Habasyah Kota Penyelamat Peradaban Islam

Habasyah Kota Penyelamat Peradaban Islam

Ma’had Aly – Habasyah adalah sebuah negara di belahan benua Afrika yaitu Ethiopia, negara yang terkurung oleh daratan atau tidak memiliki wilayah laut dengan luas wilayah 1.104.300 km2. Dan memiliki jumlah penduduk sebanyak 105.350.020 jiwa

Dengan jumlah penduduk sedemikian banyak, menempatkan Ethiopia sebagai negara terbesar ke-2 di benua Afrika setelah Nigeria. Walaupun di mata dunia Ethiopia termasuk dalam negara yang terbelakang[1] dengan pendapatan perkapita hanya sebesar US $1.900, justru inilah tempat yang sangat berpengaruh dalam perkembangan peradaban Islam.

Pada akhir tahun ke-4 kenabian, kondisi umat Islam yang sangat lemah baik itu segi jumlah maupun dari segi perpolitikan, dan ditambah setiap hari umat Islam disiksa dengan sadis oleh orang-orang kafir Quraisy, waktu demi waktu siksaan orang-orang kafir Quraisy kepada umat Islam makin gencar dilakukan, sehingga tidak ada tempat yang aman lagi di Mekkah,[2] hingga turunlah wahyu

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar. 10)

Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan sahabat untuk pergi meninggalkan Mekkah (berhijrah), Rasulullah saw. mengetahui ada sebuah wilayah yang dipimpin oleh raja, dimana raja tersebut tidak pernah mendzalimi seorang pun dan wilayah tersebut tak lain adalah Habasyah .

Nama raja tersebut adalah Ashamah an-Najasy,[3] yang lebih dikenal dengan raja Najasy. Kemudian berangkatlah umat Islam ke Habasyah untuk mencari tempat yang aman dari gangguan Kafir Quraisy dan menyelamatkan agama Islam dari fitnah.

Tepatnya pada bulan Rajab tahun ke-5 dari kenabian, berangkatlah rombongan sahabat yang pertama hijrah ke Habasyah yang terdiri dari 12 laki-laki dan 4 wanita[4] yang dipimpin langsung oleh Sayyidina Ustman bin Affan beserta istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah saw.

Di antara sahabat yang ikut hijrah ke Habasyah adalah:[5]

  1. Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah bin Abdu Syams
  2. Sahlah binti Suhail bin Amr (Istri Abu Hudzaifah)
  3. Az Zubayr bin Awwam bin Khuwailid bin Asad
  4. Mush’ab bin Umair
  5. Abdurrahman bin Auf
  6. Abu Salamah bin Abdul Usd
  7. Ummu Salamah binti Abu Umayyah (Istri Abu Salamah)
  8. Ustman bin Madz’un
  9. Amir bin Rabi’ah
  10. Laila binti Abu Hastmah bin Hudzafah (Istri Amir bin Rabi’ah)
  11. Abu Sabrah bin Abu Ruhm
  12. Suhail bin Baidha’

Itulah orang-orang yang pertama hijrah ke Habasyah, mereka mengendap-endap di gelapnya malam supaya tidak diketahui oleh kafir Quraisy, mereka menuju pelabuhan Suaibah dan pergi menggunakan Kapal yang ada di sana, namun tetap saja ada kafir Quraisy yang mengetahui kepergian mereka, kemudian kafir Quraisy itu mengikutinya, dan orang-orang Islam pun sampai ke Habasyah dengan selamat dan aman.

Setelah hijrah kelompok pertama sampai ke Habasyah, selanjutnya berangkatlah gelombang ke-2 dengan jumlah yang lebih banyak dari gelombang pertama. Ini lebih sulit dari gelombang yang pertama, karena kafir Quraisy telah mengetahui siasat kaum Muslimin.[6]

Kemudian berangkatlah gelombang ke-2 ini dengan jumlah 83 laki-laki dan 18 perempuan,[7] dan pun atas izin Allah mereka berhasil sampai ke Habasyah dengan aman dan selamat.

Manakala kafir Quraisy menyadari bahwa umat Islam hidup damai dan tentram di Habasyah, mereka berkumpul dan sepakat akan mengirimkan dua orang intel untuk menemui Raja Najasy dan meminta menyerahkan umat Islam kepadanya.

Kedua intel tersebut adalah Abdullah bin Abi Rabi’ah dan Amr bin al Ash,[8] serta membekali mereka berdua dengan harta yang banyak untuk diserahkan kepada Raja Najasy dan para pendetanya.

Ketika sampai di Habsyah, mereka membagikan hadiah tersebut kepada pendeta Raja, sebelum memberikannya kepada Raja Najasy, politik ini dilakukan agar saat menemui raja mereka akan dibela oleh pendeta-pendeta Habasyah.

Mereka berdua berkata kepada Pendeta Habasyah “Sesunnguhnya telah masuk ke Negeri tuan, anak-anak muda yang keluar dari agama kami dan juga tidak masuk ke dalam agama kalian, mereka menganut agama baru yang sama-sama kita tidak kenal, tokoh-tokoh kami (Quraisy) meminta memulangkan mereka kepada kami, jika kami berbicara kepada raja kalian tentang orang-orang tersebut, hendaklah kalian memberikan isyarat agar memulangkannya kepada kami.” Lalu pendeta pun mengiyakan ucapan mereka dan juga menerima hadiah dari kedua orang kafir tersebut.[9]

Lalu mereka berdua menemui Raja Najasy dengan memberi hadiah dan meminta memulangkan kaum muslimin kepada mereka, dengan didukung oleh para pendeta Habasyah. Namun  tak semudah itu, Raja Najasy yang terkenal adil tidak langsung percaya kepada kedua utusan tersebut. Raja Najasy melakukan kebijakan dengan mengundang orang-orang Islam ke istananya, sebagai bukti jika nantinya perkataan kedua utusan ini benar, maka raja akan memulangkan kaum muslimin, dan apabila salah maka umat Islam akan dilindungi di Habasyah.

Raja Najasy pun berkumpul bersama kaum muslimin dan kedua utusan dari Quraisy dan langsung bertanya kepada kaum Muslimin, “Mengapa agama kalian membuat kalian memisahkan diri dari kaum kalian?[10] Dan mengapa kalian tidak masuk ke dalam agamaku, serta tidak masuk ke dalam agama-agama yang telah ada?”

Lalu dijawablah oleh Ja’far bin Abu Thalib, “Wahai tuan raja, mulanya kami adalah ahli jahiliyah, kami menyembah patung, memakan bangkai, berzina, memutus silaturrahim, menyakiti tetangga dan orang kuat diantara kami selalu menindas yang lemah, begitulah kondisi kami hingga Allah swt. mengutus seorang Rasul kepada kami. Kami mengenal keturunannya, kejujurannya, ia mengajak kami untuk menyembah Allah swt. dengan cara mentauhidkan-Nya, beribadah kepadanya, meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang sebelumnya kami sembah, dan memerintahkan kepada kami supaya jujur dan amanah, menyambung silaturrahim, tidak membunuh, menahan diri dari perkara yang haram, tidak memakan harta anak yatim, dan tidak berzina. Ia juga memerintahkan supaya beribadah hanya kepada Allah swt. dan tidak menyekutukannya.”[11]

Ja’far memaparkan asas-asas utama agama islam, lalu ia berkata, “Kami membenarkan Rasul tersebut, beriman kepadanya, dan mengikuti apa yang dibawa dari sisi Allah swt., hanya kepada Allah swt. kami beribadah dan tidak menyekutukannya. Setelah itu muncullah ketidaksukaan dari kaum kami, mereka meneror dan memaksa kami untuk kembali menyembah berhala-berhala, tidak menyembah Allah ta’ala, mereka meneror, mempersempit pergerakan kami dan memisahkan kami dari agama kami, maka kami pergi ke negeri tuan karena tuan raja yang terkenal adil dan kami berharap bisa hidup aman di negerimu wahai tuan raja.”

Kemudian raja Najasy berkata kepada Ja’far, “Apakah engkau membawa bukti yang datang dari sisi Allah?”

Ja’far membacakan permulaan surat Maryam,[12] raja Najasy menangis tersedu-sedu dan para uskup pun ikut menangis. Raja Najasy berkata bahwa sesungguhnya ayat tersebut dan apa yang dibawa Isa as. berasal dari sumber yang sama. Raja Najasy memerintakhan kepada kedua utusan Quraisy untuk keluar dan melindungi orang-orang muslim.

Namun kedua utusan Quraisy itu tak langsung pergi dari Habasyah, mereka berdua kembali menemui raja Najasy,  Amr bin al-Ash berkata kepada raja, “Wahai tuan raja, sesungguhnya mereka (kaum muslimin)  meyakini sesuatu yang di luar batas tentang Isa bin Maryam, oleh karena itu hadirkanlah mereka untuk berpendapat tentang Isa bin Maryam.”

Untuk kedua kalinya kaum muslimin dipanggil oleh raja Najasy. Pada waktu yang telah ditentukan, berkumpullah mereka ke istana raja Najasy, ditanyalah kaum Muslimin oleh raja Najasy “ Apa keyakinan kalian tentang Isa bin Maryam?”

Ja’far pun menjawab “Pandangan kami tentang Isa bin Maryam ialah seperti apa yang dikatakan Nabi kami yaitu Isa adalah hamba Allah, Rasulnya, dan ruhnya yang ditiupkan ke dalam rahim Maryam sang perawan”

Raja Najasy memukulkan tongkatnya ke tanah,[13] seketika yang di istana terdiam dan kaget, raja Najasy pun berkata, “Demi Allah sesungguhnya apa yang dikatakan kalian tentang Isa tidak jauh berbeda dengan apa yang kami yakini.”

Para uskup geram mendengar pernyataan raja Najasy dan Najasy pun berkata “Ada apa dengan kalian?”

Kalian akan aman di negeriku, barangsiapa melecehkan kalian, ia pasti merugi dan barang siapa merendahkan kalian ia pasti merugi. Memiliki gunung emas jika aku harus menyakiti salah satu dari kalian (kaum muslimin) maka hal itu sangat kubenci.”

Kemudian raja Najasy mengembalikan hadiah-hadiah yang telah diberikan oleh utusan dari Quraisy,[14] dan mereka pun pulang dengan kecewa dan kaum Muslimin pun mendapat perlindungan yang aman  di negeri Habasyah.

Referensi 

[1]The 10 Poorest Countries Of The World; Ethiopia 10th place” Diakses pada tanggal 20 Januari 2019

[2] Safi-ur-Rahman Mubarafuri, Ar-Rahiq-ul-Makhtum. Darul Alamiyah. Hal.92

[3] Safi-ur-Rahman Mubarafuri, Ar-Rahiq-ul-Makhtum. Darul Alamiyah. Hal.92

[4] Zadul Maad 1/24

[5] Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam, Sirah Nabawiyah, Hal.184-188

[6] Safi-ur-Rahman Mubarafuri, Ar-Rahiq-ul-Makhtum. Darul Alamiyah. Hal.93

[7] Zadul Maad 1/24

[8] Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam, Sirah Nabawiyah, Hal.190

[9] Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam, Sirah Nabawiyah, Hal.191

[10] Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam, Sirah Nabawiyah, Hal.192

[11] Safi-ur-Rahman Mubarafuri, Ar-Rahiq-ul-Makhtum. Darul Alamiyah. Hal.93

[12] Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam, Sirah Nabawiyah, Hal.192

[13] Safi-ur-Rahman Mubarafuri, Ar-Rahiq-ul-Makhtum. Darul Alamiyah. Hal.95

[14] Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam, Sirah Nabawiyah, Hal.193

 

Oleh : M. Ainun Nafia, Semester VI

Leave a Reply