Menyelami Peradaban Keilmuan Islam

Menyelami Peradaban Keilmuan Islam

Apa yang harus kita lakukan ketika pertama kali belajar sejarah? Bagaimana seharusnya kita mendalami ilmu sejarah? Dr. Nasrullah Jasam mengatakan dalam Studium General di Ma’had Aly Jakarta, jika seseorang ingin paham tentang sejarah, maka terlebih dahulu harus meluruskan alur sejarahnya. Begitu memprihatinkan melihat kenyataan bahwa, banyak lembaga pendidikan di Indonesia lebih memilih berpedoman pada alur sejarah dari ilmuwan Barat, yang mengatakan bahwa dalam peradaban sejarah terdapat masa kegelapan yaitu sekitar abad 5 hingga 15 Masehi. Mereka katakan zaman tersebut ialah suatu zaman yang tidak terdapat ilmu, sastra, hingga tiadanya peradaban dalam kehidupan. Padahal, dalam jangka waktu seribu tahun lamanya, banyak lahir ulama-ulama hebat yang berkontribusi dalam sejarah ilmu pengetahuan, kurang lebih pada abad 9 hingga 13 Masehi.

Teori sejarah Barat seolah-olah menyamarkan bahkan nyaris menghilangkan jejak para ulama Islam yang ahli di bidang-bidang tertentu, yang hingga kini cabang ilmu tersebut terus berkembang. Misalnya, Ibnu Sina atau yang mereka kenal dengan nama Avicenna. Ulama kebanggaan Islam yang satu ini terkenal akan penguasannya yang mumpuni terhadap filsafat Aristoteles dan Neo Platonis. Al-Kindi menerjemahkan buku Filsafat karya Aristoteles Metaphysica, Poetica and Hemeneutica yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, serta para filsafat Islam yang lain ikut mengomentari bahkan memperbaiki yang sebelumnya tak pernah ada di Yunani. Sebagaimana kita ketahui bahwa Yunani merupakan satu-satunya peradaban yang mencetuskan pengukuran murni nilai baik dan buruk dengan akal rasio manusia. Jadi dapat dikatakan bahwa ada pengaruh pemikiran asing dalam filsafat Islam, namun filsafat Islam sesungguhnya lebih unggul dari pemikiran asing tersebut.

Tak heran banyak siswa hingga mahasiswa jarang mengenal ilmuwan abad pertengahan yang kebanyakan adalah ilmuwan Islam. Para siswa lebih mengenal Aristoteles ahli Filsafat Yunani, Archimedes ahli matematika, Galileo si ahli fisika, Robert Boyle si ahli kimia, Michael Faraday si ahli listrik, dibandingkan Ibnu Nafis ahli fisika dari Kairo, Jabir bin Hayyan ahli kimia dari Kufah, al-Khawarizmi ahli matematika, ar-Razi & Ibnu Sina ahli kedokteran dan lainnya. Di manakah mereka? Padahal karya ilmuwan Islam masa itu menjadi pionir munculnya masa kebangkitan di dunia Barat.

Beberapa ulama Islam yang justru lebih dahulu bersinar di masa yang mereka katakan ‘the dark age’, di antaranya: Ar-Razi, ahli ilmu kedokteran yang diakui ilmuwan Barat, karyanya berjudl Al-Hawi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi buku pedoman wajib kampus-kampus di Eropa; Ibnu Sina, seorang dokter dengan berbagai penemuannya yang hingga kini terus dikembangkan, karyanya Al Qanun fi at Tib menjadi referensi utama dalam kajian kedokteran di berbagai kampus Eropa hingga abad 17 M. Ia-lah yang menemukan obat bius untuk k eperluan operasi, injeksi, hubungan penyakit fisik dengan psikis dan lain sebagainya. Dari Persia, Islam memiliki al-Kindi sebagai seorang ahli filsafat yang karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang juga menjadi buku panduan para orientalis; ada al-Farabi yang diberi gelar ‘guru kedua’ sebab keseriusannya dalam menggali karya Aristoteles. al-Ghazali yang karyanya meliputi filsafat, ilmu kalam, tasawwuf, ilmu jiwa, akhlak dan sebagainya. Ibnu Rusyd sebagai seorang dokter, ahli filsafat, ahli fikih sekaligus qadhi al qudhat (hakim agung) masa itu. Ada pula Ibnu Arabi yang hasil pemikirannya banyak memengaruhi para sarjana dan pemikir di Timur dan Barat. Juga Ibnu Zuhr sang penulis buku The Method of Preparing Medicines and Diet, karyanya yang memengaruhi bidang kedokteran Eropa, kesemuanya itu merupakan ulama hebat masa sebelum Rennaissance.

Satu pesan dari Dr. Nasrullah yang dapat dijadikan sebagai sebuah motivasi ialah, tidak boleh menolak mentah-mentah untuk meniru segala yang baik dari negara lain. Kita melihat peradaban Islam di Barat, namun tak terlihat ada kaum muslimnya. Sedangkan saat melihat banyak kaum muslim di Timur Tengah, namun tak lihat peradaban Islam di dalamnya. Itulah peradaban, selalu berputar bagai roda. Dalam sejarahnya, bagian roda tersebut pasti mengalami keadaan di bawah (kemunduran), suatu saat akan bertempat di atas (kejayaan). Ratusan tahun yang lalu Yunani boleh berbangga diri dengan kejayaannya, kontribusinya dan pengaruhnya terhadap bangsa lain, namun seberapa lama kejayaan itu bertahan?

Pada akhirnya, kita diharuskan untuk lebih menegakkan bangunan pemikiran, kebudayaan, jati diri, hingga peradaban kita. Jika dahulu peranan Islam dan para ilmuwannya menjadi inspirasi tersendiri untuk kebangkitan bangsa Eropa, apakah kini sebaliknya kita terpancing ingin mengikuti atas kemajuan bangsa Eropa? Seharusnya begitu. Kita tidak boleh malas, rendah diri, bahkan antipati untuk meniru dan mencontoh keberhasilan bangsa lain. (Lyda, bersumber dari makalah Islam dan Ilmu Pengetahuan karya Dr. Nasrullah Jasam dalam Studium General Ma’had Aly Jakarta)

Leave a Reply