Kiai Wahab Hasbullah adalah putra sulung dari Kiai Hasbullah. Beliau lahir di Desa Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada 31 Maret 1888. Ayahnya Kiai Hasbullah adalah putra Kiai Said sekaligus cucu Kiai Abdus Salam pendiri Pesantren Selawe dan Pesantren Telu. Kiai Said adalah murid Kiai Abdus Salam yang kemudian dinikahkan dengan Fatimah, salah seorang putri Kiai Abdus Salam. Dari pernikahan ini Kiai Said memperoleh keturunan empat anak terdiri dari tiga orang putra dan satu orang putri yaitu Kiai Hasbullah, Kiai Syafi’i, Kiai Asim dan putrinya yang tidak disebutkan namanya.
Kemudian Kiai Hasbullah menikah dengan Nyai Lathifah. Pernikahan ini dikaruniai delapan orang anak, tiga orang putra dan lima orang putri, di antaranya Kiai Abdul Wahab Hasbullah, Kiai Abdul Hamid, Kiai Abdur Rohim, Khodijah, Fatimah, Solihah, Zuhriyah, dan Aminaturrokhiyah. Dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain, Kiai Wahab Hasbullah lebih menonjol dan banyak dikenal orang.
Pendidikan Kiai Wahab Hasbullah dari kecil sampai besar semuanya hanya di pesantren. Ketika kecil, ayahnya Kiai Hasbullah mengajarkan pelajaran agama kepada beliau secara sungguh-sungguh agar mendapatkan hasil dan pemahaman yang maksimal. Setelah dianggap cukup mampu menguasai dasar-dasar ilmu agama, ayahnya mengirimkan Kiai Wahab Hasbullah ke Pesantren Langitan, Tuban yang saat itu di bawah asuhan Kiai Ahmad Sholeh. Kemudian pada 1901, ketika itu usianya baru 13 tahun, beliau ternyata tidak hanya belajar di satu pesantren, tetapi di beberapa pesantren. Hal itu ditujukan untuk mencari kekhasan dari masing-masing pesantren tersebut, terutama dari sisi keilmuan Islam seperti Ilmu Al-Qur’an, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadist, Bahasa Arab maupun dalam Bidang Tasawuf. Hal itu bertujuan untuk menambah pengetahuan agar siap terjun ke masyarakat.
Proses pendidikan pesantren yang dijalani oleh Kiai Wahab Hasbullah ini berlangsung sekitar 9 tahun. Dengan menimba keilmuan Islam pada tujuh pesantren yaitu:
1. Pesantren Langitan, Tuban yang di asuh oleh Kiai Ahmad Sholeh.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk yang diasuh oleh Kiai Sholeh dan menantunya yaitu Kiai Zainuddin.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang di bawah asuhan Kiai Mas Ali.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura yang di asuh oleh Syekh Kholil.
6. Pesantren Branggahan, Kediri yang berada di bawah asuhan Kiai Faqihuddin.
7. Pesantren Tebuireng, Jombang. Pondok ini berada di bawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari. Di Pesantren ini Kiai Wahab Hasbullah cukup lama menjadi santri sekitar 4 tahun.
Di Pondok Pesantren tersebut Kiai Wahab Hasbullah belajar dan memperdalam ilmu agama, hingga usianya mencapai 21 tahun. Meskipun banyak yang menyebutnya sebagai “Kiai Muda” akan tetapi ayahnya masih menganggapnya belum cukup dan masih perlu belajar lagi. Untuk itu pada tahun 1909, beliau diberangkatkan oleh ayahnya ke Makkah untuk lebih memperdalam ilmu agamanya. Guru-guru beliau ketika di Makkah di antaranya yaitu:
1. Syekh Mahfudz Termas yang memiliki julukan Al-Turmusi terutama dalam keilmuan hukum, tasawuf dan ushul fiqh.
2. Kiai Muchtarom Banyumas dalam mempelajari kitab Fathul Wahab.
3. Syekh Sa’id Al-Yamani dan Syekh Ahmad bin Bakry Syatha dalam keilmuan Nahwu.
4. Syekh Ahmad Khatib Minangkabau pada waktu itu menjadi Mufti Syafi’i di Makkah.
5. Kemudian kepada Kiai Baqir yang berasal dari Yogya, beliau belajar mengenai ilmu mantik (logika).
6. Kiai Asy’ari yang berasal dari Bawean, beliau memperdalam ilmu hisab.
7. Syekh Abdul Karim Ad-Daghestani untuk menyelesaikan kitab Tuhfah.
8. Syekh Abdul Hamid yang berasal dari Kudus, beliau belajar mengenai ‘Arudh dan ma’ani.
9. Syekh Umar Bajened untuk memperdalam ilmu fiqh.
Kiai Wahab Hasbullah juga menyukai kehidupan berorganisasi. Beliau mendirikan organisasi Serikat Islam (SI) di Makkah tahun 1914. Dalam mendirikan Serikat Islam, beliau dibantu oleh Kiai Asnawi dari Kudus, Kiai Abbas dari Jember dan Kiai Dahlan dari Kertosono. Setelah 5 tahun belajar di Makkah, pada tahun 1914 Kiai Wahab Hasbullah kembali ke Indonesia ketika beliau berusia 27 tahun. Dan pada usia 27 tahun, beliau sudah menguasai berbagai ilmu keagamaan diantaranya: Ilmu Tafsir, Hadis, Fikih, Akidah, Tasawuf, Nahwu Saraf, Ma’ani, Mantiq, ‘Arudl dan Ilmu Hadlarah, Sejarah Islam, Diskusi dan Retorika.
Pada tahun 1914, ketika usia beliau 27 tahun Kiai Wahab Hasbullah menikah dengan Nyai Maimunah, putri dari Kiai Musa yang berasal dari Kartopen, Surabaya. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai dua orang anak yang pertama diberi nama Muhammad Wahib yang lahir pada tahun 1916 dan satu orang anak lagi yang meninggal di Makkah bersama ibunya pada tahun 1921.
Sepeninggal istri pertamanya, Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan Nyai Alawiyah anak dari Kiai Alwi, pada tahun 1922. Pernikahannya ini dikaruniai anak perempuan yang bernama Khadijah. Pada 1923 Nyai Alwiyah meninggal. Sepeninggal Nyai Alwiyah, Kiai Wahab Hasbullah memutuskan untuk menikah lagi dengan Nyai Rahimah, putri dari Kiai Abdul Syukur yang berasal dari Jombang. Tidak lama Nyai Rahimah pun meninggal dunia, dari pernikahannya ini Kiai Wahab Hasbullah tidak mempunyai anak.
Pada 1924-1925, Kiai Wahab Hasbullah menikah dengan Nyai Asnah, putri dari H. Said, pedagang di Peneleh, Surabaya. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai empat orang anak. Salah satunya bernama Muhammad Najib. Dengan istrinya, beliau pergi ke Makkah untuk urusan penting, yaitu mempertahankan institusi empat madzhab dan keempat makam imam-imamnya. Akan tetapi urusan tersebut tidak jadi dan sepulang dari Makkah, istrinya meninggal dunia.
Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan putri dari H. Burhan, yang bernama Nyai Fatimah. Nyai Fatimah berstatus janda dan mempunyai anak dari suami pertamanya yang bernama Ahmad Syaikhu. Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan anak dari H. Ali Mojokerto, yang bernama Nyai Fatimah. Tidak lama kemudian Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan Nyai Askanah, putri dari Kiai Moh. Idris. Di pernikahannya ini, tidak mempunyai anak dan tidak berlangsung lama karena Nyai Askanah meninggal dunia.
Kemudian, Kiai Wahab Hasbullah menikahi Nyai Masmah, yaitu besan dari Nyai Askanah. Pernikahan ini berlangsung di Peneleh, Surabaya. Beliau mempunyai anak dari Nyai Masmah yang bernama Muhammad Adib. Pernikahan selanjutnya dengan Nyai Aslihah anak dari H. Abdul Majid, Bangil. Di pernikahan ini, beliau memiliki empat orang anak. Anaknya yang bernama Jam’iyatin dan Mu’tamarah. Pernikahannya tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1939 Nyai Aslihah meninggal dunia.
Selanjutnya Kiai Wahab Hasbullah menikah dengan Nyai Sa’diyah yaitu kakak dari Nyai Aslihah (istri sebelumnya). Di pernikahan ini beliau mempunyai lima orang anak yang bernama Mahfudzah, Hisbiyah, Munjidah, Muhammad Hasib dan Muhammad Rokib. Pada 1951, mereka pergi ke tanah suci untuk beribadah. Dari pernikahan-pernikahan yang dilakukan oleh Kiai Wahab Hasbullah, istri yang dinikahinya dilakukan secara monogami.
Selama Kiai Wahab Hasbullah menempuh pendidikan di Makkah selama 5 tahun dan sebelum kembali ke tanah air, pada 1914 beliau mendirikan Serikat Islam (SI) yang dibantu oleh Kiai Asnawi dari Kudus, Kiai Abbas dari Cirebon dan Kiai Dahlan dari Kertosono. Peran mereka dalam SI yaitu untuk menghadapi serangan kaum pembaharu atau Modernis terhadap para kiai tradisional di pesantren-pesantren.
Ketika Kiai Wahab Hasbullah kembali ke tanah air, beliau mulai melakukan pembaharuan pada pondok Tambakberas yang sudah didirikan oleh ayahnya, Kiai Hasbullah yaitu dengan mengganti sistem pendidikan halaqah menjadi cara tradisional agar lebih teratur dalam pembelajarannya. Dan dengan cara baru yang diterapkannya, pondok tersebut menjadi berkembang sangat pesat.
Seiring dengan metode baru yang diterapkan di Pesantren Tambakberas didirikan pula Madrasah Mubdil Fan (memperlihatkan sebuah disiplin keilmuan) pada 1915 oleh beliau. Bahkan pada 1916 beliau juga mendirikan sekolah Nahdlatul Wathan yang artinya Kebangkitan Tanah Air bersama Kiai Mas Mansur dan KH. Ridwan Abdullah.
Pada saat masih memimpin Nahdlatul Wathan, Kiai Wahab Hasbullah pada 1924 mendirikan organisasi pemuda yaitu Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), Ahlul Wathan (Pandu Tanah Air), dan Da’watus Syubban (Panggilan Pemuda) dan kemudian sesudah lahirnya NU, ketiganya diganti nama menjadi Nahdlatus Syubban (Kebangkitan Pemuda).
Keberadaan Nahdlatul Wathan yaitu sebagai penguat kesabaran terhadap hujatan-hujatan yang muncul dari kaum pembaharu atau reformis yang ingin memecah belah umat Islam atau hujatan dari pihak lainnya yang bertujuan untuk menghantam umat Islam, terutama dari kalangan tradisionalis Islam tersebut.
Pada 1918 didirikan Tashwirul Afkar yang artinya forum diskusi ulama pesantren. Atas kesepakatan dengan Kiai Ahmad Dahlan dan para kiai-kiai lainnya, beberapa tokoh Budi Utomo dan Perhimpunan Soeryo Soemirat seperti Raden Mangun dan Atmorejo, Kiai Wahab Hasbullah kemudian menjadikan Tashwirul Afkar secara resmi berbadan hukum. Dari sini Tashwirul Afkar yang di bawah pimpinan Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Wahab Hasbullah mengganti nama dengan “Soeryo Soemirat Afdeling Taswirul Afkar” (Perhimpunan Soerya Soemirat cabang Taswirul Afkar). Tujuan didirikannya Taswirul Afkar adalah agar kaum Tradisionalis dapat mencurahkan isi hatinya atas argumen kaum Modernis terhadapnya, dan meluruskan argumen atau hujatan tersebut serta mempertegas pemikiran terhadap bangsa yang terpusat pada satu arah.
Atas persetujuan Kyai Hasyim Asy’ari akhirnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar pada 1918 yang artinya Kebangkitan Pedagang. Tujuannya memperbaiki dan membangun sektor ekonomi di kalangan kaum Tradisionalis sekitar Surabaya, Jombang, Jawa Timur dan membentuk suatu badan usaha seperti koperasi. Mereka-mereka yang berunding untuk mendirikan Nahdlatut Tujjar antara lain, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri dan para pedagang-pedagang yang sepakat dengan gagasan Kiai Wahab Hasbullah.
Alasan utama kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) di masa-masa awal adalah karena adanya Komite Hijaz. Dan proses lahirnya NU melalui persiapan panjang, karena sebenarnya Kiai Wahab Hasbullah telah mempersiapkannya bertahun-tahun, sambil menunggu kesiapan KH. Hasyim Asy’ari berkenan menjadi Rais Akbar. Komite Hijaz lahir karena adanya berita yang datang dari negeri Mesir tentang adanya Kongres Khilafah untuk mempertahankan khalifah di Turki yang kalah dalam perang Dunia I. Kabar adanya Kongres Khilafah menjadikan para ulama Nusantara bersiap-siap menghadiri kegiatan tersebut. Utusan yang dipilih untuk menghadiri Kongres Khilafah ternyata meniadakan wakil dari para ulama pesantren. Sehingga para ulama pesantren yang saat itu berada dalam organisasi Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatul Tujjar membentuk sendiri organisasi perwakilan yang diberi nama Komite Hijaz.
Peran Kiai Abdul Wahab dalam pembentukan Komite Hijaz adalah sebagai penggerak terbentuknya Komite Hijaz, mulai dari menggagas pertemuan para kiai Jawa Timur hingga mengawal komite ini melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya.
Berdasarkan pertemuan para kiai yang diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H – 31 Januari 1926, menghasilkan keputusan penting yaitu:
1. Mengirim delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekah untuk memperjuangkan kepada raja Ibnu Sa’ud agar hukum-hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya.
2. Membentuk suatu Jam’iyyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) yang bertujuan menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan salah satu dari empat madzhab : Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Jam’iyyah ini disusun dengan kepengurusan Syuriah dan Tanfidziyah.
Kiai Wahab Hasbullah telah memikirkan dan merintis organisasi NU sejak sepuluh tahun sebelum NU secara resmi berdiri. Yaitu sejak tahun 1916, Kiai Wahab Hasbullah telah mempersiapkan langkah-langkah mendirikan NU. Dengan demikian, pendirian Nahdlatul Wathan tahun 1916 merupakan upaya nyata Kiai Wahab Hasbullah mewujudkan cita-citanya. Proses kelahiran NU, pada masa-masa awal berjalan cukup sulit, karena Kiai Hasyim Asy’ari sebagai sesepuh para kiai di Jawa dan telah disiapkan untuk menjadi pimpinan utama ternyata tidak langsung menerima tawaran tersebut. Baru setelah Syekh Kholil, sang guru Kiai Hasyim Asy’ari ikut andil meyakinkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, maka beliau berkenan menerima kepemimpinan di NU.
Kiai Wahab Hasbullah bukanlah seperti kiai yang lain, yang banyak menciptakan karya yang tertulis. Salah satu karyanya yaitu menciptakan syair berbahasa yang berjudul “Yaa Lal Wathan”. Syair tersebut dijadikan sebagai lagu oleh pondok Pesantren di Jawa Timur. Syair yang kemudian menjadi nyanyian tersebut dianggap sebagai salah satu karya Kiai Wahab Hasbullah yang nyata berupa tulisan, karena tidak ada karyanya yang lain selain itu.
Kiai Wahab Hasbullah wafat 4 hari setelah acara muktamar selesai. Saat muktamar NU yang ke-25 berlangsung, Kiai Wahab Hasbullah tidak lagi bisa melaksanakan pidato. Pembacaan pidato Rais Aam dibacakan oleh KH. Bisri Syansuri selaku wakil Kiai Wahab Hasbullah di dewan Syuriah. Setelah pidato pertanggungjawaban selesai dan hadirin menyatakan menerima, mendadak Kiai Wahab Hasbullah meminta pulang. Akhirnya saat itu pula mencari sopir lalu mengantar Kiai Wahab Hasbullah pulang.
Pada hari Rabu, 12 Dzulqa’dah 1391 H/ 29 Desember 1971 M. Kiai Wahab Hasbullah meninggal dunia empat hari setelah berlangsungnya Muktamar NU yang ke-25 di Surabaya. Duka mendalam atas meninggalnya beliau cepat tersebar luas sampai pada tingkat Nasional. Rasa kehilangan yang sangat mendalam dirasakan oleh warga NU maupun bangsa Indonesia. Dan pada tahun 2014, atas seluruh perjuangan yang dilakukan semasa hidup beliau, Presiden Joko Widodo memberikan gelar Pahlawan Nasional Indonesia atas peran beliau dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Referensi :
Anam, Chairil. 2017. KH. Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya. Surabaya: PT. Duta Aksara Mulia
Aziz, Munawir. 2016. Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional. Tangerang: Pustaka Compass
Rifai, Muhammad. 2014. KH. Wahab Hasbullah: Biografi Singkat 1881-1971. Jogjakarta: Garasi House Of Book
Suprapto, Bibit. 2010. Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia
Zuhri, Saifuddin. 2010. Mbah Wahab Hasbullah: Kiai Nasional Pendiri NU. Yogyakarta: Pustaka Pesantren
Zuhri, Saiduddin. 1982. Kaleidoskop Politik di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung
Kontributor: Dian Uly Nadroh, Semester VIII