Kekhalifahan Turki Utsmani dan Diplomasi Kerajaan Aceh

Kekhalifahan Turki Utsmani dan Diplomasi Kerajaan Aceh

MAHADALYJAKARTA.COM ā€“ Wilayah Nusantara merupakan bangsa tua yang telah lama terhubung dengan dunia luas melalui aktivitas perdagangan dunia sejak masa lampau. Letaknya yang strategis karena dilalui jalur perdagangan yang menghubungkan dataran China dengan wilayah barat, sehingga memungkinkan bangsa ini banyak berinteraksi dengan beragam etnis, agama, dan budaya. Selat Malaka merupakan entrepot yang paling penting dalam jalur perdagangan internasional, sehingga keramaiannya menciptakan suasana kosmopolitan terutama pada masa kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dengan Palembang sebagai ibu kotanya.

Akan tetapi hubungan antar bangsa ini tidak berhenti pada lingkup perdagangan saja, namun juga merambah ke hubungan diplomatik yang lebih jauh lagi oleh kerajaan-kerjaan di Nusantara. Hingga sampailah memasuki pada abad ke 13, segala percaturan politik di Nusantara diwarnai oleh Islam. Kerajaan-kerajaan besar bermunculan; seperti Samudra Pasai, Kesultanan Ternate, Demak, Aceh, Banten, Cirebon dan Mataram. Dengan demikian, Islam tampak berwibawa dan dominan dalam kehidupan bermasyarakat Nusantara. Bahkan pada masa inilah terjadi konversi besar-besaran masyarakat Nusantara ke dalam agama Islam.

Islamisasi di Nusantara telah membawa pada hubungan yang lebih intensif antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dengan Wilayah Timur Tengah sebagai pionir sekaligus pusat dakwah Islam. Hubungan semakin berkembang ketika Kekhalifahan Turki Utsmani memegang kekuasaan pada abad 14. Kekuasaan Turki Utsmani ini tampil sebagai imperium besar baru, sehingga membuat para penguasa Islam di belahan dunia lain memusatkan perhatian kepadanya, tak terkecuali Nusantara.

Kemasyhuran Turki Utsmani sebagai penguasa Islam nomor satu di dunia sudah merebak di penjuru Nusantara, terutama wilayah Aceh, Sumatra dan Jawa. Adapun Aceh yang memiliki hubungan diplomatik paling kuat dengan penguasa Turki Utsmani. Hal ini didasari karena sebagai kerajaan besar dan metropolis Aceh sangat terbuka untuk memiliki hubungan diplomatik dengan berbagai bangsa yang hilir mudik di perairan Samudra Hindia. Melalui pergaulan itu, maka Aceh lebih mudah mengakses informasi dan melakukan komunikasi dengan bangsa lain mengenai dinamika dunia internasional, termasuk Turki Utsmani yang merupakan pemegang kekuasaan politik umat Islam dunia saat itu.

Sebelum membahas hubungan antara Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani secara lebih mendalam, perlu dipahami terlebih dahulu asas dan latar belakang bagaimana dua kekuasaan politik tersebut dapat menjalin hubungan. Sejak awal, para elite politik Kesultanan Aceh memang telah memiliki paradigma politik internasional. Pada masa pemerintahannya, Ali Mughayat Syah (berkuasa tahun 1511-1530), pendiri Kesultanan Aceh, telah berusaha membangun hubungan di bidang politik, ekonomi, budaya dan agama dengan wilayah-wilayah Islam lainnya di Timur dan Barat. Paradigma ini lalu dilanjutkan oleh para sultan penerusnya. Hal ini dapat dipahami sebagai upaya untuk membangun perserikatan kekuatan Islam internasional. Dengan sangat antusias, Aceh membangun persekutuan Pan-Islam dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya, baik Turki Utsmani, India, Johor, Jepara, Demak, dan Ternate.

Cara Pandang Masyarakat Nusantara Terhadap Turki

Dalam het Tijdschr. voor Ned. Ind. diberitakan bahwa Sultan Aceh yang bernama Sultan Moehammad Syah memiliki nenek moyang seorang Arab bernama Syaikh Djamal Al-Alam. Syaikh ini dikirim oleh Penguasa Turki dengan tugas menyebarkan agama Islam di Aceh yang pada waktu itu masih menganut agama Brahmana. Namun oleh Raja di Passir, Syaikh ini dijadikan sebagai anak dan diangkat sebagai calon penggantinya.

Tidak hanya Aceh, bahkan masyarakat Muslim Sumatera pada umumnya memandang Turki Utsmani dengan penuh ketakjuban. Memujanya, mengagungkannya, bahkan membi- carakannya dalam kisah-kisah penuh keanehan. Banyak kisah tercipta sebagai gambaran perasaan mereka terhadap Turki Utsmani. Dalam sebuah tambo disebutkan bahwa alam Minangkabau tercipta dari Nur Muhammad bersamaan dengan Benua Ruhum (secara harfiah, Benua Roma), yaitu Turki Utsmani sebagai penguasa di Barat dan Benua China sebagai penguasa di Timur.

Di kalangan masyarakat Gayo juga terdapat kisah tentang Turki Utsmani. Masyarakat Gayo, yang berkedudukan di pedalaman Sumatera Utara, memercayai bahwa putra Sultan Rum yang bernama Genali atau Kawe Tepat adalah nenek moyang mereka. Menurut mereka Genali adalah putra sulung Sultan Rum yang dikirim ke Sumatera dan dibesarkan oleh seorang nelayan, sedangkan putra bungsunya berada di Aceh.

Sebenarnya, dalam konteks kekuasaan, kisah-kisah semacam kali ini bukanlah sesuatu yang asing. Seorang raja sering menggunakan politik simbol untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya. Asal-usul seorang raja yang dikaitkan dengan sesuatu yang mistik atau sumber kekuatan yang besar, menjadi simbol kewenangan yang efektif untuk mendapatkan sikap tunduk dan taat dari rakyatnya. Tidak jarang raja mendeklarasikan dirinya sebagai wewakiling Pangeran Kang Ageng (wakil Tuhan Yang Mahabesar) atau menganggap dirinya sebagai titisan dewa.

Berarti, dalam hal ini para penguasa di Sumatera dan rakyatnya menganggap Turki Utsmani sebagai kekuasaan yang agung dan memiliki kekuatan besar. Sehingga, asal usul sejarah mereka banyak dinisbatkan dengan Turki Utsmani. Tentu hal ini juga berkaitan dengan adanya hubungan religi kultural antara penduduk Nusantara dengan wilayah Islam pendahulu. Selain itu, fenomena ini menjadi sebuah indikasi kuat adanya kesadaran politik luar negeri yang sudah terbangun di kalangan elite Nusantara pada masa itu

Citra dan wibawa Turki Utsmani semakin kuat di mata umat Islam dunia setelah Sultan Selim I (1512-1520) menyatakan dirinya sebagai Khalifah dan Khadimul Haramain (Pelayan Dua Tanah Suci). Dia mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifatullahi fi Thulil Ardhi wa ‘Ardhiha (Wakil Allah di Seluruh Muka Bumi) sejak tahun 1514. Runtuhnya Dinasti Mamluk, tunduknya Syam dan Mesir, serta bergabungnya Hijaz dan Yaman ke dalam kekuasaan Turki Utsmani menjadikan Sultan Selim I bertambah wibawanya sebagai Khalifah.

Meriam Wujud Diplomasi Aceh Dengan Turki Utsmani

Hingga hari ini, sebagian masyarakat Aceh-khususnya yang memiliki perhatian terhadap sejarah-masih menyimpan kesan yang kuat terhadap sebuah meriam yang bernama Lada Secupak. Meriam ini adalah pemberian Sultan Turki Utsmani untuk Kesultanan Aceh sebagai simbol hubungan di antara keduanya, sekaligus sebagai bantuan militer untuk menghadapi pasukan Portugis yang telah bercokol di Malaka. Namanya yang unik ini tidak terlepas dari kisah diplomasi utusan Aceh di Turki Utsmani hingga berhasil mendatangkannya sampai di Kesultanan Aceh.

Hadirnya meriam ini di Aceh merupakan buah dari diplomasi “segenggam lada” utusan Kesultanan Aceh yang dikirim ke Istanbul, tiba di sana pada tanggal 7 Januari 1566. Sang utusan bernama Husein Effendi. Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahhar mengutusnya untuk menemui Sultan Suleiman I dengan membawa berbagai macam komoditas yang dimaksudkan sebagai persembahan untuknya. Namun, saat itu Husein tidak berhasil menemui Sultan karena dia sedang memimpin pasukannya dalam pertempuran Szigetvar di Hungaria. Terpaksa Husein harus menunggu kepulangan Sultan Suleiman I dari pertempuran tersebut dalam waktu yang cukup lama.

Selama dua tahun Husein terus menunggu kepulangan Sultan Suleiman I. Persembahan yang pada awalnya dimaksudkan untuk diberikan kepada Sultan hanya tersisa sedikit karena digunakan untuk memenuhi kebutuhannya selama masa menunggu. Namun, rupanya Husein benar-benar tidak dapat bertemu dengan Sultan Suleiman I karena beliau justru meninggal dunia di Hungaria pada 6 September 1566, sebelum sempat kembali ke Istanbul. Menteri Besar, Sokollu Mehmed Pasha pada awalnya menyembunyikan kematian Sultan sampai Putra Mahkota, Sultan Selim II, naik takhta beberapa pekan kemudian.

Setelah Sultan Selim II resmi menjadi penguasa Turki Utsmani, Husein akhirnya dapat bertemu dengan Sultan Turki Utsmani yang baru itu dan menyampaikan maksudnya untuk memberikan surat dari Kesultanan Aceh beserta sebuah persembahan berupa segenggam lada (lada secupak) yang masih tersisa, Setelah mendengar dan membaca surat dari Sultan Aceh, Sultan Selim II memutuskan untuk mengabulkan permintaannya. Di antaranya adalah pengiriman meriam untuk memperkuat Aceh di bidang militer yang saat itu sedang berhadapan dengan Portugis di Malaka. Atas dasar peristiwa inilah meriam pemberian Turki Utsmani itu dikenal dengan nama Lada Secupak.

Empat abad lamanya meriam Lada Secupak berada di bawah perlindungan Kesultanan Aceh dan menjadi kebanggaan masyarakatnya. Hingga pada tahun 1874 terjadi invasi Belanda kedua ke Aceh yang menyebabkan Aceh mengalami banyak kekalahan. Saat itulah meriam Lada Secupak dan beberapa meriam lainnya diangkut oleh Belanda ke negerinya. Hingga saat ini meriam yang menjadi kebanggaan Kesultanan Aceh itu masih tersimpan di Museum Bronbeek, Belanda.

Referensi:

Herdiansyah, Deden. 2017. Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara. Yogyakarta: Pro-U Media.

Ash-Shalabi, Ali Muhammad. 2011. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniya. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Ozay, Mehmet. 2013. Kesultanan Aceh dan Turki, Antara Fakta dan Legenda. Aceh: Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki.

El-Ibrahimy, M Nur. 1993. Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Azra, Azyumardi. 2007. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Kuntowijoyo. 2004. Raja Priyayi dan Kawula. Yogyakarta: Ombak

Kontributor: Rangga Azaeda Dwi Fananta, Semester V

Leave a Reply