tersebut adalah Tsabit bin Qais, pembawa panji Ansar; Zaid bin Khattab, saudara dari Umar bin Khattab; dan Salim, budak dari Abu Hudzaifah yang membawa panji Kaum Muhajirin. Namun, semua pahlawan tersebut masih kalah dalam hal kepahlawanan dibandingkan dengan al-Barra’ bin Malik r.a.
Di saat perang berkecamuk dengan dahsyat, Khalid bin Walid menoleh ke arah al-Barra’ sambil berkata, “seranglah mereka, wahai pemuda Ansar!” Al-Barra’ kemudian melihat ke arah kaumnya dan berseru, “wahai kaum Ansar, janganlah seorangpun di antara kalian berpikir untuk kembali ke Madinah. Karena tidak ada lagi Madinah untuk kalian setelah hari ini. Yang ada hanyalah Allah dan surga.”
Kemudian al-Barra’ dan kaumnya membawa panji mereka dan menyerang kaum musyrikin. Ia membuka barisan dengan terus menyerang lawan dan menebaskan pedangnya di leher para musuh Allah, sehingga membuat pasukan Musailamah terjepit dan mundur ke sebuah taman yang terkenal dengan sebutan Hadiqatul Maut (Taman Kematian) karena banyaknya korban yang mati hari itu.
Taman maut yang digunakan Musailamah dan bala tentaranya untuk berlindung adalah sebuah tanah yang luas dan dilindungi oleh tembok yang tinggi. Di balik tembok tersebut bala tentara Musailamah meluncurkan anak-anak panah mereka ke arah langit bagaikan hujan yang lebat dan siap menghantam pasukan muslimin. Saat itulah maju sang pejuang Islam yang gagah berani bernama al-Bara’ bin Malik seraya berkata, “wahai kaumku, letakkanlah aku di atas perisai kalian. Kemudian lemparkanlah aku sekuat-kuatnya hingga melewati pagar itu agar aku bisa membukakan pintu untuk kalian. Karenanya, bila aku tidak mati syahid, maka aku akan membukakan gerbang taman untuk kalian.” Ia dinaikan ke atas benteng musuh oleh kaum muslimin kemudian dilemparkan ke dalam benteng itu. Setelah musuh mengepungnya dari berbagai penjuru, ia pun dengan lincah melawan para pasukan Musailamah yang berusaha menghadangnya dan berhasil membuka gerbang itu untuk pasukan kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin yang berada di luar berhasil menerobos masuk ke dalam benteng itu dan menyerang kembali pasukan Musailamah. Lebih dari 20.000 orang murtad tewas, termasuk pimpinan mereka, yakni Musailamah al-Kadzab. Saat itu ia mendapati luka sebanyak 80 lebih luka dari hujaman panah dan sabetan pedang. Sehingga sebulan sesudah perang berlalu masih juga dideritanya. Bahkan Khalid sendiri yang merawatnya selama sebulan penuh hingga ia pulih kembali. Dengan keberanian al-Barra’ dan atas izin Allah Swt pasukan muslimin meraih kemenangan telak dikala itu. Tetapi semua yang menimpa dirinya ini belum mengantarkannya kepada yang dicita-citakannya.
Al-Barra’ telah mengobarkan semangatnya untuk mendapatkan kesyahidan dalam peristiwa Hadiqatul Maut. Namun dia tidak pernah putus asa. Kesempatan untuk mendapatkan mati syahid terus ia upayakan. Pertempuran demi pertempuran diikutinya karena ingin mati syahid dan rindu untuk berjumpa dengan Rasulullah saw. Sehingga tibalah hari penaklukan kota Tustar di negeri Persia. Pada saat itu, pasukan Persia bersembunyi di salah satu benteng yang sangat tinggi. Maka dari itu, kaum muslimin berusaha mengepung pasukan Persia dari segala penjuru dengan sangat ketat. Pengepungan pun berlangsung cukup lama, dan itu menyebabkan pasukan Persia terjepit dan merasakan beratnya tekanan dari pengepungan kaum muslimin. Mereka pun mulai mengulurkan rantai-rantai besi dari atas dinding benteng yang terdapat kait-kait yang telah dibakar api, sehingga menyebabkannya lebih panas daripada bara. Kait-kait panas ini digunakan untuk menyambar pasukan kaum muslimin bahkan bisa untuk menjepit mereka. Siapapun yang terjepit oleh kait-kait tersebut maka ia akan terangkat ke atas, baik dalam keadaan mati ataupun sekarat.
Anas bin Malik yang merupakan saudara kandung dari al-Barra’ bin Malik terkena benda tersebut, namun al-Barra’ bin Malik segera melompat untuk menolongnya dengan berusaha mengambil benda tersebut agar terlepas dari Anas sehingga menyebabkan tangannya terbakar. Demi membela saudaranya, ia tidak menghiraukan hal itu. Lantas ia pun terjatuh ke tanah setelah tangannya yang hanya tersisa tulang dikarenakan hangus dan melepuh oleh bara api pada benda tersebut. Peperangan ini Ia manfaatkan untuk berdo’a kepada Allah agar ia dikaruniakan oleh Allah Swt mati syahid. Dan Allah mengabulkan doanya. Ketika pasukan muslimin sedang terdesak, sebagian dari mereka meminta kepada al-Barra’ agar ia bersumpah dan berdoa kepada Allah Swt. Al-Barra berkata, “aku bersumpah atas nama-Mu ya Allah. Berilah kami kekuatan dan pertolongan untuk menumpas semua pasukan musuh dan pertemukanlah kami dengan nabimu yang mulia.” Akhirnya Ia meninggal sebagai salah seorang syuhada yang amat rindu untuk berjumpa dengan Allah Swt dan Nabi Muhammad saw.
Semoga Allah menyinari wajah al-Barra’ bin Malik di akhirat, dan membuat dirinya tenang dengan hidup bersama dengan Nabi Muhammad saw. Semoga Allah meridainya dan ia pun ridha kepada Tuhannya.
Referensi:
Al-Basha, Abdul Rahman Ra’fat. 65 Gambaran Kehidupan Sahabat. Selangor, Malaysia: Santai Ilmu: Publication, 2020.
Al-Mishri, Syaikh Mahmud. Ensiklopedia Akhlak Rasulullah Jilid 2. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019.
Al-Mishri, Syaikh Mahmud. Tamasya ke Negeri Akhirat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002.
Saad, Mahmud Musthofa dan Nashir Abu Amir Al-Humaidi. Golden Stories: Kisah-Kisah Indah dalam Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017.
Uthwah,Sayyid. Kisah-kisah Kelembutan Allah, terjemah. Nabhani Idris. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017.
Hadits Bukhari Nomor 6654 – “Kumpulan Hadits | Ilmu Islam”, https://ilmuislam.id/hadits/15044/hadits-bukhari-nomor-6654
Kontributor: Neng Anggi Nur’aliah, Semester II
Editor: Siti Yayu Magtufah