Islam dan Akulturasi pada Zaman Walisongo

Islam dan Akulturasi pada Zaman Walisongo

Ma’had Aly – Proses islamisasi di Jawa yang dilakukan oleh Walisongo sering disebut sebagai islamisasi dengan cara sinkretis. Jika ditinjau dari artinya sinkretis berarti suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan. Pada sinkretisme terjadi proses pencampuradukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan. Oleh karena itu cara dakwah yang dilakukan oleh Walisongo cenderung memadukan antara dua paham atau agama. Yang mana hal demikian itulah yang menyebabkan masyarakat Jawa yang saat itu masih kental dengan ajaran Hindu-Budha, lebih mudah menerima ajaran –ajaran yang dibawa oleh Walisongo. 

Agus Sunyoto menyatakan dalam bukunya Atlas Walisongo, bahwa usaha dakwah Islam dengan proses islamisasi ajaran Kapitayan dan Hindu-Budha dengan Islam tampaknya berjalan dengan cepat dan masif, melalui pengembangan dukuh-dukuh dan pedepokan-padepokan yang semula merupakan lembaga pendidikan dan tempat bermukim para wiku dan cantrik. Sebab dengan cara penyesuain itulah ajaran Islam bisa dengan cepat diterima di tengah masyarakat. Mereka menggunakan padepokan dan dukuh-dukuh itu sebagai tempat untuk mengajarkan Islam. Seperti juga yang dilakukan oleh Sunan Kalijogo yang menggunakan wayang sebagai media dakwahnya. Yang mana dulunya wayang adalah adalah bagian dari ritual orang Hindu dengan kepercayaan politeismenya. Namun semenjak kedatangan Walisongo wayang dijadikan sebagai media dakwah untuk mengajarkan kepercayaan monoteisme yaitu ajaran yang dibawa Walisongo.

 Perlu diketahui bahwasanya para Walisongo dalam menjalankan dakwahnya tidak semuanya dengan cara sinkretis atau dengan jalan kultural. Ada sebagian dari Walisongo yang dakwah menggunakan cara yang asli dalam artian saklek. Sehingga nantinya daerah yang dulunya menjadi tempat dakwah Walisongo pun akan berbeda-beda kebudayaannya. Namun bukan berarti setelah masuknya Islam yang dibawa Walisongo, menggeser budaya lokal yang telah ada sebelumnya. Sebab, apapun hasilnya pastilah cara dakwah yang dilakukan Walisongo dengan cara akulturasi ini pastilah meninggalkan warisan agama yang lama atau kebudayaan yang sudah ada. 

Seperti yang kita lihat sekarang ini, banyak orang yang menganggap bahwa Jawa adalah gudangnya TBC (tahayul, bid’ah, churafat). Mengapa demikian? Sebab di Jawa banyak sekali kebudayaan yang muncul dari adanya penyesuaian antara dua paham atau budaya. Seperti tradisi slametan contohnya, slametan adalah cara yang digunakan masyarakat Jawa untuk mensyukuri atas nikmat yang telah diberikan. Sebelumnya tradisi slametan ini digunakan oleh orang-orang animisme dan dinamisme sebagai cara untuk menghormati roh-roh nenek moyang yang dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Sya’ban

Setelah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa di bulan Ramadhan, dalam ritual ini ada dua tahap yaitu tahap slametan dan tahap ziarah. Pada tahap slemetan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam. Oleh karena itu semenjak datangnya Islam di tanah Jawa tradisi tersebut mengalami akulturasi budaya. Sehingga yang tadinya tradisi slametan mereka jadikan untuk sajian pada roh nenek moyang akhirnya berubah menjadi sebuah tradisi yang dimaksudkan sebagai rasa syukur dengan cara membuat berbagi macam makanan yang kemudian akan mereka makan secara bersama-sama dengan mengundang sanak saudara.

Salah satu Walisongo yang punya andil besar dalam akultuasi budaya Islam dengan Jawa adalah Sunan Kalijogo. Beliau ini adalah salah satu wali yang berdakwah di daerah Jawa, khususnya daerah Demak yaitu tepatnya Kadilangu. Sunan Kalijogo ini merupakan salah satu sunan yang paling cerdas dalam memadu padankan nilai-nilai budaya Islam dan Jawa. Keahlian beliau dalam memadu padankan nilai dua budaya ini, membuat masyarakat Jawa lebih cepat menerima dakwah Sunan Kalijaga.  

Dapat kita lihat bahwasanya dakwah Walisongo dengan cara yang sedemikian rupa menandakan bahwa, Islam masuk di Nusantara umumnya dan khususnya pulau Jawa dengan cara yang sangat lunak, maksudnya moderat dan tanpa adanya unsur paksaan sedikitpun. Namun kembali lagi, tidak semua wilayah di nusantara ini menerima Islam dengan cara yang lunak, seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi.

Proses islamisasi Kapitayan dan Hindu-Budha seperti yang dijelaskan di atas masih meninggalkan jejaknya sampai sekarang ini. Seperti yang dijelaskan dalam buku Atlas Walisongo karangan Agus Sunyoto, jejak dakwah para Walisongo masih bisa dilacak melalui pengkajian ulang praktik-praktik keberagamaan umat Islam di Indonesia, baik melalui pengkajian nilai sosial-kultural-religius, adat kebiasaan masyarakat, warisan seni dan budaya, falsafah hidup, tradisi keagamaan, aliran-aliran tarekat, bahkan dari aspek penyerapan bahasa asing maupun penyesuaian bahasa asing ke dalam bahasa setempat. 

Hasil dari akulturasi budaya yang merupakan peninggalan dari dakwah Walisongo di Jawa antara lain yaitu “mihrab.” Mihrab merupakan tempat bagi imam salat. Penamaan mihrab ini diadopsi dari kebudayaan Kapitayan, yang mana dulu mereka percaya bahwa di ruang kosong itulah mereka menyembah Sanghyang Taya, sebab ruang kosong menunjukan bahwasanya Tuhan yang mereka sembah yaitu Sanghyang Taya itu ada namun tidak ada. Terkadang mereka beribadah di gua-gua ataupun ditempat yang mempunyai ruang kosong. Kebudayaan itulah yang saat kedatangan Walisongo diakulturasikan menjadi budaya baru yaitu mihrab. Sebuah tempat yang kosong sengaja dibangun menjorok ke depan sebagai tempat pengimaman.

Selain bangunan banyak juga hasil akulturasi kebudayaan Jawa dengan Islam, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Sembahyang misalnya, sembahyang ini merupakan kata yang diadopsi atau serapan dari kebudayaan orang Kapitayan, yaitu menyembah Yang maksudnya Sanghyang Taya. Ada juga istilah-istilah lokal yang dijadikan ganti dari bahasa arab, misal puasa atau upawasa yang merupakan ganti dari kata shaum, sunat atau selam yang menjadi ganti dari kata khitan, dan masih banyak lagi. Bahkan kata sunan yang menjadi panggilan bagi para Walisongo ini merupakan kata serapan. Kata sunan disini bukan berarti sunan dalam bahasa arab, melainkan berasal dari kata susuhunan yang berarti syekh.

Asimilasi juga digunakan para Walisongo dalam melancarkan proses dakwahnya. Pesantren salah satu contohnya. Dahulu orang Kapitayan menjadikan dukuh atau padepokan sebagai lembaga pendidikan. Pastinya, di dalamnya diajarkan tata krama dalam segala hal. Begitu juga dalam Islam, sering disebut dengan istilah pesantren yang mana di dalamnya ada santri yang dididik agar menjadi insan berilmu juga bertaqwa tanpa menghilangkan ajaran akhlaknya.  

 

Referensi 

Agus Sunyoto, 2016, Atlas Walisongo, Depok, Pustaka IIMAN dan LESBUMI PBNU

Ahmad Baso, 2019, Islam Nusantara, Tangerang Selatan, Pustaka Afid

Rizem Aizid, 2016, Sejarah Islam Nusantara, Yogyakarta, DIVA Press

Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai Pustaka 

Karkono Kamajaya Partokusumo, 1995, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta,

Ahmad Wahid Rifa’i, Mengenal Tradisi Selametan (selametan) Budaya Masyarakat Jawa. http://www.dictio.id/t/mengenal-tradisi-selametan-budaya-masyarakat-jawa/17005, diakses pada 10 September 2019 pukul 13.44 WIB

Khoirun Nisa, Inilah Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam, http://suaramuslim.net/akulturasi-budaya-jawa-dengan-islam/, diakses pada 10 September 2019 pukul 16.55 WIB.

Oleh : Muh. Jirjis Fahmy Zamzamy, Semester VI

Leave a Reply