Sastra

Salah Langkah dalam Beribadah

Karya: Rangga Azareda Dwi F, Semester 3

Pelarasan Bahasa: Isa Saburai, Semester 5

Sore ini langit senja begitu menawan, seperti senyum santri yang berdatangan menuju dapur untuk mengambil nasi.

Rifky bergegas mengambil nampan kemudian antre di belakang, sedangkan Anton dan Arya membeli lauk di kantin. Santri-santri Pesantren Al-Makmur terbiasa makan bersama di nampan dengan kelompoknya masing-masing. Satu nampan biasanya terdiri dari empat sampai lima orang. Kelompok makan Rifky ada empat orang, yaitu: Anton, Arya, Ali, dan dirinya. Dari empat orang tersebut, Rifky yang sering bertugas mengambil nasi, sedangkan yang lain akan bergantian membeli lauk di kantin.

“Ali kok belum kelihatan. Dia mau makan apa enggak, sih?” gerutu Rifky dari luar kantin dengan membawa nampan berisi nasi.

Anton yang sedang membayar lauk pada penjaga kantin pun menoleh ke arah Rifky, “Belum dateng, lagi mandi mungkin.”

“Makan di tempat biasanya aja, Rif. Nanti biar Ali nyusul,” ajak Arya menuangkan lauk yang dibeli bareng Anton ke nampan yang dipegang Rifky.

Rifky berjalan membuntuti Arya menuju aula makan paling ujung, tempat biasa mereka makan.

“Nah, itu dia si Ali baru kelihatan batang hidungnya,” celetuk Anton sambil mengarahkan dagunya ke pintu masuk.

“Kebiasaan, kalau makan sore pasti telat datangnya,” omel Rifky dengan raut wajah tidak kuat menahan lapar.

Ali hanya terdiam karena merasa bersalah, “Maaf baru dateng, aku tadi mandi dulu, takut telat jamaah Magrib.”

“Makanya, besok lagi kalau pulang madrasah langsung mandi, Li. Biar gak telat,” Anton mengingatkan Ali agar kebiasaannya tidak terulang kembali.

“Siap, Ustaz. Besok akan aku coba. Sekarang kita makan dulu aja, kasian tuh Rifky sudah kelaparan, hahaha.”

***

Setelah makan, mereka berempat kembali ke asrama untuk ganti baju dan mengambil sajadah. Rifky, Anton, Arya, dan Ali santri kelas 11 Madrasah Aliyah, mereka sekelas. Di Madrasah Diniyah (non-formal) pun berada di kelas yang sama, dan bahkan satu asrama pula. Asrama mereka terletak di samping barat aula makan dan dapur, tepatnya berjajar dengan kantor Madrasah Diniyah yang berada paling utara, kemudian berderet ke selatan tiga asrama untuk santri kelas sebelas. Nah, yang paling ujung adalah asrama mereka dan dua belas teman sekelasnya, karena satu asrama dihuni  lima belas sampai enam belas santri.

Setelah memakai baju dengan rapi, mereka menuju masjid untuk salat berjamaah. Berkumandangnya suara azan menandakan bahwa para santri sudah harus beriktikaf di masjid, ini merupakan dawuh Abah Yai kepada pengurus, asatidz, dan para santri agar jamaah salatnya tertib.

Setelah salat, Ustaz Arifin langsung memberikan informasi kepada jamaah, “Ada satu informasi yang perlu disampaikan kepada para ustaz dan santri sekalian. Bertepatan besok adalah tanggal 9 Dzulhijjah maka kita sebagai umat muslim disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah, yang mana keutamaannya adalah menghapus dosa kita satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.”

“Sekali lagi, puasa ini hukumnya sunah, jadi para santri diperbolehkan tidak berpuasa, akan tetapi jika berpuasa maka lebih baik,” ucap Ustaz Arifin menegaskan kembali. “Sekarang santri silakan menuju ke kelas masing-masing, allahumma shalli ala Muhammad.”

“Rif, besok mau puasa apa enggak?” tanya Anton tiba-tiba dengan penasaran.

“Nanti deh, Ton. Kita tanya yang lain dulu, kalau aku sih mau-mau aja, asalkan sahur. Hehehe.”

“Ah, kamu makan mulu, pantesan badanmu lebar. Hahaha.”

***

“Kalian belum mengerjakan PR bahasa Indonesia? Bu Ida nanti marah-marah lagi kalau ada yang tidak mengerjakan lho,” tanya Ali sambil menggantungkan tasnya di punggung kursi.

“Seperti biasa, aku nyontek saja. Hahaha,” ceplos Arya.

Anton dan Arya memang termasuk dua dari banyak santri yang tidak menurut para ustaz, ndablek dan sering membuat kesalahan. Namun, kesalahan-kesalahan yang diperbuat tidak sampai ke taraf pelanggaran berat, seperti mencuri uang, berpacaran, dan merokok.

Beberapa menit kemudian, Rifky masuk ke kelas dan duduk di bangku depan Ali. Dia juga meletakkan tasnya tepat seperti Ali tadi.

“Gimana, Ton. Udah kamu tanyain?” tanya Rifky pada Anton yang kebetulan duduknya bareng.

“Tanya apa?” sahut Ali yang mendengar mereka berbisik.

“Jadi gini, tadi Ustaz Arifin kan menginformasikan kalau besok ada puasa sunah Arafah, kamu sama Arya mau ikut puasa apa tidak?”

“Kalau kalian puasa, aku ikut puasa, lah. Masak, iya, aku makan sendiri, kan gak romantis. Hahaha.”

“Aku juga ikut puasa kalau begitu,” balas Arya dengan semangat.

“Ya, sudah. Kalau begitu, selesai belajar kita ke kantin beli mie goreng tiga bungkus buat sahur. Nanti Kamu ngambil nasi, ya Rif, terus simpen di kamar saja,” ungkap Anton sebagai orang yang dipandang tua, walau tidak terlalu tua juga sih.

***

Tet-tet-tet

Suara bel menandakan waktu belajar malam telah habis. Para santri berdesakan keluar kelas menuju asrama untuk istirahat, tak terkecuali mereka berempat.

“Ayo, Ton, kita ke kantin beli mie buat sahur nanti,” ajak Ali sambil meletakkan tasnya di atas lemari.

“Iya, bentar, ngambil uang dulu,” jawab Anton merogoh sesuatu dari dalam lemarinya.

“Aku tunggu di luar, ya Ton.” Ali berlalu keluar asrama.

Tak berselang lama, Anton menepuk punggung Ali kemudian mengajaknya ke kantin, “Ayo, Li, ke kantin.”

Kantin terlihat tidak terlalu ramai seperti saat jam makan, karena sebagian santri memilih untuk langsung istirahat daripada jajan terlebih dahulu. Anton masuk ke dalam kantin bersama Ali, mereka mengambil tiga mie goreng.

“Kalian beli mie goreng mentah, tidak mau dimasak di sini sekalian?” basa-basi Ustaz Adib kepada mereka berdua agar mau memasak di kantin dan bisa menambah pemasukan.

“Tidak, Ustaz. Kami mau masak nanti buat sahur,” jawab Anton tau maksud Ustaz Abid.

“Oh, ya, sudah kalau begitu. Semangat buat puasanya besok, semoga bisa sampai Magrib. Hehehe,” ledek Ustaz Adib sambil memberikan kembalian.

“Hahaha, bisa aja Ustaz Adib ini. Terima kasih, ya, Ustaz.” Ali langsung mengambil kembalian dan meninggalkan kantin dengan tertawa dan diikuti oleh Anton. Sesampainya di dekat aula makan, mereka berdua bertemu Rifky yang sedang membawa plastik putih untuk mengambil nasi. 

“Rif, ngambil nasinya dibanyakin, biar nanti sahurnya kenyang,” pesan Ali kepada Rifky.

“Siap, Li. Plastiknya aku penuhin. Nanti aku bawa sama wadah nasinya sekalian, nih.” jawab Rifky tertawa dan berlalu menuju dapur.

“Bisa aja candaan Rifky itu, tapi kalau beneran bagus juga sih. Ahhahaha,” tambah Anton.

***

Jam dinding di pendopo memperlihatkan pukul 03.40 WIB. Petugas jaga malam mulai menyisir ke asrama-asrama santri dan tempat yang biasa digunakan santri untuk tidur. Mereka mengenakan celana komprang dan kaos yang dilapisi jaket hoodie tebal, serta menggunakan kupluk untuk menutup kepala dan telinga mereka. Malam ini cuacanya sangat dingin sehingga memaksa mereka harus menutup seluruh tubuh dengan pakaian-pakaian yang bisa menghangatkan tubuhnya. Salah satu petugas jaga telah sampai di asrama Rifky, dia membangunkan semua santri yang tidur di asrama menggunakan sorban.

“Ayo bangun, bangun, bangun! Salat Tahajud!” seru petugas jaga yang kemudian berlalu.

Ali dan Anton yang telah bangun, membantu membangunkan kawan-kawannya yang lain, terutama Rifky dan Arya.

“Ar, bangun, Ar. Ayo, bangun sahur. Kita belum masak mie juga lho,” ajak Anton sambil menarik-narik tangan Arya layaknya anak meminta mainan kepada ayahnya. Rifky juga sama, dia dibangunkan oleh Ali yang sudah mengambil mie goreng di dalam lemarinya. Rifky dan Arya pun akhirnya bangun dengan wajah kesal.

“Iya-iya, ini udah bangun. Lihat mataku udah melek, nih!” seru Rifky sambil membelalakkan matanya.

“Kita mau masak mie pake pemanas siapa, Li?” tanya Arya yang baru bangun.

“Nah, itu. Aku juga bingung kita mau masak mie pinjem pemanas siapa.” Ali balik tanya.

“Coba kamu ke asrama sebelah deh, Ton. Mereka punya pemanas, siapa tahu boleh dipinjam,” jawab Rifky meminta Anton untuk meminjam pemanas di asrama sebelah.

“Ya, sudah aku ke sana dulu.” Anton bangkit dan berjalan ke asrama sebelah.

Tak lama kemudian, Anton kembali ke asrama dengan tangan kosong, “Punya asrama sebelah dipakai mereka juga. Dari asrama lain yang mau puasa juga udah pada antre mau ikut masak di asrama sebelah,” kesal Anton.

“Yang punya pemanas cuma asrama sebelah lagi, bisa-bisa kita ketinggalan sahur kalau nungguin di sana. Gimana kalau masak di kantin aja?” usul si Arya memancing perkara.

“Duh, ada-ada saja kamu. Ya, mana bisa masak di kantin jam segini, kan tutup,” jawab Rifky.

“Masak sendiri aja, nanti lewat pintu belakang itu lho, aku bisa buka kuncinya pakai kayu.” Arya berbisik kepada kawannya agar tidak terdengar yang lain.

“Ngawur kamu. Ya, nanti kalau ketahuan bisa ditakzir (dihukum), kita.” Rifky menolak karena takut akan hukuman.

“Ya, caranya jangan sampai ketahuan, daripada kita nggak jadi sahur, gimana?” balas Arya meyakinkan yang lain.

“Ya udah deh, kalau gitu. Gasss, kita ke kantin. Tapi jangan sampai ketahuan, ya.” Anton langsung bergegas ke kantin bersama Arya.

Arya mengendap-endap ke kantin bersama Anton, mereka berdua menuju dapur terlebih dahulu melewati aula makan. Kantin, dapur, aula makan santri dan asatidz terlihat sangat sunyi, karena setiap jam sepuluh malam area itu lampunya dimatikan. Arya telah sampai di dapur dengan Anton yang tengah memegangi mie gorengnya. Arya sesegara menuju ke pintu kantin yang mengarah ke dapur tersebut, dia mencongkel pengait yang mengunci pintu dari dalam dengan cara mendorongnya dari lubang di samping pintu sampai pengaitnya terlepas. Pintu kantin akhirnya terbuka, Arya mengajak Anton yang sedari tadi berada di belakangnya untuk masuk ke dalam. Mereka kemudian memasak mie menggunakan kompor yang ada di kantin tersebut. 

Ketika mereka masih sibuk dengan bumbu yang sedang mereka tuangkan pada mangkuk, tiba-tiba lampu luar kantin dan dapur menyala. Hal itu membuat mereka berdua sembunyi di bawah meja karena ketakutan, Arya mengintip dari lubang tempat dia mencongkel pengait pintu. 

“Ton, di luar ada Ustaz Kautsar, gimana nih?” Arya gugup seraya memalingkan pandangan ke Anton.

“Mati kita kalau ketahuan, ngumpet aja dulu!”

Suara air mendidih membuat mereka ingat kalau mie yang mereka masak sudah matang, cepat-cepat Arya bangkit lalu mematikan kompor. Namun, ketika dia hendak merunduk kembali, Ustaz Kautsar membuka pintu kantin dan menekan saklar yang menggantung di sebelah kiri pintu, sehingga lampu kantin menyala dengan terang. Arya yang hendak bersembunyi, langsung mati kutu ketika Ustaz Kautsar melihat dirinya.

“Sedang apa kamu jam segini di dalam kantin?” tanya Ustad Kautsar menginterogasi.

“Kami sedang bikin mie buat sahur Ustaz,” jawab Arya sambil menunduk dan gemeteran.

“Kami? Oh, berarti kamu tidak sendirian di sini, mana temanmu? Suruh keluar jangan ngumpet,” kata Ustaz Kautsar dengan tatapan serius.

Anton yang tadinya merasa aman, kini harus menampakkan wajahnya karena Arya menjawab bahwa dia sedang bersama dirinya.

“Anton, sini temeni aku menghadap Ustaz Kautsar,” panggil Arya penuh ketakutan.

“Iya, Ustaz, maaf. Kita niatnya bikin mie buat sahur, agar kuat puasanya, bukan aneh-aneh, Ustaz,” jawab Anton menjelaskan maksud dan tujuan mereka melakukan hal yang memang salah jika dilakukan.

“Meskipun niat kalian baik, tapi cara kalian ini salah. Saya akan laporkan ke Ustaz Adib selaku penanggung jawab kantin. Beliau yang lebih berhak melaporkan ini ke Abah Yai.” Ustad Kautsar mengajak mereka keluar lalu menutup pintu kantin.

***

“Assalamualaikum, Ustaz Adib, ini saya menemukan dua santri membobol kantin,” salam Ustaz Kautsar dari luar kantor Madin. Para santri yang mendengar suara Ustaz Kautsar berhamburan keluar kamar. Kini mereka berdua menjadi tontonan bagi santri-santri lainnya.

“Nah, kan, yang aku takutkan beneran terjadi, mereka ketahuan,” bisik Rifky pada Ali.

“Iya, Rif, makanya aku nggak mau ikut ke kantin, mendingan di sini nggak dapet masalah, bisa-bisa mereka nanti ditakzir,” jawab Ali pelan.

Ali dan Rifky akhirnya memutuskan untuk memakan nasi tanpa lauk, mereka menyisakan sebagian nasi untuk Arya dan Anton di dalam plastik.

“Benar kalian membobol pintu kantin?” tanya Ustaz Adib pada Anton dan Arya. 

Merasa malu karena dilihat kawan-kawannya yang lain dari depan asrama, Anton menjawab pelan pertanyaan Ustaz Adib, “Iya Ustaz, kita membobol pintu kantin yang mengarah ke dapur.”

“Kalian ini ada-ada saja, bisa-bisanya kalian berbuat seperti itu. Nanti setelah apel pagi kalian akan ditakzir oleh keamanan pondok,” tegas Ustaz Adib. 

“Maaf Ustaz, tapi kita tidak punya niat aneh-aneh. Kita cuma masak mie buat sahur, bukan mencuri,” Anton menjelaskan dengan pelan.

“Tetap saja apa yang kalian perbuat itu merupakan kesalahan, apalagi masuk dan menggunakan barang orang lain tanpa izin. Meskipun kalian niat beribadah, tetapi diawali dengan hal buruk, apakah kalian yakin Allah rida akan ibadah yang kalian perbuat?” tanya Ustaz Adib kepada mereka berdua.

“Kami tidak yakin Ustaz, tapi mohon jangan takzir kami berdua,” minta Arya memelas dengan menangkupkan kedua tangan.

“Sudah diterima saja, biar kalian tidak mengulangi perbuatan ini lagi nantinya.” Ustaz Kautsar ikut berkomentar.

Akhirnya Arya dan Anton disuruh kembali ke asrama oleh Ustaz Adib, mereka berdua akan tetap ditakzir saat apel pagi nanti. 

***

Selesai salat Subuh, para santri mengaji Alquran bersama di masjid sampai pukul enam pagi dipimpin salah satu ustaz yang telah dijadwalkan. Sepulangnya, para santri akan mandi dan sarapan sampai bel berbunyi, tanda bahwa apel pagi akan dimulai.

Anton dan Arya hari ini tetap berpuasa, kejadian tadi fajar tidak memutuskan tekad mereka untuk melaksanakan puasa Arafah. “Makanya aku tadi kan bilang, nggak usah aneh-aneh,” ucap Rifky sambil memasang kaos kaki di kursi depan asrama.

“Diambil pelajarannya saja, Rif. Semoga kami tidak mengulanginya lagi dan tahu kalau perbuatan tadi salah,” jelas Arya sembari tersenyum.

Bunyi bel berbunyi, para santri putra maupun putri berdatangan ke lapangan, berbaris sesuai dengan kelas masing-masing. Komandan peleton telah menempatkan diri, lalu pembina apel dengan lantang menyiapkan barisan serta meminta laporan dari tiap komandan peleton.

Usai laporan, Ustaz Fattah selaku ketua kemanan pesantren meminta Arya dan Anton maju ke depan. Arya dan Anton yang tahu jika mereka akan ditakzir, langsung berjalan lewat belakang barisan menuju ke lokasi Ustaz Fattah berada.

“Fajar tadi sebelum salat Subuh, ditemukan dua santri telah membobol kantin dan memasak mie di dalam. Ini mereka, Arya dan Anton. Niat mereka memasak mie untuk sahur agar kuat berpuasa merupakan hal yang baik, tetapi mereka melakukan kesalahan dengan membobol kantin, mereka tidak izin kepada Ustaz Adib selaku penanggung jawab. Ini termasuk melanggar peraturan pesantren karena mereka telah masuk dan menggunakan barang orang lain tanpa izin. Jadi, hari ini mereka akan ditakzir hormat bendera sampai waktu istirahat dan dikalungi ceting (wadah nasi dari plastik) berisi mie yang tadi mereka buat.”

Anton dan Arya mendengarkan ucapan Ustaz Fattah dengan terus merunduk, mereka berdua merasa malu atas kesalahan yang mereka perbuat. Apa yang mereka lakukan memang pantas mendapat hukuman dari keamanan, tetapi dari kejadian tersebut, mereka mendapat pengetahuan baru dari Ustaz Adib, bahwasannya segala sesuatu yang diniatkan baik, tetapi dimulai dengan hal yang buruk, belum tentu Allah akan rida atas perbuatan baik yang dilakukan.

Jakarta Barat, 20 Januari 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *