Penjara merupakan sebuah tempat tahanan yang disediakan oleh negara untuk orang-orang yang melanggar hukum. Salah satu ulama yang pernah masuk penjara adalah Buya Hamka dengan tuduhan pembunuhan Ir. Soekarno dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Januari 1961, bertepatan dengan awal Ramadan 1383 H. Ia ditangkap dan diasingkan ke Sukabumi, Jawa Barat. Di sana Buya Hamka diinterogasi dan diperiksa dengan kejam sehingga menyebabkannya sakit. Lalu, ia dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Keadaan tersebut tidak membuat Buya Hamka jatuh dalam keterpurukan dan menghilangkan jiwa produktivitasnya. Akan tetapi, hal tersebut malah membuatnya mampu tetap berkarya dengan merampungkan Tafsir Al-Azhar.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang kerap disapa dengan Buya Hamka lahir pada tanggal 8 Februari 1908 di Maninjau, Sumatera Barat. Sebutan Buya adalah panggilan yang biasa diberikan orang Minangkabau. Buya berasal dari kata Abi atau Abuya, panggilan untuk ayah atau seseorang yang dihormati. Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah atau sering dipanggil dengan Haji Rasul dan ibunya bernama Safiyah. Safiyah merupakan istri kedua Abdul Karim. Sedangkan istri pertamanya bernama Raihana (kakak Safiyah). Haji Rasul merupakan seorang ulama pembaharu Islam di Minangkabau dan pendiri Sekolah Sumatera Tawalib. Ia juga merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Pendidikan pertama Buya Hamka didapatkan dari kedua orang tuanya. Ketika memasuki usia empat tahun, Buya Hamka pindah ke Padang Panjang mengikuti ayahnya. Di sana ia belajar membaca Al-Qur’an dan salat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki usia yang ketujuh tahun, Buya Hamka masuk ke Sekolah Desa. Sembari mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, ia juga ikut mengambil kelas sore di Diniyah School. Ini adalah sekolah agama yang didirikan oleh Zainuddin Lebay El-Yunusi pada tahun 1916 untuk menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Pada masa itu, kesukaan Buya Hamka terhadap bahasa Arab sangat tinggi sehingga membuatnya cepat sekali memahami bahasa tersebut. Pada tahun 1918, Buya Hamka berhenti dari Sekolah Desa. Lalu melanjutkan belajarnya ke Sumatera Thawalib yang menekankan pendidikan agama. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai Nahwu dan ilmu Sharaf. Guru-gurunya saat itu antara lain, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Muda Abdul Hamid Hakim, Sultan Marajo, dan Syekh Zainuddin Ka’bah El-Yunusiy.
Namun, sistem pembelajaran yang selalu mengandalkan hafalan membuat Buya Hamka merasa jenuh. Dari sekian banyak pelajaran yang ia ikuti, dirinya hanya tertarik pada ilmu Arudh yang membahas syair dalam bahasa Arab. Buya Hamka juga suka membaca buku cerita dan gemar menonton film. Pernah suatu ketika, Haji Rasul mendapati Buya Hamka sedang membaca buku cerita dan keluarlah pertanyaan dari sang Ayah, “Apakah nantinya kamu akan menjadi orang alim atau tukang cerita?” Ini adalah kode bahwa ayahnya kurang suka melihat Buya Hamka membaca buku cerita dan jika ayahnya sudah mengatakan demikian maka Buya Hamka pun mengambil dan membaca buku-buku yang berbau agama.
Selain menuntut ilmu di Padang Panjang, Buya Hamka juga menuntut ilmu ke Yogyakarta. Di sana ia memperoleh pengalaman berharga dengan melakukan diskusi bersama teman-temannya yang memiliki wawasan luas. Di antaranya ada Muhammad Natsir. Dari sinilah beliau memiliki kesempatan untuk mengikuti kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam.
Semangat Modernis tentang wawasan Islam tersebut, ia awali dengan membuka kursus pidato yang diberi nama Tabligh Muhammadiyah pada tahun 1925. Naskah pidato teman-temannya kebanyakan ia yang membuatnya. Kumpulan pidato ini ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khatib al-Ummah. Dari sinilah mulai terlihat kemampuan jurnalistik yang membuat ia mempunyai banyak karya tulis. Akhirnya, Buya Hamka diangkat menjadi pimpinan majalah “Kemajuan Zaman”.
Pada tahun 1927 ia meninggalkan Tanah Air untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah dan menetap di sana selama kurang lebih lima atau enam bulan. Pengalaman naik haji ini memberi ide bagi Buya Hamka untuk membuat sebuah karya roman yang berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah”.
Tidak hanya dikenal sebagai ulama, ia juga dikenal sebagai sastrawan, sekaligus intelektual. Ia mulai meniti kariernya pada tahun 1927 sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan, sebagai ketua Muhammadiyah Padang Panjang, pimpinan Front Pertahanan Nasional (FPN), dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang, Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Universitas Dr. Mustopo Jakarta. Buku-buku yang beliau tulis sekitar 84 judul di antaranya, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, Tuan Direktur, Terusir, Kitab Tafsir Al-Azhar, dan lain sebagainya.
Kitab Tafsir Al-Azhar ini adalah kitab sekaligus karya tulis Buya Hamka yang paling terkenal. Penamaan kitab ini diambil dari nama masjid yang didirikan di kampung halamannya, Kebayoran Baru. Nama ini diilhamkan oleh Syekh Mahmud Syalsthuth dengan harapan agar benih keilmuan dan pengaruh intelektualnya bisa tumbuh serta berkembang di Indonesia. Penafsiran ini dimulai dari surah Al-Kahfi, Juz XV. Tafsir ini menemui sentuhan pertamanya dari penjelasan (syarah) yang disampaikan di Masjid Al-Azhar. Tulisan yang ditulis sejak tahun 1959 ini telah dipublikasikan dalam bentuk majalah tengah bulanan yang bernama Gema Islam yang terbit pertamanya pada tanggal 15 Januari 1962. Dalam kurun waktu dua tahun, ternyata baru satu setengah juz yang dimuat.
Namun, belum sempat menyelesaikan Kitab Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka harus menginap di balik jeruji besi atas fitnah kejam yang dituduhkan padanya. Walau berada dalam keterpurukan, Buya Hamka tetap mengambil hikmah yang ada dalam ujian itu. Menurutnya, dengan berada dalam penjara (tanpa ada kebebasan) malah membuat ia semakin dekat dengan Tuhannya. Di waktu pagi hingga sore, ia menggunakan waktunya untuk melengkapi Kitab Tafsir Al-Azhar dan di malam hari digunakan untuk beribadah kepada-Nya. Kesempatan ini juga digunakan untuk membaca guna menambah dan memperkuat wawasannya. Bahkan ia dapat menyempurnakan Tafsir Al-Qur’an 30 jilid ini hanya dalam kurun waktu dua tahun.
Tafsir ini menjelaskan latar hidup penafsirnya secara lugas. Ia menjelaskan watak masyarakat dan budayanya saat itu. Selama 20 tahun ia mampu merekam kehidupan dan sosio politik yang getir sehingga mampu menampakkan cita-citanya untuk mengangkat pentingnya dakwah Nusantara. Alasan penulisan tafsir ini adalah adanya kevakuman para pemuda, khususnya bangsa Melayu dan keinginan yang kuat untuk memahami agama. Serta kurangnya materi yang disampaikan para da’i saat itu. Salah satu tujuan ditulisnya kitab ini adalah agar memudahkan, mendorong, dan menyelamatkan umat Islam dari perongrong pembenci. Dikarenakan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman umat manusia sampai kapan pun.
Keadaan penjara yang begitu kejam, tanpa adanya keadilan tidak membuat sedikit pun dendam di hati Buya Hamka. Bahkan dari keadaan itu ia belajar menjadi seseorang yang berjiwa pemaaf dan menguatkan keimanannya. Sebab, di dalam penjara Buya Hamka berdebat panjang dengan hatinya. Bagaimana tidak? Penyiksaan yang dilakukan padanya tanpa keadilan tentu membuat hati semakin rapuh. Hingga saat itu, Buya Hamka hampir mengakhiri hidupnya. Namun, melalui iman dan ilmu, khususnya dalam karyanya Tasawuf Modern yang banyak memotivasi orang, tentu harus bisa juga memotivasi dirinya sendiri sehingga ia menjalani keadaan itu dengan ikhlas dan sabar hingga lahirlah karya monumentalnya Tafsir Al-Azhar.
Buya Hamka wafat di Jakarta, tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun. Ia meraih penghargaan gelar kehormatan sebagai “Kebanggaan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara” dari Causa oleh Universitas Kebangsaan Malaysia, memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Kairo (1959), gelar kehormatan di bidang kesusastraan dari Universitas Nasional Malaysia (1974), dan gelar Profesor dari universitas Prof Dr Moestopo.
Referensi;
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid I-II, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004
Razikin, Badiyatul (dkk). 101 Jejak Tokoh Islam, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009
Raharjo Damam, Intelektual, Intelegensi, dan Perilaku Bangsa, Bandung: Mizan, 1996
Eksan, Dadi Purnama, “Hamka Teladan dan Inspirasi Penuh Talenta”, C-Klik Media, cet. Pertama 2020
Hasim, Rosnani (ed), “Hamka Intellectual and Social Transpormation of the Malay World” in Conversation Islamic Intellectual Traditional the Malay Archipelago, ed. Rosnani Hasim. Kuala lumpur, Pustaka Perdana 2010.
Rahardjo, Muhammad Dawam, “Intelektual Intelegensi dan Perilaku Politik Bangsa”, Bandung: Mizan,1993
Kontributor: Robiah, Semester III
Penyunting Bahasa: Isa Saburai