KETIKA MASYARAKAT MAKKAH KLASIK MERAYAKAN RAJABAN

KETIKA MASYARAKAT MAKKAH KLASIK MERAYAKAN RAJABAN

MAHADALYJAKARTA.COM –  Bulan Rajab merupakan salah satu bulan istimewa bagi umat Islam. Bulan Rajab disebut juga sebagai bulan haram, yakni bulan yang dimuliakan. Bulan ini disejajarkan dengan lima bulan haram lainnya dalam suatu ayat Qur’an, yaitu Ramadhan, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Sinyal ini tentu saja membuat umat Islam meyakini bahwa amalan yang dikerjakan di bulan ini pasti memiliki kelebihan dan kebaikan berlebih dibanding bulan biasanya. Karenanya, banyak muslimin yang menandainya dengan berbagai perayaan dan tradisi.

Makkah sebagai sebuah kota suci umat Islam rupanya juga memiliki tradisi klasik memperingati hadirnya bulan Rajab. Walau disadari mungkin kini tidak banyak ditemui kembali tradisi berikut, namun fenomena yang pernah dilakukan di kota suci ini merupakan sepenggal potret unik kehidupan asli masyarakat Makkah di tengah gempuran faham yang berseberangan.

Tradisi Rajaban masyarakat Makkah Klasik dimaksud dicatat oleh Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutah/Ibnu Batuthah, seorang pelancong muslim terkenal. Dalam korespondensinya kisaran abad 14, Ibnu Batuthah menuliskan, tatkala bulan Rajab sudah terlihat, maka semua warga kota Makkah menyambutnya bak hari raya;

“Saat hilal bulan Rajab telah tampak, Amir (pemimpin wilayah, red) memerintahkan agar dibunyikan bedug dan terompet untuk menandai datangnya bulan. Ia keluar pada hari pertama dengan mengendarai kuda diikuti oleh segenap rakyat, baik dengan berjalan kaki atau naik kuda. Mereka melakukan arak-arakan ini dengan sangat tertib. Mereka semua membawa senjata dan memainkannya dengan tangan mereka. Para penunggang kuda kadang memacu kuda dengan cepat, dan kadang pelan. Para pejalan kaki melompat-lompat dan mengacung-acungkan senjatanya ke udara.” (Kitab Rihlah Ibnu Batuthah, hal: 175)

Tidak hanya mengingatkan seluruh warga kota, Amir juga membawa seluruh keluarganya untuk meramaikan pawai menyambut bulan Rajab/Rajaban tersebut;

“Amir Ramitsah dan Amir Athifah diiringi anak-anak dan pengawal mereka, di antaranya Muhammad bin Ibrahim, Ali dan Ahmad bin Shabih, Ali bin Yusuf, Saddad bin Umar, Amir Asy-Syarq, Manshur bin Umar, Musa Al-Mazraq, serta anak-anak Hasan. Mereka membawa panji-panji kebesaran, kendang, dan rebana. Mereka tampak tenang dan berwibawa. Mereka terus berjalan hingga sampai di Miqat. Lalu mereka kembali lagi ke Masjidil Haram, dengan iring-iringan yang sangat tertib. Amir lalu melakukan thawaf (untuk Umroh, red.).

Beberapa tradisi lainnya selain menyambut dengan pawai, masyarakat kota Makkah juga menyemarakkannya dengan tradisi Umrah Rajab;

“Penduduk Makkah merayakan umrah Rajab dengan kegaitan meriah yang nyaris tidak ada tandingannya di tempat lain. Perayaan itu diselenggarakan siang-malam tanpa henti. Sepanjang waktu di bulan Rajab digunakan untuk memperbanyak ibadah, khususnya pada hari pertama, hari ke-15, dan hari ke-27. Mereka mempersiapkan itu semua beberapa hari menjelang datangnya bulan Rajab.” (Kitab Rihlah Ibnu Batuthah, hal: 176)

Kota Makkah pada bulan Rajab dihiasi oleh banyak pernak-pernik kota yang memukau. Pada bulan itu pula, tepatnya pada 27 Rajab, bisa dikatakan sebagai puncaknya bulan Rajab. Pada tanggal tersebut, akan didapati banyak pemandangan yang begitu indah.

“Aku menyaksikan pemandangan di malam ke-27 (Rajab), jalan-jalan di Makkah disesaki dengan haudaj (semacam kereta yang dipasang di atas punggung onta, pada saat itu, hanya boleh diisi oleh orang-orang tertentu) bertiraikan sutera dan dihiasi dengan pohon rami nan tinggi. Setiap orang merayakan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Unta-unta dihias dengan kain sutera. Kain penutup haudaj menjurai sampai ke tanah.”

Dalam lanjutannya, ia juga menggambarkan kemeriahannya;

“… dan sepanjang kiri-kanan jalan dihiasi dengan lampu-lampu yang menyala terang. Lilin-lilin dan aneka bentuk lampu dinyalakan di depan iring-iringan haudaj. Gunung-gunung memantulkan suara-suara yang melantunkan bacaan tahlil. Hati manusia menjadi tersentuh dan mata mengalirkan air matanya.”

“… Jalanan antara Shafa dan Marwah dipenuhi dengan aneka ragam lampu, sementara orang-orang menyusuri jalanan Shafa dan Marwah dengan menaiki haudajnya. Masjidil Haram dipenuhi juga dengan aneka ragam lampu.”

Ibnu Batuthah juga mencatat, bahwa seluruh peringatan Rajab itu semua begitu meriah dan diikuti oleh seluruh masyarakat kota;

“Tanggal satu Rajab bagi mereka bak hari raya. Mereka mengenakan pakaian terbaik yang mereka punya.”(//)

Kontributor : Sufyan Syafi’i

Leave a Reply