Siapakah sebenarnya perempuan yang ditakuti Belanda itu?
Apakah orang biasa?
Apakah seorang pahlawan?
Apakah kaum bangsawan?
Atau seorang penyebar agama?
Ia merupakan sosok wanita pahlawan Nasional Indonesia terhebat yang berasal dari Aceh, bernama Cut Nyak Dhien. Semasa hidupnya beliau tidak pernah menyerah dan berputus asa dalam berjuang melawan kolonial Belanda, sehingga ia dijuluki dengan “Ratu Aceh”. Salah satu peranan Cut Nyak Dhien ialah perang melawan kolonial Belanda dalam perang Aceh. Dengan semangat yang tinggi, keberanian yang hebat dalam memperjuangkan kawasan Aceh terhadap penjajah kolonial Belanda. Sampai-sampai Belanda merasa takut dan kewalahan terhadap keberanian Cut Nyak Dhien.
Cut Nyak Dhien merupakan sosok pahlawan perempuan di Indonesia abad ke-20. Dengan keberanian nya yang hebat, ia dikenal dengan julukan “Ratu Aceh”, ada yang mengatakan “Ibu Ratu, Ibu suci” karena memiliki pengetahuan Islamnya yang baik dan kemampuan membaca Al-Qur’an yang indah, sehingga sejak di asingkan oleh Kolonial Belanda, Cut Nyak Dhien mendapatkan suatu undangan untuk mengajar Islam di wilayah Sumedang. Cut Nyak Dhien merupakan salah putri dari keturunan bangsawan Aceh yang sangat taat dalam beragama. Dari garis Ayahnya yang bernama Teuku Nanta Seutia, dimana Teuku Nanta ini merupakan salah satu tokoh masyarakat setempat dan memiliki keturunan dari Mochmoed Sati seorang perantau asal Minangkabau, Sumatera Barat. Sedangkan dari garis ibunnya merupakan keturunan bangsawan. Beliau lahir pada tahun 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI Mukim, Aceh Besar.
Sejak kecilnya, Cut Nyak Dhien dikenal sebagai sosok gadis yang cantik, cerdas, dan pintar. Bahkan beliau memiliki keahlian di bidang pendidikan agama maupun dalam pendidikan mengenai hal rumah tangga. Sehingga terasa sempurna apabila perempuan yang memiliki paras yang cantik jelita, ilmu pengetahuan yang tinggi, dan ditambah dengan akhlak nya yang mulia. Begitulah sosok Cut Nyak Dhien semasa kecilnya yang tidak begitu di herankan lagi apabila banyak laki-laki yang menyukainya. Bahkan dengan kecantikan, kepintaran, dan memiliki akhlak yang mulia banyak laki-laki yang enggan berusaha melamarnya.
Menginjak usia 12 tahun, ayahnya menjodohkan Cut Nyak Dhien bersama Teuku Ibrahim Lamnga dimana Teuku Ibrahim ini merupakan putra dari Teuku Po Amat, Uleebalang Lam Nga XIII. Teuku Ibrahim adalah sosok pemuda yang memiliki wawasan yang luas dan ta’at dalam agama. Akan tetapi pernikahan Cut Nyak Dhien bersama Teuku Ibrahim tidak begitu lama. Karena pada Abad ke -19, dimana pemerintahan Aceh terkenal sebagai gudang lada dan pinang di pulau Sumatera. Kemudian Wilayah Meulaboh dan Daya sebagai pusat pertambangan emas, kayu dan bijih logam. Dengan letak yang strategis dalam perjalanan sejarah, sehingga Aceh banyak yang didatangi oleh berbagai bangsa asing dengan berbeda macam kepentingan seperti berdagang, diplomasi dan sebagainya.
Semakin berkembangnya wilayah Aceh, membuat kolonial Belanda ingin lebih menguasai seluruh wilayah Nusantara. Awalnya mereka pergi dengan menginjakkan kakinya ke wilayah Aceh dengan tujuan untuk membujuk sultan Aceh supaya mau menyerahkan kedaulatan dan tunduk di bawah pemerintahan Hindia. Akan tetapi bujukan tersebut di tolak oleh Sultan Aceh. Penolakan Sultan Aceh tersebut membuat Kolonial Belanda semakin tidak menerima dan tidak tinggal diam. Maka pada tanggal 26 Maret 1873 pemerintah Belanda melakukan sebuah rencana dengan tujuan ingin menyerang kedaulatan Aceh. Pertama, pemerintah Belanda mengirimkan surat yang berisi sebuah peringatan dan ancaman supaya rakyat Aceh menyerah terhadap kolonial Belanda. Kemudian cara yang kedua, mereka melakukan pengkhianatan dengan tuduhan bahwasanya sultan Aceh telah melanggar sebuah perjanjian dan perdamaian terhadap kolonial Kerajaan Belanda.
Dari sinilah tampak penyerbuan yang dilakukan oleh kolonial Belanda terhadap Aceh yang diistilahi dengan “perang Aceh” karena pertempuran ini bertempatan di kawasan Aceh yang jatuh pada tanggal 8 April 1873.
Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jendral J.H.R Kohler, berhasil mendarat di pantai Ceureuman. Mereka melakukan penyerangan dengan menguasai wilayah Mesjid Raya Baiturrahman, kemudian setelah menguasai wilayah tersebut mereka langsung membakarnya. Melihat perlakuan yang dilakukaan oleh pasukan Belanda, Ketiga kesatria Aceh yang terdiri dari Teuku Cik Di Tiro, Teuku Rajat, dan Teuku Cik Ibrahim langsung menyerang pasukan Belanda.
Pertempuran antara kolonial Belanda dan pemerintah Aceh membuat salah satu pemimpin dari Aceh Teuku Ibrahim tewas karena tertembak. Selama berjuang melawan Belanda, Teuku Ibrahim sering meninggalkan Cut Nyak Dhien dengan alasan melakukan tugasnya yaitu berjuang melawan kolonial Belanda. Berbulan-bulan lamanya Teuku Ibrahim meninggalkan istri tercintanya, pada suatu ketika Cut Nyak Dhien mendapatkan suatu kabar mengenai keadaan sang suaminya ialah berhasil tertembak oleh pasukan musuh. Mendengar kedukaan terhadap kejadian ini, Cut Nyak Dhien tidak tinggal diam dan tidak berputus asa. Justru malah sebaliknya, tidak ada alasan lain lagi buat diri Cut Nyak Dhien ialah melanjutkan perjuangan sosok suami tercintanya. Situasi yang begitu marah terhadap Belanda, Cut Nyak Dhien bersumpah akan menghancurkannya.
Pada tahun 1880 Cut Nyak Dhien menikah lagi bersama suami keduanya yang bernama Teuku Umar. Beliau merupakan salah satu keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Setelah menikah, Cut Nyak Dhien meminta izin kepada sang suami tercinta untuk ikut serta dalam memperjuangkan kawasan Aceh. Melihat keberanian sang istrinya, Teuku Umar mengizinkan Cut Nyak Dhien untuk ikut bertempur di medan perang. Hal ini memberikan sebuah keberanian yang mampu meningkatkan moral semangat para pejuang Aceh.
Suaminya Dhien merupakan seorang pejuang Aceh yang terkenal karena terlibat dalam perebutan kembali daerah VI Mukim dari tangan Belanda. Dengan kecerdikan dan keahliannya dalam memimpin pasukan. Sehingga pada tanggal 30 September 1893 Teuku Umar mulai melakukan strategi, ialah dengan menyerahkan diri kepada Belanda dan menjadi tentara Belanda, Dikalangkan pejuang Aceh muncul tanda tanya besar terhadap perlakuan Teuku Umar. Bahkan mereka menganggap Teuku Umar adalah seorang penghianat karena telah bekerja sama dengan Kolonial Belanda. Setelah beberapa tahun bergabung dengan Belanda, kemudian fasilitas yang sudah lengkap dan cukup memenuhi Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien langsung membagikan senjatanya kepada pejuang Aceh dan langsung menyerang kembali terhadap Kolonial Belanda. Perang ini terjadi pada tanggal 11 Februari 1899 dan membuat Teuku Umar Tewas tertembak. Walaupun suaminya telah meninggal, Cut Nyak Dhien tetap semangat berjuang untuk melawan Belanda dan memimpin perlawanan terhadap Belanda. Hal inilah yang membuat pasukan Belanda takut terhadapnya.
Dengan kondisi yang semakin menua, matanya yang sudah mulai rabun dan terkena penyakit encok, suatu saat beliau dan pasukannya bersembunyi di suatu tempat. Dengan tujuan untuk menghindari perlawanan dari Kolonial Belanda. Hari demi hari yang terus berlanjut, sumber makanan yang tidak begitu pasti adanya dan jumlah pasukan semakin berkurang membuat salah satu pasukan Cut Nyak Dhien merasa iba. Salah satu anak buah nya melaporkan lokasi persembunyian Cut Nyak Dhien kepada Kolonial Belanda di Bentong Le Sageu dan akhirnya beliau tertangkap.
Setelah Cut Nyak Dhien tertangkap oleh Kolonial Belanda, mereka langsung membawanya ke Banda Aceh. Kemudian Belanda memberikan perawatan yang terbaik kepada Cut Nyak Dhien sehingga penyakit yang ada pada dirinya berangsur-angsur sembuh. Akan tetapi dengan kesembuhan Cut Nyak Dhien, kolonial Belanda langsung mengasingkan ke wilayah Sumedang, Jawa Barat. Pemindahan tersebut dilakukan karena mereka ketakutan terhadap Cut Nyak Dhien dalam menciptakan kesemangatan kembali perlawanan bagi rakyat Aceh, apalagi masih banyak pejuang Aceh yang belum tunduk terhadap Belanda. Dan karena faktor usianya juga yang sudah tua. Cut Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 di makamkan di daerah Pengsaingan.
Referensi:
Abdurrahman, G. Biografi Pejuang-Pejuang Aceh. (Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Proyek Pembinaan dan Pengembangan Suaka Peninggalan Sejarah Kepurbakalaan, Kajian dan Nilai Tradisional, 2022)
Ismail Sofyan, dkk. Wanita Utama Nusantara Dalam Lintas Sejarah. Jakarta :Jayakarta Agung, 1994
Julianar said, Triana Wulandari. Ensikplodia Pahlawan Nasional. Sub Derektorat Sejarah !995
Sayf Muhammad Isa. Buku Pertama Dari Dwilogi Cut Nyak Dhien Sabil Prahaea Di Bumi Renceng. Jakarta: 2015
Sofyan Ismail. Perang Kolonoial Belanda Di Aceh. Bandung: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. 1997
Kontributor: Kurniawati Musoffa, Semester III