Sejarah telah mencatat kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, namun masih banyak penduduk Indonesia yang belum mengetahui sejarah dan perjuangan pra-kemerdekaan, terutama bagaimana proses pembangunan ideologi dasar Negara yaitu Pancasila.
Dalam buku Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia karya Bahtiar Effendy, dijelaskan bahwa menjelang kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, pemerintah Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 7 September 1944. Sebagai realisasi janji tersebut, dibentuklah BPUPKI yang memulai sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945. Dalam sidang pertama BPUPKI bertujuan memusyawarahkan dasar negara dan bentuk pemerintahan Indonesia.
Dari persidangan badan yang beranggotakan 62 orang ini, ada dua kelompok yang berbeda pandangan, yaitu kelompok pertama menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi sebuah negara Islam, dalam artian Islam harus menjadi dasar ideologis negara. Sedangkan kelompok kedua, sebagaimana tampak dalam pernyataan Hatta dan Supomo yang mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional, yang mana masalah-masalah negara harus dipisahkan dari masalah-masalah agama.
Alih-alih mendasarkan argumen mereka, pada kenyataan bahwa Islam tidak memiliki pandangan yang tegas dan utuh mengenai hubungan agama-negara (lagi-lagi sebuah pemahaman teologis yang secara tidak langsung diambil dari al-Islam wa Ushul al-Hukm karya Ali ‘Abd al-Razik), para pemimpin kelompok nasionalis ini mengingatkan mitra-mitranya dari kelompok Islam bahwa Indonesia jika dilihat dari agama yang dianut para pendukungnya bukanlah negara yang homogen.
Selanjutnya, untuk memperkokoh gagasan mengenai sebuah negara yang sudah di-dekonfessionalisasi yang merupakan konsep untuk memperluas penerimaan gagasan ini, Soekarno mengusulkan “lima prinsip pokok”, yang dikenal sebagai Pancasila, untuk diterima sebagai philosophische grondslag (landasan filosofis) negara. Sebagaimana dipahami Soekarno, pandangan dunia ideologis itu mencakup prinsip-prinsip seperti (dalam urutan awalnya) : kebangsaan (nasionalisme); internasionalisme atau perikemanusiaan, musyawarah atau demokrasi; kesejahteraan sosial; dan Ketuhanan.
Untuk menjembatani berbagai perbedaan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis, sebuah panitia kecil kemudian dibentuk. Panitia itu beranggotakan sembilan orang, yaitu: Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, A. Wahid Hasjim, dan A.A. Maramis.[1] Panitia kecil inilah yang menyusun kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam ini mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan, sila ketuhanannya dilengkapi menjadi “percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Kemudian tampak bahwa modus vivendi (persetujuan sementara antara kedua belah pihak), ideologis ini jauh lebih sulit dijajakan ketimbang perumusannya. Kelompok Islam mempertahankan posisi mereka dengan menyatakan bahwa rumusan itu tidak cukup kuat untuk menempatkan negara dalam posisi yang tidak seimbang di bawah Islam. Untuk alasan itu Wahid Hasjim menegaskan bahwa hanya orang-orang Islam yang dapat dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden negara ini. Kemudian dalam buku The Struggle of Islam in Modern Indonesia karya B.J Boland disebutkan bahwa Wahid Hasyim juga menegaskan bahwa Islam harus diterima sebagai agama negara. Seraya mendorong lebih kuat diterimanya gagasan negara Islam, Ki Bagus Hadikusumo menuntut agar sila ketuhanan berbunyi “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam,” tanpa prasyarat bahwa keharusan itu hanya berlaku bagi kaum Muslim.
Sebaliknya, kelompok nasionalis terutama mereka yang tidak memiliki asal-usul Islam menolak kompromi tersebut. Khawatir akan sikap diskriminatif atas agama-agama lain (menurut pendapat Latuharhary) dan tumbuhnya fanatisme keagamaan (menurut pendapat Djajadiningrat dan Wongsonegoro), mereka menuntut agar negara harus didekonfessionalisasi.
Perdebatan-perdebatan tersebut baru mulai mereda ketika Soekarno menyerukan kepada kedua belah pihak agar bersedia berkorban. Kemudian BPUPKI bersepakat bahwa masa depan Indonesia merdeka akan didasarkan kepada sila “percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Selain itu, mereka juga menerima Islam menjadi agama negara, dan bahwa presiden RI harus seorang Muslim.
Pada 18 Agustus 1945, piagam Jakarta kembali dipersoalkan. Seorang pejabat angkatan laut Jepang datang ke Hatta dan melaporkan bahwa orang-orang Kristen (yang sebagian besar berdomisili di wilayah timur Nusantara) tidak akan bergabung dengan RI kecuali jika beberapa unsur dari piagam Jakarta (yakni kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Islam sebagai agama negara, dan persyaratan bahwa presiden harus seorang Muslim) dihapuskan.
Karena itu, para pendiri republik ini dipaksa untuk kembali memodifikasi dasar ideologis dan konstitusional negara. Dalam upaya ini, Hatta menyarankan agar dibuat penyesuaian-penyesuaian tertentu untuk menjamin kesatuan negara Indonesia. Dan karena didorong oleh desakan Hatta, kelompok Islam (diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hassan), bersepakat untuk menghapus unsur-unsur legalistik/formalistik Islam, terutama pencabutan butir-butir mengenai Islam sebagai agama resmi negara, pernyataan bahwa Presiden harus seorang Muslim dan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sementara itu, unsur teologi monoteistik (kepercayaan bahwa Tuhan adalah satu/tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu) dimasukkan ke dalam sila pertama dalam Pancasila. Dengan demikian, sila pertama percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya diubah menjadi berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
[1] Delapan anggota yang pertama disebut adalah Muslim dengan pandangan politik berbeda. Empat yang pertama berasal dari kelompok nasionalis, sedang empat yang terakhir dari kelompok Islam. Maramis adalah seorang Kristen yang pandangan ideologisnya sama dengan kelompok Nasionalis.
Diambil dari berbagai sumber
Oleh : Ihwanuddin, Semester V