Mengenal Sifat Shalahuddin Al-Ayyubi

Mengenal Sifat Shalahuddin Al-Ayyubi

Shalahuddin Al-Ayyubi adalah sultan dan panglima perang dari suku kurdi. Dunia mengenalnya sebagai sosok pahlawan muslim sejati. Sumbangan bagi para perjuangan menegakkan keadilan dan ajaran Islam, diakui banyak kalangan muslim maupun kalangan non muslim.

Nama lengkap Salahuddin Al Ayyubi adalah Yusuf bin Ayyub bin Syadzi. Panggilannya adalah Abu Al-Muzhaffar, dan julukannya adalah Malik An-Naser (raja yang selalu menang). Salahuddin Al-Ayyubi adalah keturunan Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan Al Kurdi. Dilahirkan pada tahun 532 H atau 1137 M di benteng Tikrit. Sebuah benteng kokoh yang membentang di atas sungai Tigris. Salahuddin menghabiskan masa kecilnya dengan belajar, membaca, menulis dan menghafal Al-Qur’an. Setelah itu, Shalahuddin mempelajari ilmu kaidah-kaidah bahasa dan ilmu nahwu dari para ulama.

Salahuddin juga berlatih ketangkasan dalam berkuda dan memanah. Dia juga gemar berburu dan berlatih strategi perang. Sehingga sangat bermanfaat ketika kelak dia dewasa memimpin perang. Shalahuddin tumbuh dalam lingkungan dan zaman yang menempatinya menjadi pemimpin yang cerdas, berhati tegar dan bijak.

Shalahuddin adalah pemimpin yang berakhlak mulia, ahli dalam politik, piawai dalam strategi perang, penanggung kuda yang mahir, dan berilmu serta dekat dengan ulama. Seolah takdir  telah mempersiapkan Shalahuddin untuk menjadi pahlawan Hittin yang menggetarkan hati musuhnya hingga dipenuhi ketakutan. Shalahuddin dikenang di belahan bumi Barat dan Timur. Teladan bagi generasi Islam yang sadar akan spirit mengembalikan kemuliaan Islam dan muslim.

Dibalik keistimewaan yang dimilikinya, Shalahuddin Al-Ayyubi memiliki sifat-sifat diantaranya yang pertama adalah takwa dan tekun beribadah, berbaik sangka dan bergantung kepada Allah SWT adalah sifat pertama dan terbaik yang membedakan seorang muslim. Sebab, meminta perlindungan kepada Allah SWT, selalu berhubungan dengan-Nya, dan memohon segala sesuatu kepada-Nya mendorong seorang muslim untuk menjadi pahlawan pemberani yang tidak kenal kalah, tidak takut mati, dan tidak gentar kepada musuh. Sifat baik yang merupakan bagian dari iman dan ibadah juga keberanian yang sangat jelas ini terwujud dalam diri Shalahuddin. Orang yang hidup semasa dengannya, berkumpul dengannya, dan mengetahui berita-beritanya, yaitu Al-Qadhi Bahauddin yang dikenal dengan Ibnu Syaddad, menulis dalam kitabnya Sirah Shalahuddin sebagai berikut.

“Shalahuddin berakidah baik dan banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Dia mengambil akidah ini dengan belajar kepada para ulama senior dan ahli fikih, misalnya Syaikh Quthnuddin An-Naisaburi menyusun untuknya informasi komprehensif mengenai pokok-pokok akidah. Dia sangat peduli untuk mengajarkan akidah ini kepada anak-anaknya yang masih kecil agar mereka menghafalnya sejak kecil. Saya melihatnya ketika sedang mengajari mereka. Mereka membacakan teks akidah itu dihadapannya.”

Mengenai shalat, dia sangat tekun mengerjakannya tepat waktu dan berjamaah. Dia juga rajin mengerjakan shalat sunnah rawatib. Kemudian mengenai zakat, dia meninggal tanpa memiliki harta dalam jumlah minimal yang harus dizakati. Mengenai sedekah kepada fakir miskin. Dia mengeluarkan semua harta kekayaannya untuk mereka. Ketika wafat, dia tidak menentang syariat Islam di kerajaannya.

Dia juga selalu berbaik sangka, berlindung dan bertaubat kepada Allah SWT. Ketika  mendengar berita bahwa musuh menyerang kaum muslim, dia menyungkurkan diri ke tanah untuk bersujud kepada Allah SWT. Dia memanjatkan doa berikut: ‘Ya Allah SWT, telah habis sebab-sebab duniawi dalam menolong agama-Mu. Tiada yang tersisa kecuali memohon pertolongan-Mu, berpegang pada tali-Mu, dan bersandar pada kemurahan-Mu. Cukuplah Engkau menjadi penolongku dan sebaik-baik pelindung.’

Sifat yang kedua yaitu Adil dan Penyayang. Al Qadhi Bahauddin berkata: “Shalahuddin adalah orang yang adil, penyayang, penyantun, dan senang menolong orang yang lemah. Dia bisa memutuskan perkara setiap hari senin dan kamis di majelis umum dengan dihadiri oleh  para ahli fikih, qadhi dan ulama. Dia membuka pintu untuk orang-orang yang akan mengadukan perkara dari seluruh lapisan masyarakat, baik tua maupun muda. Dia melakukan hal itu baik ketika berada dalam perjalanan maupun di tempat tinggalnya. Setiap kali ada orang yang meminta pertolongannya, dia berhenti dan mendengarkan masalahnya. Dia mendengarkan keluhan ceritanya,”

Diantara yang menunjukkan keadilannya, dia berdiri di samping rivalnya dalam pengadilan tanpa rasa malu atau terhina, karena menurutnya kebenaran adalah lebih berhak untuk diikuti. Seorang pedagang bernama Umar Al Khallathi mendakwa Shalahuddin telah mengambil salah seorang budaknya yang bernama Sanqar dan secara zalim telah mengambil hartanya. Ketika pedagang itu menyampaikan gugatannya kepada Al Qadhi Ibnu Syaddad, Shalahuddin sabar dan rela menjadi terdakwa. Kedua belah pihak menghadirkan saksi-saksi dan bukti-bukti mereka. Akhirnya Al Qadhi mengetahui bahwa pedagang itu berdusta dan dakwaannya kepada Shalahuddin palsu. Meskipun demikian, Shalahuddin tidak ingin pedagang itu keluar dengan tangan hampa. Dia memberinya sejumlah uang untuk menunjukkan kemurahannya, padahal bisa saja dia menghukumnya.

Kemudian sifat yang ketiga yaitu Pemberani dan Penyabar, dia patut dicontoh dalam keberaniannya. Kawan maupun lawan mengakui hal ini. Pahlawan ini tidak seperti raja dan komandan perang lainnya yang duduk-duduk di atas singgasana dan hanya mengeluarkan perintah kepada prajurit mereka untuk pergi berperang. Apabila para prajurit itu menang, mereka akan menjadi juara. Namun apabila para prajurit itu kalah, mereka aman di markas besar mereka. Shalahuddin tidak seperti para raja dan komandan perang itu karena dia biasa di barisan pertama ketika ingin menyerang musuh dan keluar bersama pasukannya untuk mengiringi mereka ke medan perang. Dia bahkan ikut merasakan resiko dan kemelut perang bersama pasukannya. 

Sifat yang keempat yaitu penuh pengertian dan pemaaf, diantara akhlak mulia  Shalahuddin adalah penuh pengertian dan pemaaf. Dia selalu menghadapi perlakuan buruk dengan perlakuan baik dan kekasaran dengan kesabaran. Misalnya Ibnu Syaddad menceritakan bahwa orang-orang datang berdesak-desakan ke Shalahuddin untuk menyampaikan keluhan mereka. Sebagian mereka menginjak ujung pakaiannya dan karpet tempat ia duduk. Akan tetapi ia tidak emosi, tetap memperhatikan keluhan mereka, dan memenuhi kebutuhan dan tuntutan mereka. Meskipun sebagian dari mereka berkata kasar dan dengan nada tinggi, dia menerima kata-kata mereka.

Pada suatu hari, Al Qadhi Ibnu Syaddad menunggangi keledainya dan melewati Shalahuddin. Hari itu hujan turun dengan deras. Keledai tadi memerciki pakaian Shalahuddin dengan lumpur hingga mengotorinya. Akan tetapi, dia tidak mengizinkan Ibnu Syaddad memojok karena malu. Shalahuddin tersenyum kepadanya untuk menghilangkan rasa malunya.   

Sifat yang kelima yaitu perwira dan toleransi, para sejarawan sepakat bahwa keperwiraan, toleransi, dan perlakuan baik Shalahuddin kepada musuh-musuhnya belum pernah terjadi dalam sejarah perang dan penaklukan. Berikut ini kesaksian para sejarawan barat mengenai toleransi dan keperwiraan Shalahuddin  yang jarang dijumpai dalam sejarah.

Amir Ali mengutip dari sejarawan Inggris, Mill, “Sekelompok orang Kristen yang meninggalkan Yerusalem pergi ke Antiokhia yang dikuasai oleh orang Kristen juga. Ternyata  pemimpin kota itu  tidak mau menerima kedatangan mereka. Dia bahkan mengusir mereka. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke negeri-negeri Muslim. Mereka pun disambut dengan penuh kebaikan.”

Al Qadhi Ibnu Syaddad juga menceritakan kisah yang memperlihatkan toleransi dan keperwiraan  Shalahuddin. Dia berkata, “Ketika raja Inggris Richard The Lionheart musuh terbesar Shalahuddin sakit, Shalahuddin menanyakan kesehatannya  dan mengirimkan buah-buahan  dan es kepadanya. Pasukan Salib yang tertimpa kelaparan, kelemahan, dan musibah merasa heran terhadap toleransi dan belas kasihan dari musuh mereka.

Karena kebaikannya kepada orang-orang Kristen dan toleransinya yang berlebihan kepada musuh-musuh  Islam dan kaum Muslim  Shalahuddin Al Ayyubi dikritik oleh beberapa sejarawan modern. Berikut ini kesimpulan kritikan mereka dapat diambil beberapa poin :

Pertama, Shalahuddin seharusnya membalas perlakuan pasukan Salib dan membunuh tawanan dari mereka sebagaimana yang telah mereka lakukan kepada tawanan dari kita. Hal itu untuk melaksanakan prinsip perlakuan yang sama. Kedua, Dia mengizinkan para tawanan dari pasukan Salib untuk berkumpul dan bermarkas di Tyre. Hal ini mendorong mereka untuk mengobarkan perang Salib III dengan menyandarkan pada berkumpulnya mereka dan bantuan yang datang dari Eropa. Hasilnya, mereka pun menduduki Acre. Ketiga, Kekacauan-kekacauan setelah perang Hittin menyebabkan negeri-negeri Islam berada dalam kebingungan besar. Shalahuddin pun mengalami kelelahan berat, negeri-negeri Islam menderita kerugian yang besar. Perang Hittin juga menghalangi laju penaklukan Islam di Barat maupun di Timur.

Sifat yang keenam yaitu Cinta Syair dan Sastra, Shalahuddin adalah orang yang mempunyai kepribadian sempurna. Dia mencintai  jihad dan mencurahkan sebagian besar waktunya  untuk ini, namun juga tidak melupakan bagiannya terhadap kesenangan duniawi selama tidak menghalanginya dari kewajiban berperang untuk meninggikan kalimat Allah SWT. Ibnu Syaddad menceritakan bahwa Shalahuddin suka bergaul, berakhlak mulia, bisa bercanda, hafal genealogi bangsa Arab dan peperangan mereka, mengetahui biografi dan keadaan mereka, memelihara asal-usul kuda mereka, serta mengetahui cerita-cerita dongeng.

Diantara aspek-aspek ini yang menunjukkan kepribadiannya yang unik dan kecerdasannya adalah apresiasinya pada syair-syair yang bagus dan pengulangannya di majlis-majlisnya. Ibnu Khalikan menyebutkan dalam sejarahnya bahwa Shalahuddin mengapresiasi syair-syair yang bagus. Para penyair sering datang  kepadanya untuk membacakan syair-syair mereka yang baru. 

Referensi:

Dr. Abdullah Nashih  ‘Ulwan, Shalah  Ad Din Al Ayyubi; Bathal Hiththin wa Muharrir Al Quds Min Ash Shalibiyyin (532-589 H), Solo: Al Wafi Publishing 2017, hal. 13

 Ibnu Syaddad, An Nawadir As Shulthaniyah wa Al Mahasin Al Yusufiyah

Rizem Azid, Para Panglima Perang, Yogyakarta: Saufa 2015, hal. 253

Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Islam dalam Sejarah Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2006, hal. 189

Hery Sucipto, Ensiklopedia Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi, Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah 2003, hal. 208

Kontributor : Ila Haoliah, Semester IV

Leave a Reply