Bagai Angin Tiba-Tiba Berembus

Bagai Angin Tiba-Tiba Berembus

Karya: Shifa Aulia (Semester IV)

Pelarasan Bahasa: Isa Saburai (Semester VI)

INI KISAHKU. Kisah perjalananku waktu di pesantren. Banyak lika-liku, baik saat menuntut ilmu ataupun kisah cintaku di pesantren. Namaku Grizelle Hikaru Olivia yang artinya perempuan pejuang yang cerdas, berkilau bagai permata, tapi suka keheningan. Aku kerap disapa Grizelle. Namun, kedua orang tuaku lebih memilih memanggil dengan nama Olivia. Alasan mereka simpel, mengapa mereka memanggilku seperti itu karena kata mereka Olivia panggilan kesayangan dan mudah diingat. Maklum, kedua orang tuaku memang sudah berkepala lima. Aku empat bersaudara, tiga laki-laki dan satu perempuan. Sesuai dengan namaku, orang-orang memang mengenalku sebagai seorang perempuan pejuang yang cerdas. Aku gadis muda blasteran yang tak sengaja masuk ke pesantren. Ya, Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in, tempat di mana aku belajar ilmu-ilmu agama. Pesantren yang terletak di desa Lirboyo, Kediri, Jawa Timur ini diasuh oleh ulama terkenal, KH. Abdullah Kafabihi Mahrus. 

***

Tepat pada 10 Juli 2020, kedua orang tua mengantarkanku ke pesantren. Jarak antara kediamanku dan pesantren memang lumayan jauh. Rumahku ada di kota Surabaya dan pesantren ada di Kediri. Jadi, hampir membutuhkan waktu beberapa jam untuk sampai di pesantren. Masuk ke pesantren bukanlah atas dasar kemauanku. Aku masuk ke sini tak lain karena desakan Babaku. Kiai Ahmad putra Kiai Kafa adalah teman Babaku waktu kuliah di Timur Tengah dulu, karena itu Baba dan Mamaku berinisiatif memasukkanku ke pesantren. Niat orang tuaku adalah untuk menyambung tali silaturahmi sekaligus tabaruk kepada Kiai Kafa. 

“Nah, sudah sampai,” ujar Babaku senang.

“Alhamdulillah,” sambung Mamaku.

“Baba sama Mama beneran mau naruh aku di sini?” tanyaku sambil merengut tak senang.

“Iya, Sayang. Kamu di sini akan belajar banyak hal, mulai dari kehidupan dunia sampai kehidupan akhirat,” terang Baba.

“Tapi Baba, emang Baba tega meninggalkanku sendirian di tempat kumuh seperti ini?” rengekku pada Baba.

“Nak, tempat ini bersih kok. Mama sama Baba sudah pernah survei ke sini sebelumnya,” jelas Mama.

“Tapi kan…” 

Belum sempat aku melanjutkan perkataanku. Baba dan Mama sudah membuka pintu mobil untuk keluar.

“Ih, Baba, Mama,” rengekku lagi.

Namun Baba dan Mama tidak memedulikan rengekanku, mereka malah asik membereskan barang-barang di bagasi mobil lalu membawanya masuk ke pesantren. Mau tak mau aku harus mengikuti langkah mereka dengan wajah masam sambil menahan emosi. Ya, meskipun aku termasuk anak perempuan yang dimanja, tetapi Baba dan Mamaku sangat tegas dengan pendidikanku, karena bagi mereka pendidikan anak-anaknya itu jauh lebih penting dari apapun. Meskipun harus banyak mengeluarkan biaya, mereka tak peduli. Sebab yang terpenting anak-anaknya terus mengenyam pendidikan. 

***

“Assalamu ‘alaikum,” sapa Baba ketika sampai di depan ndalem Kiai Kafa.

“Wa ‘alaikumussalam,” jawab seorang pria seumuran Baba yang baru saja keluar dari ndalem.

Seketika terlihat wajah sumringah Baba melihat pria tersebut. Aku pun menerka-nerka. Inikah Kiai Kafa itu?

Monggo mlebet, (Silahkan masuk),” ajak pria itu.

Kemudian kami pun masuk ke ndalem. Mama menyuruhku membawa ransel sendiri karena Mama merasa kewalahan membawanya. 

Monggo-monggo pinarak rumiyen. Kebetulan Buya nembe nedha, (Silakan-silakan. Duduk dulu. Kebetulan Buya barusan makan),” ujar pria itu mempersilakan kami duduk di kursi ruang tamu. 

“Oh, njeh,” jawab Mama.

Aku pun hanya terdiam sambil membayangkan betapa tidak mengenakannya tinggal di pesantren. Bercampur dengan orang-orang yang entah mereka memedulikan kebersihannya atau tidak. Refleks, aku bergidik ngeri membayangkannya. Bagaimana kalau nanti aku tidur dengan perempuan kumuh dan bau? Bagaiamana jika tengah malam aku terbangun dan menacari keberdaan Mama dan Baba? Lalu, bagaimana cara mencuci baju dan lain sebagainya. Pikiran-pikiran tersebut melayang-layang di kepalaku. Tanpa aku sadari air mataku menetes. Seketika aku langsung mengambil tisu di dalam tas slempang Mama untuk mengusap air mataku. 

“Walah! Esmaeel kaifa haluk?” sapa seseorang yang tiba-tiba keluar dari ruang makan.

Ana khair. Alhamdulillah Gus,” jawab Baba.

“Ada gerangan apakah kamu ke sini?” tanya orang itu lagi. 

Kemudian Baba menjelaskan semua mengenai perihal akan menyekolahkanku di pesantren ini. Mama yang sedari tadi di sampingku membisiki tentang orang yang sekarang duduk menghampiri kami adalah Gus Ahmad, teman lama Baba. Aku pun mulai memahaminya.

“Pantas saja orang itu mengenal nama Baba,” ucapku dalam hati. 

Kemudian Mama juga menjelaskan bahwa pria yang menyambut kami ketika awal tadi adalah tangan kanan Gus Ahmad. Lalu, muncul pertanyaan di kepalaku. “Terus manakah Kiai Kafa itu? Mengapa beliau belum juga terlihat?” Saat aku sibuk dengan pertanyaan, kulihat Baba dan Gus Ahmad berbicara cukup lama. Mama bilang, maklum teman lama dan baru ketemu lagi. Aku dan Mama hanya bisa menunggu dan sesekali menjawab pertanyaan dari Gus Ahmad. Tak lama setelah itu, seorang pria yang lebih tua dari Gus Ahmad datang menghampiri kami. Pria itu tampil lebih santai dengan gamis putih dan peci putihnya. 

Esmaeel bukan?” tanya pria itu saat berada di depan kami.

Njeh, Yai,” jawab Baba.

“Lah, niki enten nopo. Mbeto barang-barang katah niki? (Ada apa ini? Kok bawa banyak barang),” tanyanya lagi.

“Oh, ngeten Yai …. (Jadi begini, Yai ….),” jawab Baba sembari menjelaskan tujuannya ke sini.

Setelah selesai menjelaskan, Baba mulai mengenalkanku pada mereka berdua. 

“Sayang, ini yang tadi lama bicara sama Baba adalah Gus Ahmad. Lalu satunya lagi sebelah Gus Ahmad itu adalah Kiai Kafa, pengasuh pesantren ini,” terang Baba. 

Aku pun mulai paham dan berusaha mengenal beliau-beliau sedikit demi sedikit. Setelah berbincang cukup lama, Kiai Kafa pun mengajak kami untuk keliling pesantren. Namun, Baba dilarang ikut karena kami sedang berada di kawasan santri putri. Baba pun kembali duduk dan berbincang dengan Gus Ahmad lagi. Sepanjang perjalanan, Kiai Kafa menjelaskan akan pesantren ini. Mulai dari sejarah berdirinya sampai menjadi seperti sekarang. Selama beberapa menit kami mengelilingi pesantren, seketika rasa nyamanku mulai datang karena pesantren ini bersih dan rapi. Santri-santrinya juga ramah-ramah. Aku pun mulai memantapkan niat dan tujuanku datang ke sini.

 “Nak, niki calon asrama sampeyan mengken, (Nak. Ini calon asrama kamu nanti),” jelas Kiai Kafa.

Njeh, Yai,” jawabku menghormati beliau.

Kemudian kami kembali lagi ke ndalem untuk mengambil barang-barangku. Setelah itu, kami mulai melakukan pendaftaran. Selesai pendaftaran, Baba dan Mama pamit untuk pulang, sedangkan aku akan diantar oleh pengurus asrama menuju asramaku. Air mataku menetes dengan derasnya saat itu juga. Baba dan Mama berusaha menenangkanku. Begitupun Gus Ahmad dan Kiai Kafa. Bahkan beliau berdua menyarankanku tinggal di ndalem dulu. Kata beliau untuk melatih adaptasiku, nanti beliau akan menyuruh salah satu khadimah ndalem agar menemaniku sampai aku kerasan di pesantren ini. Baba dan Mamaku menyetujuinya. Begitupun pengurus asramaku. Jadi, untuk beberapa hari ini aku akan tinggal di ndalem Kiai Kafa terlebih dahulu. 

“Oliv. Mama sama Baba pamit pulang dulu, ya Nak,” pamit Mama.

“Iya, Ma. Mama sama Baba hati-hati di jalan,” ucapku sambil sesenggukan.

Kemudian Mama dan Baba pun pulang. Lalu, aku diajak Kiai Kafa menuju ndalem beliau.

***

Mbak Rika, Khadimah yang ditugaskan Kiai Kafa menemaniku. Dia juga yang nantinya akan jadi teman baikku di sini. Kebetulan juga kami seumuran maka dari itu, kami cepat akrab. Mbak Rika orangnya cantik, sederhana, juga simpel. Dia selalu mengerjakan semua pekerjaan dengan telaten, santai, tapi pasti selesai dengan cepat. Selain itu juga, dia orangnya pintar dalam segala bidang. Terlebih dalam ilmu Nahwu dan Sharaf. Mbak Rika paling jago akan hal itu.

“Mbak Grizelle. Kamu dulu sekolah di mana, njeh?” tanya Mbak Rika tiba-tiba.

“Aku dulu lahir, sekolah, dan tinggal di Turki, tempat nenekku dari Baba, makanya namaku jadi ikutan orang sana, hehehe,” jelasku sambil menertawakan diri sendiri.

“Kalau Mbak sendiri asli orang mana?” tanyaku balik.

“Oh, kalau saya dari Rembang, Jawa Tengah, Mbak. Dulunya saya sekolah di Rembang dekat rumah. Namun, setelah umur 12 tahun, saya pindah sekolah di sini sampai lulus nanti,” terang Mbak Rika dengan logat khas Jawa yang masih kental.

Setelah itu, kami melanjutkan percakapan sambil keliling pesantren. Tak lupa, Mbak Rika juga memperkenalkanku pada mbak-mbak santri yang lain. Oleh karena itu, aku pun jadi akrab dengan mereka tanpa butuh waktu lama.

***

“Mbak Grizelle, nanti malam ada pengajian kitab Tafsir Showi. Mbak mau ikut tidak?” tanya Mbak Rika mengagetkanku.

“Astaghfirullah. Kaget aku Mbak,” jawabku.

“Hehe. Afwan, Mbak. Mbak mau ikut gak?” tanyanya lagi.

“Emang jam berapa acaranya, Mbak?” tanyaku balik.

“Paling habis jamaah Isya’, Mbak.”

“Oke boleh, tapi … aku belum punya kitabnya.”

“Iya, ndak papa. Nanti pakai punya saya dulu aja. Kebetulan Tafsir Showi saya sudah lengkap 4 juz. Jadi, nanti Mbak bawa punyaku satu. Buat pegangan,” terangnya.

“Emm, boleh. Makasih, Mbak,” kataku senang.

***

Malam itu, awal kali aku mengikuti pengajian Tafsir Showi bersama teman baikku, Mbak Rika. Aku melihat temanku sangat begitu antusias dan penuh semangat. Katanya tadi, selain dia suka sama tafsir. Dia juga ngefan sama yang mengajar tafsir malam ini. Pengajarnya malam ini tidak seperti biasanya, katanya karena pengajar yang biasanya sedang sibuk. Jadi, belum bisa mengisi pengajian tafsir seperti biasanya. Untuk itu, beliau meminta seseorang untuk membadalinya. Namun, hal itu masa bodoh bagiku karena yang terpenting saat ini aku mendapat ilmu baru. 

“Mbak Rika kita mau duduk di mana?” tanyaku bingung.

“Depan aja yuk, Mbak,” ajaknya senang karena melihat karpet depan belum terisi.

Aku pun mengikuti langkahnya. Tanpa peduli beberapa tatapan yang menatapku penuh keheranan dan tidak percaya karena ada bule di sini, hehehe. Kata Mbak Rika untuk pengajian Tafsir Showi ini hanya diadakan sebulan sekali. Itu pun digabung dengan santri putra Hidayatul Mubtadi’in. Jadi, mau tidak mau kita harus bisa menjaga diri dari mereka. Jangan sampai kita saling tatapan dengan mereka karena jika ketahuan maka takzir akan dipikulkan pada kita. Tak peduli dengan alasan apa pun yang kita katakan.

***

Tak berselang saat kami berdua duduk. Ustaz badal yang dimaksud Mbak Rika pun rawuh. Seketika suara bisik-bisik di sana sini bergemuruh. Termasuk Mbak Rika disebelahku.

“Eh, Mbak coba lihat deh. Ganteng, kan Ustaznya? Nama beliau Ustaz Yusuf Muhammad al-Ghazali, Lc. beliau itu lulusan Kairo. Kampus al-Azhar itu, Mbak,” jelas Mbak Rika sambil sesekali melihat Ustaz yang dimaksud.

Kurasa Mbak Rika bukan hanya mengagguminya. Namun, menyimpan rasa juga. Terlihat sangat jelas dari cara menatapnya. Walaupun aku tidak pengalaman soal asmara, tetapi aku bisa menebak seseorang yang lagi kasmaran. Hehehe.

“Hmmm, iya, Mbak. Mending sekarang Mbak buka kitab tafsirnya. Terus mulai memaknai,” tuturku berharap Mbak Rika fokus pada kitab tafsirnya karena pengajian sudah mulai.

Selama pengajian berlangsung. Aku merasa kurang fokus karena Mbak Rika sedari tadi menowelku sambil berkata kagum pada Ustaz itu. 

“Aduh! Mbak Rika udah dong kagumnya. Aku nggak fokus ini,” jeritku dalam hati.

Untungnya pengajian itu tidak berlangsung lama. Kemudian, Mbak Rika mengajakku untuk langsung kembali ke kamar.

***

Pagi hari yang cerah. Gus Ahmad tiba-tiba menemuiku di depan asrama. Ya, aku sudah pindah sejak seminggu yang lalu karena aku sudah mengenal teman-teman seangkatan dan seasramaku.

“Assalamu ‘alaikum, Gus,” salamku saat sudah di luar asrama.

“Baba sama Mama kamu datang berkunjung,” kata Gus Ahmad.

Njeh, Gus. Sekedap kulo siap-siap rumiyen, (Iya, Gus. sebentar aku siap-siap dulu),” ucapku.

Dengan hati senang aku pun bersemangat untuk segera bertemu dengan Baba dan Mama karena aku sudah merindukan mereka.

“Assalamu ‘alaikum,” salam Gus Ahmad ketika sudah sampai di depan dalem.

“Wa ‘alaikumussalam,” jawab sebuah suara yang kurindu sejak lama, Baba.

Lalu, Gus Ahmad mengajakku masuk ke dalem. Seketika itu juga aku langsung memeluk Baba dan Mama sambil menangis meluapkan segala kerinduan. 

“Baba sama Mama apa kabar? Oliv kangen banget sama kalian,” ucapku.

“Baba sama Mama kabarnya baik. Kami juga kangen sama kamu Liv,” ujar Baba.

“Kamu tidak kangen sama aku Liv?” sahut sebuah suara yang tak kusadari keberadaannya.

“Eh, Abang Omar ternyata. Hehehe,” kekehku. Abang Omar adalah saudara laki-laki tertuaku yang kedua. Dia saudaraku yang paling jahil.

“Aku juga kangen Abang,” kataku sambil memeluk Abang jahilku ini.

Setelah itu kami semua mulai berbincang. Mulai dari Kiai Kafa yang bertanya tentang keadaanku di asrama, sampai pertanyaan Abangku yang tak masuk akal pun masuk ke perbincangan kami. Di situ aku merasa senang sekaligus nyaman. Semua anggapanku terhadap pesantren dulu pun sudah sirna. Saat kami sedang hangat-hangatnya berbincang. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang sangat familiar olehku menghampiri kami. Terlihat laki-laki itu sangatlah akrab dengan Kiai Kafa, Gus Ahmad, Abang Omar, juga Baba. Aku pun mulai kebingungan sebenarnya siapakah laki-laki ini? Terbersit banyak pertanyaan di benakku. Gus Ahmad mempersilakannya duduk di kursi yang masih kosong.

“Walah! Ini to teman kamu, Mar?” tanya Gus Ahmad pada Abangku.

Njeh, Gus. Niki rencang kulo kuliah teng Kairo, (Iya, Gus. Ini teman saya kuliah di Kairo),” jawab Abangku senang karena bertemu temannya lagi. 

“Walah! sinten asmone sampeyan, Le? (Siapa nama kamu?),” tanya Kiai Kafa.

Asmo kulo Yusuf Muhammad, Yai, (Nama saya Yusuf Muhammad Yai),” jawab laki-laki tadi.

Seketika pikiranku mulai melayang kala malam itu saat aku dan Mbak Rika ikut pengajian Tafsir Showi.

“Bukankah Yusuf Muhammad itu Ustaz yang sangat dikagumi sama Mbak Rika,” ucapku sambil menerka-nerka dalam hati.

“Kamu yang kemarin badalin Ustaz Mahmud, ya?” sekarang ganti pertanyaan Gus Ahmad untuknya.

Njeh, Gus,” jawab Ustaz Yusuf kemudian.

“Oh, iya, Suf, kenalkan ini Grizelle Olivia adikku yang mondok di sini,” ucap Abangku tiba-tiba. Seketika mataku melotot menatapnya.

“Oh, iya, Mar. Aku sudah tahu sebelumnya. Kemarin dia juga ikut pengajianku,” terang Ustaz Yusuf.

“Kenapa dia sudah mengenaliku? Sejak kapan? Padahal aku baru mengenalnya saat malam pengajian itu,” kataku dalam hati.

Oalah,” ucap Abangku kemudian.

Setelah itu, kami semua mulai berbincang-bincang lagi meneruskan pembahasan yang tadi. Sampai akhirnya Baba dan Gus Ahmad memulai pembahasan baru perihal niat Ustaz Yusuf bertaaruf denganku. Seketika aku kaget sambil menggelengkan kepala. Mengapa secepat itu? Apa yang harus kulakukan? Dan, bagaimana jika Mbak Rika tahu akan hal ini? Aku harus bilang apa padanya? Beribu pertanyaan muncul tiba-tiba di pikiranku. Membuatku bimbang. 

Nduk, Oliv. Pripun? Sampean bade bertaaruf kaleh Ustaz Yusuf. Sampean trimo mboten? (Nak, Oliv. Gimana? Kamu akan diajak taaruf oleh Ustaz Yusuf. Kamu menerima tidak?),” tanya Kiai Kafa membuyarkan lamunanku akan Mbak Rika.

Bingung dan bimbang. Itulah yang kurasa saat ini. Namun, jika seorang Kiai yang telah meminta maka itu adalah sebuah kata perintah bagiku. Jadi, tak mungkin aku menolak perintah seorang Kiai. Nanti suul adab.

“Insya Allah kulo sanggup, Yai, (Insya Allah saya sanggup, Yai).” Akhirnya kata itulah yang terucap dari bibirku. 

Seketika suara ucapan alhamdulillah pun bergema di ruangan itu.

Singkat cerita kabar itu menyebar seantero pesantren. Mbak Rika juga telah mengetahuinya. Saat itu juga dia sangat marah dan membenciku karena dianggap telah berkhianat. Aku pun merasa serba salah. Sedih. Itu yang melandaku hampir dua minggu. Sampai akhirnya aku mendengar bahwa Mbak Rika akan pindah dari pesantren ini.

Ya, Allah. Mengapa sampai seperti ini kisah persahabatanku. Hanya karena kisah cintaku yang datang tiba-tiba. Rintihku setiap waktu. Hingga aku memutuskan untuk menemui Mbak Rika dan meminta maaf padanya sebelum dia benar-benar pergi. 

***

“Mbak Rika,” sapaku ketika bertemu dengannya.

“Iya, Mbak,” jawabnya sambil tak menatapku.

“Mbak Rika. Aku datang ke sini untuk meminta maaf padamu. Aku tak tahu akan terjadi seperti ini,” ucapku berusaha meminta maaf.

Namun, kulihat Mbak Rika tak bergeming sedikit pun, tapi tiba-tiba dia memelukku erat seakan memperlihatkan kesedihannya. Aku pun membalas memeluknya. Saat itu kami menangis sejadi-jadinya. Sambil saling meminta maaf. Ya, kata Mbak Rika dia sudah memaafkanku dan menerima akan perjodohanku dengan Ustaz Yusuf yang dikaguminya. Kemudian dia juga mengatakan sebuah kalimat yang tak akan pernah aku lupakan dalam sejarah hidupku.

“Kadang cinta itu tak selamanya memiliki. Namun, juga harus rela dan ikhlas melepas seseorang yang dicinta. Hanya karena ingin melihat kebahagiaannya. Untuk itu, kumohon jagalah cintamu untuk Ustaz Yusuf jangan sampai kalian putus karena hal sepele. Saya berjanji akan sering kirim kabar padamu di saat ada waktu,” tuturnya.

Sungguh Mbak Rika bisa sebaik dan setulus itu padaku. 

“Aku berjanji Mbak. Akan berusaha menjaga amanah Mbak. Namun, Mbak jangan pergi dari pesantren ini,” ucapku sembari berharap dia tak jadi pergi.

“Nggak, Mbak. Saya harus pergi karena dengan begitu saya bisa menghilangkan rasa kagumku pada Ustaz Yusuf. Tidak hanya itu, saya juga dapat beasiswa di Tarim. Jadi, saya harus keluar dari pesantren ini,” jelasnya detail.

“Selamat berjuang sahabatku. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu,” ucapku memeluk Mbak Rika dengan erat dan berderaian air mata.

THE END

Jakarta Barat, 16 Februari 2022

Leave a Reply