Biografi dan Perjalanan Hidup Imam Syafi’i Hingga Wafat

Biografi dan Perjalanan Hidup Imam Syafi’i Hingga Wafat

MAHADALYJAKARTA.COM – Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib. Nama terakhir diambil dari nama kakek Rasulullah Saw. Iman Syafi’i lahir dari rahim seorang ibu yang shalehah, serta dari ayah yang terkenal kesabaran dan keikhlasannya. Bahkan, As-Syafi’i bin Saib kakek buyutnya merupakan sahabat dari Rasulullah Saw. Nama As-Syafi’i yang akrab di telinga kita diambil dari kakek buyutnya tersebut, sedangkan ibunya merupakan perempuan keturunan dari Ali bin Abi Thalib dari jalur Sayyidina Husain Ra. Idris, ayah Imam Syafi’i adalah seorang pemuda asal Makkah yang merantau di kota Gaza Palestina. Di Gaza Ia bertemu dengan Fatimah binti Ubaidillah, seorang perempuan shalihah dari kaum Azdi, Idris menikah dengan Fatimah dengan tanpa sengaja. Buah cinta dari keduanya lahirlah seorang bayi laki-laki pada tahun 150 H, saat itu bertepatan dengan wafatnya dua ulama besar yaitu Imam Abu Hanifah Luqman bin Tsabit, pendiri Mazhab Hanafi yang wafat di Irak dan Imam Ibnu Juraid Al-Makki, seorang Mufti Hijaz yang wafat di Makkah. Hal ini disebut sebagai salah satu firasat bahwa bayi yang lahir tersebut akan menggantikan dua ulama tersebut baik dalam hal keilmuan maupun kesalehan nya. Kehidupan Idris, Fatimah dan jabang bayi ternyata pada saat itu tidak berjalan bahagia, Idris meninggal dunia pada usia yang sangat relatif muda, Fatimah harus berjuang sendiri untuk mengasuh buah hatinya dalam kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan. Sadar dengan kondisi dirinya saat itu, Fatimah kemudian membawa bayinya yang masih berumur 2 tahun ke kota Makkah, kota asal ayahnya. 

Baca Juga:

Keteladan Sosok Imam Syafi’I dalam Menuntut Ilmu

Ditengah kondisi ekonomi yang serba kekurangan, tidak membuat Imam Syafi’i putus asa apalagi bermalas-malasan dalam menuntut ilmu. Bahkan saking cintanya terhadap ilmu, Imam Syafi’i selalu mencatat ilmu-ilmu yang Ia dapatkan di medium seperti ditikar, tulang belulang serta pelepah kurma. Jika keilmuan yang berkembang di Irak adalah Filsafat dan melahirkan para tokoh yang beraliran nasionalis seperti Imam Abu Hanifah. Tinggal dilingkungan yang dihuni oleh para ulama sastra tidak di sia-siakan oleh Imam Syafi’i, Ia sangat mengandrumi Prosa dan Syair-syair Arab klasik. Bahkan masa mudanya di Makkah Ia habiskan untuk mencari naskah-naskah sastra ke kabilah-kabilah Badui di padang pasir seperti kabilah Khudzain, yaitu salah satu kabilah yang terkenal sebagai ahli sastra. Bahkan Ia rela menetap beberapa hari di kabilah-kabilah tersebut demi mempelajari sastra Arab. Hobinya belajar sastra Arab ini secara tidak langsung memudahkan Ia untuk memahami Al-Quran dan Hadist. Kedua hal ini sangat penting dalam proses berijtihad dan menggali hukum-hukum syariat , karena memahami Al-Quran maupun Hadist membutuhkan kepiawaian dalam memahami Al-Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih dan murni. Kepiawaian Imam Syafi’i dalam bidang sastra ini akhirnya menjadikannya mahir dalam mengubah syair-syair Arab. Syair-syair karya Imam Syafi’i tersebut kemudian dibukukan oleh Syekh Yusuf  Muhammad Al-Biqa’i dan jadilah buku kecil yang berjudul DIWAN AS-SYAFI’I, yang memuat sekitar 150 syair karya Imam Syafi’i. 

Menurut Al-Hamami, dalam Irsyad Al-Arif Fii Ma’rifah Al-Adzim, ketertarikan Imam Syafi’i dalam sastra Arab kenyataannya hanya menjadikannya bersyair dan berjenjang dalam sehari-harinya. Imam Syafi’i banyak menghabiskan waktunya di Masjidil Haram untuk mempelajari berbagai macam ilmu agama seperti ilmu Fiqih, Al-Qur’an, Hadist, bahasa dan Kesusastraan. Pada usia 7 tahun, Imam Syafi’i dapat menghafal Al-Qur’an sebanyak 30 juz dengan lancar dan fasih. Inilah bukti kecerdasan yang dimiliki oleh Imam Syafi’i, karena tidak semua manusia yang memiliki kecerdasan otak dapat menghafal Al-Qur’an dalam usia yang semuda itu kecuali jika Allah menjaganya dari perbuatan dosa. Imam Syafi’I merupakan murid dari Imam Malik, pada usia 10 tahun Imam Syafi’i mampu menghafal kitab Al-Muwatta’ yang disusun oleh Imam Malik. Selain hijrah ke Madinah pada tahun 170 H, Imam Syafi’i juga berkunjung ke Irak dan Kufah untuk belajar langsung kepada murid-murid Imam Abu Hanifah sebelum akhirnya beliau kembali lagi ke Madinah untuk menemani Imam Malik hingga wafat pada 179 H. Bahkan Imam Syafi’i terhitung berkunjung ke Irak sebanyak tiga kali, selain Irak Ia juga pernah berkunjung ke Persia, Turki dan Ramlah atau Palestina, hingga akhirnya Ia menetap dan wafat di Mesir. Kesempatan Imam Syafi’i berkunjung ke berbagai kota ini tak hanya membantunya  mengetahui budaya dan adat istiadat yang berlaku di kota-kota tersebut. Hal ini secara tidak langsung menjadi referensi Imam Syafi’i untuk membangun fatwa-fatwa dalam mazhabnya kelak. 

Menurut Syekh Al-Jum’ah, Imam Syafi’i menulis lebih dari 30 karya monumental tapi sayangnya tidak semuanya sampai ditangan kita. Beberapa kitab hilang dan beberapa kitab masih dalam proses pengetikan. Salah satu karya hebatnya adalah kitab Ar-Risalah yang disebut-sebut sebagai kitab Ushul Fiqih pertama. Berkat Ar-Risalah, Imam Syafi’i disebut sebagai NASIR AL-SUNNAH atau pembela sunah. Ketika Imam Syafi’i menjadi mufti di zaman, fitnah kejam melanda dirinya, saat itu Ia difitnah sebagai pendukung partai Syiah yang sedang gencar-gencarnya mengancam eksistensi negara dan khalifah saat itu. Hal ini tentu maklum, karena khalifah saat itu adalah Harun Ar-Rasyid yang termasuk bagian dari Dinasti Abbasiyah, yaitu Dinasti yang berseteru dengan kelompok Syiah. Imam Syafi’i pun dijebloskan ke penjara dan hampir dihukum mati karena diisukan untuk menumbangkan khalifah. Imam Syafi’i dikenal sebagai ulama yang menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum karena ide pemikirannya yang fokus pada dua cabang ilmu tersebut. Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, bahkan beberapa kalangan ada yang menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al-Qur’an dalam kaitannya sebagai sumber hukum Islam. Karena menurut beliau, setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw pada hakikatnya merupakan hasil yang diperoleh Rasulullah atas pemahamannya terhadap Al-Qur’an. 

Setelah melalui masa belajar selama 40 tahun dengan beberapa orang guru di Makkah, Yaman dan Baghdad, beliau mendapatkan ijazah dari guru beliau untuk memfatwa hukum sendiri atau menjadi mujtahid muthlaq yang bertepatan pada tahun 198 H. Pada masa itu beliau berusia 48 tahun. Beliau juga banyak mengarang kitab-kitab, Imam Abu Muhammad Qadhi Husain dalam Muqaddimah kitab Ta’liqahnya berkata bahawa Imam Syafi’i mengarang kurang lebih 113 kitab, terdiri dari berbagai fan ilmu diantaranya ilmu Ushul Fiqih, Fiqih, Tafsir, Adab dan lain sebagainya. 

Adapun kitab Qadim ialah kitab yang beliau karang sendiri dan dikarang oleh murid-murid beliau atas perintahnya ketika beliau berada di Irak. Kitab Qadim yang terkenal adalah kitab Al-Hujjah dan kitab yang diriwayatkan oleh murid beliau yaitu Abu Tsur bin Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi, Abu Ali Hasan bin Muhammad Al-Za’faroni, Abu Ali Al-Karabisi, dan Imam Ahmad bin Hambal. Adapun kitab Jadid ialah kitab-kitab yang dikarang oleh Imam Syafi’i dan dikarang juga oleh murid-murid beliau ketika beliau berada di Mesir. Kitab Jadid yang terkenal adalah kitab yang diriwayatkan oleh murid beliau yaitu Abu Ya’qub Al-Buwaidhi, Al-Muzanni Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi, Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradhi, Ismail bin Harmalah, Abu Bakar Az-Zabiri yang terkenal dengan nama Al-Humaidi, Muhammad bin Abdul Hakam Al-Mishri, Abdullah bin Abdul Hakam Al-Mishri dan Yunus bin Abdul Ya’la. Rabi’ Al-Muradi adalah murid dari Imam Syafi’i yang menyusun bab-bab pada kitab Al-Umm yang terkenal. Banyak ulama-ulama yang mengakui kehebatan Imam Syafi’i diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hambal yaitu pendiri Mazhab Hambali. 

Pada tahun 204 H, Imam Syafi’i pergi ke Mesir dan menetap selama 6 tahun untuk belajar dan menyebarkan ilmu di sana. Tak disangka, beliau diajak debat oleh salah seorang pengikut Imam Malik yang sangat alim dan faqih (ahli fiqih), Ia bernama Asyhab bin Abdul Aziz Al-Mishri. Imam Syafi’i sendiri bahkan memuji kealiman Asyhab. Imam Syafi’i berkata, “Asyhab itu seorang faqih, tapi sayang Ia mempunyai sifat kepandiran (gegabah, kurang berpikir). Dalam debat itu, Imam Syafi’i mampu mengalahkan Asyhab dengan hujjah-hujjah yang membuat Asyhab harus mengakui kekalahannya sehingga lidahnya tak mampu berkata apa-apa. Karena tidak terima dikalahkan, Asyhab memukul kening Imam Syafi’i dengan gembok yang menyebabkan Imam Syafi’i sakit selama beberapa hari. 

Mempelajari perjalanan hidup  orang besar seperti Imam Syafi’i memang sangat mengesankan, beliau adalah orang yang tidak pernah berhenti berfikir dimanapun dan kapanpun. Berbagai perjalanan ke tempat-tempat yang jauh dan melelahkan sekalipun beliau jalani demi mencari ilmu. Beliau juga seorang cendekiawan sejati yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencerdaskan masyarakatnya. Keinginan satu-satunya ialah dapat memahami ajaran-ajaran dan rahasia agama, lalu menyampaikannya ke seluruh masyarakat dunia. Akan tetapi, perjalanan yang melelahkan dan penuh derita itu tetap beliau jalani. Akibat dari aktivitasnya itu, beliau menderita sakit wasir yang sulit disembuhkan meski sudah menjalani berobat. Akibat dari penyakit ini, ketika beliau naik kendaraan, sarung dan pelana kudanya penuh dengan darah bahkan seringkali mengalir sampai ke sepatunya. Penyakit tersebut semakin hari semakin parah. Beliau hanya bisa berbaring dirumah selama berhari-hari. Al-Muzanni, muridnya yang setia suatu hari menjenguknya, Ia sempat melihat keluarganya sedang membuat lubang di bawah tempat tidurnya, di bawah lubang itu mereka menaruh kaleng tempat darah. Ketika Al-Muzanni menanyakan kesehatannya, Imam Syafi’i menjawab “Demi Allah, aku tidak tahu apakah ruhku akan diantar ke surga. Jika ini akan terjadi, tentu akan sangat menyenangkan. Akan tetapi jika ke neraka, tentu aku akan sangat berduka.” Setelah mengatakan itu, beliau membuka matanya memandang langit-langit rumahnya sambil bergumam, “Bila hatiku menjadi beku, jalanku telah sempit, harapanku satu-satunya Engkau memaafkan ku. Dosa-dosaku sungguh besar, hanya bila Engkau memaafkan, maaf-Mu tentu lebih besar.” 

Setelah mengucapkan kata-kata itu, akhir hayat Imam Syafi’i pun tiba. Beliau dengan tenang menghembuskan nafasnya yang terakhir sesudah sholat Isya bertepatan pada malam jum’at terakhir di bulan Rajab tahun 204 H dan disaksikan salah seorang muridnya yaitu Rabi’ Al-Jizi. Masyarakat Mesir sangat berduka setelah kehilangan orang besar dan cendekiawan terkemuka ini. Imam Syafi’i dimakamkan di tanah milik Bani Zahroh, yaitu milik cucu keturunan Abdullah bin Abdurrahman bin Auf As-Syafi’i.

Referensi :

Ahmad Al-Baihaqi, Biografi Imam Syafi’i, (Jakarta: Shahih, 2016)

Yazid, Nasr Hamid Abu , Imam Syafi’i: Moderatisme Eklektisisme Arabisme, Terj. Khairon Nahdhiyyin, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1997)

Asmaji Muchtar, Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi’i, (Jakarta: Amzah, 2014)

Rizem Aizid, Biografi Empat Imam Madzhab, (Yogyakarta: Saufa, 2016)

Rahmatullah, Musnad Imam Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008)

Kontributor: Robiatul Adawiyah, Semester III

Editor: Dalimah NH

Leave a Reply