Seteguk telah tertelan.
Secangkir kurang masih di hadapan.
Rasanya masih terasa,
pahitnya belum berubah rasa.
Baru sekali aku menelan,
terbatuk-batuk,
tersedak-sedak,
sudah mengeluh barang berulangkali,
terucap tak akan mau lagi.
Sedang engkau tak bosan-bosan,
menuangkannya setiap pagi sarapan.
“Pahit itu maya,” ujarmu.
Rasa ini terlalu nyata, buatku.
Lalu kembali tertuang petuah dan wejangan disanding kopi pahitmu.
Engkau telah dan terus berjuang,
sedang aku masih saja mengerang,
mempersiapkan parang,
berlatih menabuh genderang.
Kasih dan patuh kuhaturkan selalu,
atas segala ilmu dan jurus kopi pahitmu.
Kedoya, 04 Februari 2018 – El Faza