Penyebaran Islam di Suku Batak, Sumatera

Penyebaran Islam di Suku Batak, Sumatera

MAHADALYJAKARTA.COM – Munculnya agama Islam di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh persentuhan kebudayaan antara daerah Nusantara dengan negara yang membawa pengaruh Islam. Persentuhan kebudayaan ini terjadi sebagai salah satu akibat dari hubungan yang dilakukan antara orang-orang Islam dengan orang-orang yang ada di Nusantara. Sebab, daerah Nusantara merupakan jalur perdagangan strategis yang menghubungkan antara dua wilayah, yaitu Laut Tengah dan Cina. Hubungan perdagangan yang semakin lama semakin intensif menimbulkan pengaruh-pengaruh kebudayaan negara-negara itu dengan kebudayaan Arab, Persia, India dan Cina di Nusantara. Dengan kata lain, terjadilah proses akulturasi antara kebudayaan negara-negara itu dengan kebudayaan Nusantara.

Masuknya Islam ke wilayah Indonesia dibagi menjadi dua proses. Pertama: penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian menganutnya. Kedua: orang-orang asing Asia, seperti Arab, India dan Cina yang telah beragama Islam bertempat tinggal secara menetap di suatu wilayah Indonesia, melakukan perkawinan dengan penduduk asli dan mengikuti gaya hidup lokal yang sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu atau suku lainnya.

Dengan pernyataan pendapat Ibnu Batutah yang mengunjungi kerajaan Islam Samudra Pasai pada tahun 1345 Masehi, bahwa Islam di sana telah lama, sekitar kurang lebih dari 1abad. Penemuan sebuah batu nisan tertulis, wafat tahun 1297 M. Hal ini menjadi suatu bukti dengan teori yang dilakukan para sejarawan, mereka menyebutkan bahwa makam tersebut merupakan sebuah makam seorang sultan yang bernama Malik As-Saleh pendiri kerajaan Samudera Pasai. Maka hal ini menjadi bukti nyata bahwa Islam telah masuk dan berkembang di daerah Aceh pada abad ke-12 M.

Demikianlah sejarah singkat masuknya Islam di Pulau Sumatera. Seterusnya akan membahas lebih dalam lagi tentang awal mula masuknya Islam di tanah Batak. Ketika seseorang mendengar dan bercerita tentang Batak, maka ia akan masuk kepada beberapa  distrik suku yang ada. Seperti Angkola, Padang Bolak, Mandailing, Toba, Silindung dan Singkil. Demikianlah suku bangsa yang telah dicantumkan dalam buku Batak menurut William Marsden “The History of Sumatera” yang di terjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Bangsa batak, menurut pendapat William Marsden, suku ini paling pantas disebut sebagai penduduk asli pulau Sumatra. Dengan gambaran yang ia perkirakan, bahwa letak negeri Batak sepenuhnya terletak di Sumatera Utara yang berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat dan sampai ke provinsi Riau dan Singkil di sebelah barat, begitu pula Air Bangis yang berbatasan dengan provinsi Nanggroe Aceh. 

Setiap suku memiliki adat dan norma yang berbeda-beda. Meski demikian keberagaman tersebut tidak membuat bangsa terpecah belah, sebaliknya keberagaman kemudian menyatu untuk mencapai  tujuan masyarakat yang adil dan makmur. Begitu juga dengan suku-suku yang ada di tanah Batak yang terdiri dari beberapa suku. Dalam buku History of Sumatera, bahwa ada enam sub-suku Batak yang tercatat di dalamnya yaitu suku Angkola, Padang Bolak, Mandailing, Toba, Silindung dan Singgkil.

Sebelum Islam memasuki tanah Batak terutama ke tanah Mandailing, daerah ini ternyata memiliki sebuah kerajaan-kerajaan kecil yang tercatat masih baru berdiri. Tercatat dalam sebuah naskah Jawa yang bernama Pararaton pada tahun 1336 M. Dalam naskah  disebutkan, bahwa ada 5 kerajaan penting yang didapati di Sumatera (Batak), salah satunya adalah kerajaan Aru, berdiri pada tahun 1295 Masehi. Pada abad ke-13 sampai 15 Masehi, kerajaan ini diyakini telah mempengaruhi kawasan Mandailing pada saat itu. Dan kerajaan-kerajaan ini merupakan kekuasaan kerajaan Samudera Pasai (Aceh) serta merupakan sejarah awal islamnya suku-suku yang ada di tanah Batak terutama di Mandailing dan Tapanuli.

Mengenai bagaimana sejarah masuknya Islam di Tanah Batak, maka sedemikian itu dapat diungkapkan bahwa datangnya berasal dari Barus, kota pelabuhan tua di pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah. Ketika Islam belum dikenal oleh Masyarakat Batak, dulu mereka dikenal telah menganut agama Parmalim dan Animisme. Kota Barus merupakan tempat perdagangan saudagar dari Yaman dan India. Maka demikian boleh dikatakan, Barus menjadi pintu masuknya Islam. Akan tetapi, keislaman Barus sayangnya hanya tersebar disana dan sekitarnya.  Hal demikian terjadi adanya faktor yang menghalanginya. Untuk mengetahui keislaman tanah Batak, sejarah menyebutkan bahwa ada beberapa gelombang dalam penyebarannya. Pertama kalinya disebutkan, bahwa datangnya sekitar tahun 1816 Masehi atau 1233 Hijriyah. Pada gelombang berikutnya disambung oleh kerajaan Aceh dan perang Padri. Sejarah telah mengakui atas keislaman Mandailing dan Tapanuli yang mayoritas pada umumnya telah memeluk agama Islam.

Setelah kerajaan Malaka yang bertahan selama 100 tahun itu runtuh yang dikuasai kerajaan Majapahit pada tahun 1511 Masehi sehingga harus keluar dan diusir dari kekuasaannya. Maka kerajaannya pindah ke Kampar yang sebelumnya telah menetap disalah satu perkampungan bernama Pidi. Pada akhirnya, kerajaan tersebut kembali lagi ke Sumatera menetap di sana dan sekarang dikenal dengan nama Aceh Raya. Adapun penyiar Islam pertama di tanah Batak ialah Guru Kinayan yang dibantu oleh sultan Iskandar Muda yang ikut menyebarkan agama Islam di sana.

Sultan Iskandar Mudah yang biasa dijuluki sebagai raja kecil yang telah berhasil menguasai dan mensyiarkan agama ke berbagai daerah. Dalam sebuah buku karya Buya Hamka berjudul “Sejarah Islam di Sumatera”, tertulis di dalamnya bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim juga pernah berguru di Samudera Pasai. Ketika Iskandar Muda telah sah jadi seorang raja, maka ia pun meluaskan kekuasaannya hingga ke berbagai daerah. Diantara kekuasaannya, ia dapat menaklukkan berbagai kerajaan yang ada di tanah Batak. Seperti Deli, Serdang, Kota Pinang, Bilah, Pane dan daerah lainnya. Pada akhirnya, Islam telah dikenal masyarakat secara global dan mulailah berbagai suku berbondong-bondong masuk Islam. Dan misi dakwah ini berlanjut turun temurun yang diperankan oleh para generasi selanjutnya hingga abad ke-21.

Pada perang Padri tercatat, peperangan yang berlangsung cukup lama itu juga merupakan salah satu sebab mempengaruhi perkembangan Islam di tanah Batak, terutama di Mandailing dan Tapanuli. Berbagai data yang tertulis disebutkan, bahwa pasukan Padri berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Peperangan tersebut dipimpin oleh Tuaku Imam Bonjol pada tahun 1821- 1837 M, dengan gelar nama aslinya Muhammad Shahab.

Sebelum peperangan tersebut terjadi, Imam Bonjol dan para ulama lainnya telah adakan musyawarah di kediaman raja Pagaruyung, perihal berkaitan tentang kebiasaan Kaum Adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Mendengar berita tersebut yang disampaikan dengan perantaraan Tuanku Lintau, maka mereka tidak menerima kesepakatan tersebut, sehingga akhirnya terjadilah peperangan yang menjadikan pertumpahan darah antar suku Minang dan Mandailing atau Batak pada umumnya dan peperangan tersebut berlangsung selama 18 tahun.

Kemudian pada masa peperangan Padri, pasukan Minangkabau melakukan invasi ke tanah Batak dan melakukan  pengislaman besar-besaran di Mandailing dan Angkola. Berbeda dengan Simalungun yang sementara itu telah dipengaruhi dari warga Melayu di pesisir Sumatera Timur. Invasi tentara padri ke tanah Batak diyakini sebagai cikal bakal tersebarnya Islam secara menyeluruh. Sekitar lima ribu pasukan berkuda siap berperang pengislaman Mandailing. Peperangan tersebut dipimpin oleh Tuanku Rao senjata lengkap dengan berbusana ala muslim yang mengenakan pakaian serba putih.

Mengawali strategi, Mereka masuk melalui Muara Sipongi, manaklukkan Panyambungan dan bergerak hingga sampai ke bagian utara. Proses pengislamannya tidak begitu sulit karena sebagian orang Mandailing dan Angkola telah  memeluk  agama Islam. Setelah Mandailing sepenuhnya telah ditaklukkan, Tuanku Rao beserta pasukan yang dibawanya bergerak menuju ke arah utara. Mereka mencoba menaklukkan tanah Batak yang saat itu masih menganut keyakinan animisme. Peperangan pun terjadi dan berhasil dimenangkan oleh pasukan Padri yang menyerbu istana kerajaan Sisingamangaraja X.

Ada beberapa unsur mengapa Islam sangat cepat berkembang dan menyatu dengan kehidupan masyarakat Mandailing. Pertama: penaklukan raja-raja adat Mandailing oleh kaum Padri. Kedua: banyaknya terlihat para etnis masyarakat pada saat itu melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, Salah satunya Syekh Musthafa Husein Nst yang melanjutkan pendidikannya di Shaulatiyah, Makkah Al-Mukarramah yang masih eksis sampai saat ini. Ketiga: dipengaruhi oleh ulama sufisme luar dengan jaringan dan pemahamannya.

Secara bertahap-tahap, Islam di tanah Batak terkhususnya daerah Mandailing dan Tapanuli telah memulai perkembangannya. Pada abad ke-20an, Islam baru dapat dilakukan pembaharuannya. Karena sebelum abad ke-20, masyarakat kala itu masih terbilang jauh dari pengetahuan agama. Hal tersebut berdampak pada penjajahan bangsa Eropa yang menguasai dan mempengaruhi peradaban Islam di Dunia. Setelah meraih kemerdekaan pada tahun 1945 dan musnahnya penjajahan, pendidikan agama di Mandailing dan sekitarnya baru terlihat perkembangannya. Maka masyarakat pada saat itu telah banyak memperoleh sumbangsih untuk berproses, berkembang lebih baik dan maju. Pada abad ke-21, berdasarkan data Diktorat Jenderal kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) kementerian dalam Negeri, bahwa persentase penduduk kabupaten Mandailing Natal (Madina) beragama Islam yang berjumlah 469,9 ribu jiwa pada Desember 2021. Dengan data tersebut, membuktikan masyarakat Mandailing tersebut merupakan pemeluk Islam di tanah Batak.

Referensi:

Hamka, Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.

Mukrizal, Perkembangan Agama Islam Di Kabupaten Mandailing Natal, Medan: Pustaka Unimed, 2014.

Abdurrahman, Arif Pradono, Linda Sunarti dan Susanto Zuhdi, Sejarah Indonesia, Jakarta: Pusat Perbukuan, 2018.

Kartika Sari, Sejarah Peradaban Islam, Bangka Belitung: Shiddiq Press, 2015.

Solihah Tintin Fuad, Yusra Dewi, Laila Rahani, Peta Kajian Islam Di Sumatera Utara, Yogjakarta: Atap Buku, 2019.

Abu Bakar Aceh, Sekitar masuknya Islam Ke Indonesia, Jakarta: Cv. Ramadhan, 1985.

Michael laffan, Sejarah Islam Di Nusantara, Terj. Indi Aunullah dan Rini Nurul Badariah, Pt. Pustaka, 2015.

Kontributor: Muhammad Zahwan Anwar, Semester IV

Leave a Reply