Allah Tidak Bertempat dan Tidak Dilalui oleh Perputaran Zaman

Allah Tidak Bertempat dan Tidak Dilalui oleh Perputaran Zaman

Datang Orang Yahudi kepada Nabi Muhammad dan berkata, “Wahai Muhammad, sebutkanlah sifat Tuhanmu, sehingga kamu menyuruh kita untuk menyembahnya.” Turunlah surat Al-Ikhlas قل هوالله احد : Allah itu tunggal tidak ada sekutu baginya, tidak ada yang kedua, tidak ada yang patut disembah selainnya. الله الصمد : Allah swt. tidak butuh apapun dari makhluknya, dan segala sesuatu membutuhkan Allah karena Allah Maha Kaya dan tidak butuh apapun. لم يلدولم يولد : Allah swt. adalah asal dari segala sesuatu dan bukan cabang dari sesuatu yang lain. Dia Tidak beranak dan tidak memiliki bapak, ibu maupun keluarga, karena Allah tidak seperti makhluk, baik jism atau hajma akan tetapi Dialah sang pencipta. ولم يكن له كفوااحد : tidak ada yang serupa atau yang sepadan denganNya. Rasulullah saw. berkata kepada mereka inilah sifat-sifat Tuhanku. Inilah Akidah Rasulullah saw. dan para sahabatnya.

Landasan akidah yakni dengan akal bukan perasangka, karena akallah yang menyaksikan kebenarannya agama. Perasangka tidak bisa membayangkan tanpa tempat, adapun akal mengetahui bahwa tempat itu makhluk, begitulah Allah sang pencipta yang tidak bertempat. Karena sesunguhnya Allah sebelum menciptakan tempat, Dia telah ada tanpa tempat. Begitupun setelah menciptakan tempat, Allah tidak berubah yakni tidak butuh tempat. Inilah landasannya dari akal:

  كماصحوجودالله قبل خلق مكان بلامكان وكذالك يصح وجوده بعدخلق مكان بلامكان

Dari pembesar imam ahli sunnah wal jamaah, Imam Abu Mansur Al-Baghdadiyah dalam kitabnya الفقه بين الفراق beliau menyebutkan kelompok-kelompok yang tersesat kemudian di akhir kitabnya beliau menyebutkan tentang akidah ahli sunnah wal jamaah.

قال الامام ابومنصرالبغدادي في الفقه بين الفراق واجمغواعلى انه لايحويه مكان ولايجري عليه زمان

Ahli sunnah bersepakat bawa sesungguhnya Allah tidak memiliki tempat dan tidak dilalui oleh perputaran zaman. Maka orang yang beranggapan bahwa Allah berada di suatu arah atau berada duduk di atas Arasy adalah akidahnya orang Yahudi.

Dikatakan oleh Imam Abu Hanifah ra. dalam kitabnya Al-Fiqhul Akbar

من قال لااعرف ربى افي السماء ام في الارض فهوكافر وكذامن قال انه على العرش ولاادري العرش افي السماء او في الارض

Jadi, menurut Imam Abu Hanifah orang yang tidak mengenal Tuhannya atau beranggapan bahwa Allah memiliki tempat di atas Arasy maka ia kafir, karena ia beranggapan bahwa Allah memiliki tempat padahal Allah tidak memiliki tempat. Adapun hakikatnya ketika berdo’a mengangkat tangan ke langit karena langit adalah tempat para malaikat memohonkan ampun untuk kita semua, sebagai tempat turunnya rahmat, keberkahan, serta merupakan kiblatnya berdoa, bukan Karena Allah ada di langit atau di atas Arasy. Arasy adalah makhluk Allah yang paling besar seperti halnya yang dikatakan oleh Imam Ali ra.

قال على رضي الله عنه ان الله خلق العرش اظهار للقدرة ولم يتخده مكانالذاة و وقال على رضي الله عنه من زعم ان الهنامحدودفقد جهل الخالق المعبود

(روه حفظ ابونعم)

(pent:محدود= sesuatu yang memiliki ukuran)

Begitu juga ketika shalat menghadap ka’bah, karena ka’bah dijadikan kiblatnya shalat dan tempat yang dimulyakan dan diagungkan Allah, bukan karena Allah ada di langit atau di dalam ka’bah.

Iman Syafi’I ra. berkata:

انه تعالى كان ولامكان فخلق المكان وهوعلى صفة الازلية كماكان قبل خلقه المكان لايجورعليه تغيرفي ذاته ولاالتبطل في صفاته

Maksud dalam perkataan ini ialah, Allah Maha Mengetahui dan Maha Menguasai alam semesta. Seperti yang disebutkan juga oleh Iman Ghazali “المعبود لاتصح العبادة الابعدمعرفة”, jadi Allah bukan berada di setiap tempat akan tetapi Allah Maha mengetahui segala sesuatu, sebagaimana dalam firman Allah وهومعكم اينماكنتم.

Disebutkan pula di dalam al-Qur’an ولله مافي السماواة ومافي الارض وكان الله بكل شيئ محيطا maksudnya bukan dinisbatkan pada tempat, akan tetapi maksud ayat tersebut adalah segala sesuatu yang terjadi Allah mengetahuinya. Begitu juga lafadz علوم yang ketika ditujukan kepada Allah bukan bermakna “Allah itu tinggi dengan tempat”, tetapi “Allah Maha Tinggi derajatnya.” Dan lafadz الله اكبر, maknanya Allah Maha Besar derajatnya. Begitu pula lafadz فوق jika ditujukan kepada Allah, maka maknanya bukan arah (timur, barat, atas, bawah, samping kanan dan samping kiri), melainkan bermakna “ketinggian derajat.” Sebagaimana pada kalimat وهو القاهرفوق العباده makannya bukan arah tempat, tetapi seperti yang dikatakan oleh Imam An-Nasafi, kata فوق bermakna kekuasaan Allah. Begitu juga firman Allah يخافون ربهم من فوقهم “Mereka takut Allah menurunkan azab dari atas mereka,” yakni, bukan bermakna Allah berada di arah atas. Maka sifati lah Allah dengan paling benarnya sifatNya.

Leave a Reply