Islam Nusantara : Kontribusi Peradaban Global

Islam Nusantara : Kontribusi Peradaban Global

Islam Indonesia di Mata Dunia

Pada akhir tahun 2013 silam, beberapa ulama Afganistan berkunjung ke kantor PBNU, kemudian ke Universitas Gajah Mada, dan dilanjutkan ke kantor PWNU Jawa Timur. Mereka terdiri dari beberapa kelompok atau suku yang sering tercabik dalam perang saudara.

Ada dua alasan mereka datang ; pertama, mereka datang untuk belajar pada umat Islam Indonesia yang dirasa merepresentasikan Islam rahmatan lil alamin. Bagi mereka, Nahdhotul Ulama’ sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan dianggap memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, mereka ingin belajar mengenai aspek pemersatu dalam konteks kebangsaan yang plural. Jika dianalogikan, mereka ingin memiliki semacam pancasila yang mampu mempersatukan bangsa dan meletakkan perekat perbedaan menjadi sebuah harmoni perdamaian. Mereka merasa sudah letih berperang. Ketiga, mereka ingin meniru semangat NU dalam memperjuangkan islam ramah, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maupun peran NU dalam konteks internasional.

Dalam pagelaran acara AICIS (Annual Internasional Conference on Islami Studies) bertemakan “Kontribusi Islam Indonesia bagi Peradaban Dunia”  yang dilaksanakan di Lampung pada 1-4 November 2016, juga setidaknya ada 2 kesimpulan penting yang berhubungan dengan dunia Internasional ;  pertama, terkait dengan tekad untuk mempromosikan Islam Indonesia ke panggung gelobal agar keberadaannya mampu memberikan kontribusi positif bagi peradaban dunia. Kedua, menolak segala bentuk kekerasan atau radikalisme yang mengatasnamakan agama, karna agama itu suci dan esensi daripada Islam adalah perdamaian, rahmatan lil alamin.[1]

Forum-forum seperti AICIS ini yang mengundang beberapa praktisi keagamaan dari seluruh dunia, merupakan virus yang sangat efektif dan cepat menular untuk menciptakan perdamaian dunia. Dengan menampilkan strategi dan metode pluralisme ditengah pluraritas manusia, menjadi bukti nyata akan efektifitas toleransi di Indonesia. Juga sebagai mediating structure atau culture broker guna memandu masyarakat menyongsong perubahan sosial agar tetap berada dalam mengapresiasi modernitas tanpa kehilangan identitas keislamanya.

Menurut Prof. Hisanori Kato Ph.D, seorang Professor Socio-Relegious Anthropology pada Faculty of Policy Studies, Chuo University, saat menjadi pembicara pada International Public Lecture “The Role of Religion in A Global Society” di Rg. Teater FIDIKOM (selasa 01/12) mengatakan : “Sikap anda (muslim) terhadap realitas berbeda menjadi tolak ukur bagi masyarakat dunia untuk mengukur seperti apa sebetulnya Islam. Jadi perihalah, perlihatkanlah kebaikan-kebaikan pada dunia.”[2]

Juga pernah disampaikan Habib Zaid bin Yahya, direktur An-Nur For Studies and Research Tarim pada seminar Internasional bertemakan “Pergerakan dan Tantangan Islam Nusantara” di Ahgaff University ; “Membangun dan melindungi Islam di Indonesia, berarti membangun perdamaian dunia.”[3] Banyak dari akademisi-akademisi dan tokoh Internasional berkomentar perihal muslim Indonesia yang toleran dalam menghadapi kemajemukan, bahkan Indonesia adalah satu-satunya negara yang di fath (dibuka) kaum muslimin tanpa menggunakan peperangan.

Pada kesempatan lain, pimpinan partai Jabhah al-Amal al-Islami Beirut Lebanon, Syekh Zuher pernah menyampaikan ; “Maka, Indonesia yang mayoritas muslim Sunni, sangat tepat untuk dijadikan lokomotif bangkitnya peradaban Islam dan keilmuan Islam.”[4] Hal ini disampaikan setalah mengunjungi beberapa tempat, khususnya pesantren-pesantren di Indonesia.

Maka dari itu, pada Halaqoh Ulama NU dan Indonesia di Hotel Acacia (19/05/15), Prof Said Aqil Siroj membahasakan lebih frontal; “Hanya di Indonesia yang budaya muslimnya masih bisa dilihat dunia, kita sudah jijik, malu dan ngeri kalau melihat Islam di Timur Tengah”[5]

Jika ditilik dari realitas yang ada, sejak lengsernya Saddam Husein (2016), Irak telah kehilangan 800 ribu nyawa warganya, kemudian Syuriah yang 200 ribu nyawa menghilang, belum lagi Libya, Yaman dan Mesir, semua diselesaikan dengan kekerasan tanpa ada i’tikad baik untuk berunding atau islah, dan terus-menerus tersebar sampai dengan sekarang, maka dari itu prinsip-prinsi muslim Indonesia yang tepat untuk diimplementasikan.

Islam Nusantara Sebagai Model

Hal ini ditegaskan pula oleh Gus Dur yang mengatakan : “Tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yan akan memperkaya kehidupan dan membuat tidak gersang.”[6]

Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menjabarkan tentang istilah Islam Nusantara. Menurutnya, kata nusantara itu akan salah maksud jika dipahami dalam struktur na’at-man’ut (penyifatan) sehingga berarti “Islam yang dinusantarakan.” Akan tetapi, akan benar bila diletakkan dalam struktur idhofah (penunjukan tempat) sehingga berarti “Islam di Nusantara.”[7]

Lebih jaul lagi, Azyumardi Azra dalam esainya, Islam Indonesia berkelanjutan, juga menjabarkan bahwa term “Islam Nusantara” dalam dunia akademis mengacu kepada “Southeast Asian Islam” yang terdapat di wilayah Muslim Indonesia, Malaysia, Brunei, Pattani (Thailand Selatan) dan Mandanau (Filipina Selatan). Wilayah Islam Nusantara dalam literatur prakolonial disebut sebagai “negeri bawah angin” (land below the wind) Lebih spesifik dalam literatur Arab sejak abad ke-16, kawasan Islam Nuntara disebut sebagai “bilad al-jawi” (Negeri Muslim Jawi) yaitu Asia Tenggara. Umat Muslimin Nusantara biasa disebut sebagai “ashab al-jawiyyin” atau “ jama’ah al-jawiyyin.”

Wilayah Islam Nusantara adalah salah satu dari delapan ranah religio-cultural Islam. Tujuh ranah agama-budaya Islam lain adalah Arab, Persia/Iran, Turki, Anak Benua India, Sino Islamic, Afrika Hitam dan Dunia Barat. Meski memegangi prinsip pokok dan ajaran yang sama dalam akidah dan ibadah, namun setiap ranah memiliki karakter keagamaan dan budayanya sendiri.[8]

Selain itu, Teuku Kemal Fasya dalam esainya, Dimensi Puitis dan Kultural Islam Nusantara, memberikan penjelasan yang tidak kalah menarik. Ia mendefenisikan bahwa Islam Nusantara ialah proses penghayatan dan pengalaman lokalitas umat yang tinggal di Nusantara. Penambalan kata “Nusantara” bukan sekedar penegasan nama tempat atau nomina, melainkan lebih penting, penjelasan adjektiva dan kualitas Islam “di sini” yang berbeda dengan Islam “di sana”. Keberhasilan Islam menjadi agama Nusantara yang damai, tidak bisa dilepaskan dari daya adaptasi dan resiliensi pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan lokal. Kredo teologis yang serba melangit itu bertemu dengan dimensi kultural masyarakat dan beresonansi melalui pengetahuan lokal.[9]

Menuju Islam Nusantara Berkemajuan

Ahmad Baso dalam bukunya, Islam Nusantara Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia, menganalogikan bahwa Islam Nusantara itu ibarat pertemuan dua bibit pohon unggulan yang berbeda jenis, namun ketika disatukan dalam proses persilangan akan menghasilkan sebuah bibit baru yang lebih unggul. Persilangan Islam dan Nusantara diperlukan untuk  memeroleh genius baru dengan karakter atau sifat-sifat unggulan yang diinginkan. Bibit ini akan tumbuh sehat dan mampu bertahan dalam situasi dan cengkeraman lingkungan manapun, toleran dan adaptif terhadap lingkungannya sehingga bisa tumbuh dan besar dengan sehat, tidak cepat aus, rusak atau gagal tumbuh. Dengan persilangan dua spesies berbeda itu maka diharapkan muncul spesies baru yang populis, kualitas peradaban yang tinggi serta tahan banting terhadap berbagai kondisi dan tantangan. Dan spesies baru itulah yang disebut Islam Nusantara. Maka kalau kita yakin betul Islam Nusantara itu adalah hasil persilangan dua bibit unggul maka ijtihad kunyit lebih mendukung keunggulan kekayaan alam Nusantara kita dibandingkan, misalnya mengimpor habbatussawda (jinten hitam)

Maka tak mengherankan bila Imam Syafi’i—seperti yang dikutip Ahmad Baso—dalam kitabnya yang termasyhur, al-Umm juga menandaskan bahwa: “Ma min biladil-muslimina baladun illa wa-fihi ‘ilmun qad shara ahluhu ila ‘ttibai qauli rajulin min ahlihi fi aktsari aqawilihi.” Artinya, di setiap negeri umat Islam itu ada ilmu yang dijalani dan diikuti oleh penduduknya dan ilmu itu kemudian menjadi pegangan para ulamanya dalam kebanyakan pendapatnya. Hal demikian menunjukkan bahwa pertimbangan geografis menjadi sesuatu yang penting. [10]

Lebih jauh, Greg Barton juga pernah merefleksikan inti dari pemikiran Gus Dur dalam memandang Islam. Bagi Gus Dur, Islam tidaklah statis. Ajaran Islam bukanlah sesuatu yang diturunkan sekali jadi dan setelah itu tidak pernah memerlukan reformulasi dan reaplikasi. Dengan kata lain, ia berpendapat bahwa karakteristik esensial hukum Islam adalah keharusannya untuk diinterpretasikan secara kontekstual. Karena jika konteks sosial dan historis berubah maka berubah juga aplikasi prinsip-prinsip eternal dari hukum tersebut:

Ajakan kepada pengembangan dan penyegaran ini bukanlah ajakan untuk merombak hukum Islam. Ajakan seperti ini tidak lain hanya akan menempatkan hukum Islam pada kebutuhan sesaat, kepada kehendak manusia yang senantiasa berubah-ubah. Maksudnya adalah upaya untuk membuatnya lebih peka terhadap kebutuhan-kebutuhan manusiawi masa kini dan di masa depan. Dengan kepekaan tersebut hukum Islam akan senantiasa melakukan penyesuaian sekadar yang diperlukan, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai transendentalnya yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Dengan kepekaan itu, akan dapatlah hukum Islam turut memberikan sumbangsihnya pada pembangunan bangsa, yaitu menciptakan nilai-nilai kehidupan yang dinamis tapi dilandasi oleh kesadaran keharusan bagi manusia untuk berupaya dalam batas-batas kemampuannya sebagai makhluk belaka.[11]

Di samping itu, Azyumardi Azra menganggap bahwa Islam Nusantara seperti diwakili oleh NU dan Muhammadiyah memiliki hampir seluruh potensi untuk berkemajuan guna mewujudkan peradaban yang rahmatan lil alamin. Modal besarnya adalah kekayaan dan keragaman lembaga mulai dari masjid, sekolah, madrasah, pesantren, perguruan tinggi, rumah sakit dan klinik, panti penyantunan sosial, koperasi, hingga usaha ekonomi lain.[12]

Sehingga banyak kalangan asing sejak akhir 1980-an, semisal Fazlur Rahman memandang potensi besar Islam Nusantara untuk berdiri terdepan dalam memajukan peradaban Islam global. Dengan peradaban Islam wasathiyah (jalan tengah) Islam Nusantara dapat memberikan kontribusi peradaban dunia lebih damai dan harmonis. Harapan seperti ini, menurut Azyumardi Azra, kian meningkat di tengah berlanjutnya konflik di negara-negara Muslim dunia Arab, Asia Selatan, Asia Barat dan Afrika. Untuk itu, NU dan Muhammadiyah serta ormas-ormas Islam wasathiyah lain, tidak hanya perlu meningkatkan pemikiran dan amal usaha di dalam negeri, tetapi juga harus lebih ekspansif menyebarkan Islam wasathiyah ke mancanegara. Dengan begitu, Islam Nusantara dapat berdiri paling depan dalam mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Kesimpulan

Islam Nusantara bukanlah suatu bentuk pengkotak-kotakan ataupun sebuah gerakan untuk mengubah doktrin Islam. Ia juga bukan hendak memindah kiblat umat Islam Indonesia dari Mekkah ke Indonesia. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Islam Nusantara hanya ingin menyemai dan menampilkan wajah Islam yang teduh dan ramah bukan marah.

Dengan melihat serpihan-sepihan sejarah yang cukup panjang, Islam (di) Nusantara telah mengalami pergumulan dengan lokalitas yang beragam. Ia hadir bukan untuk mendobrak atau membabat habis tradisi dan budaya lokal yang ada, melainkan coba untuk berdialektika dengan konteks di mana ia berada. Oleh karena sifat fleksibelnya itu, ia mampu bertahan dan berkembang sehingga memunculkan ekspresi keislaman baru yang khas dan tidak ada di belahan dunia manapun.

Dengan demikian, Islam Nusantara bukanlah semacam makhluk baru, ia hanya ingin mengembalikan sesuatu pada tempatnya; hadirnya untuk mengingatkan bahwa yang Arab belum tentu Islam dan yang Islam belum tentu Arab. Dengan paradigma demikian, Islam Nusantara sebetulnya ingin mengajak keluar dari cangkang kekolotan dalam memandang agama, perdebatan klasik yang tak ada ujung pangkalnya dan kebenaran naif yang menafikan lainnya. Dengan harapan, peradaban Islam Nusantara kelak akan menjadi patron peradaban Islam dunia lantaran khazanah keilmuwan dan nilai-nilai yang begitu mempesona.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, “Islam Indonesia Berkelanjutan”, dalam Opini Kompas, 3 Agustus 2015.

Baso, Ahmad, Islam Nusantara Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia, Jilid I, Cet. I, Jakarta: Pustaka Afid, 2015.

Fasya, Teuku Kemal, “Dimensi Puitis dan Kultural Islam Nusantara”, dalam Opini Kompas, 4 Agustus 2015.

Fealy, Greg (eds.), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama- Negara, terj. Ahmad Suaedy, Yogyakarta: LKiS, 1997.

Sahal, Akhmad (eds.), Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, Cet. I, Bandung: Mizan Pustaka, 2015.

Said, Muh. & Affan, Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Penerbit Jemmars, 1987.

Siroj, Said Aqil, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju Masyarakat Mutamaddin, Cet. II, Jakarta Pusat: LTN NU, 2015.

Sunyoto, Agus, Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Jakarta: Transpustaka, 2011.

Tohari, Hajriyanto Y., Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis, Cet. I, Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005.

[1] https://www.kemenag.go.id/berita/422253/resmi-ditutup-aicis-2016-hasilkan-deklarasi-lampung (diakses 17 Juni 2017)

[2] http://www.uinjkt.ac.id/profesor-jepang-muslim-indonesia-harapan-dunia/,  (diakses 17 Juni 2017)

[3] http://liputanislam.com/indonesiana/indonesia-di-mata-ulama-yaman/, (diakses 17 Juni 2017)

[4] http://global.liputan6.com/read/2565143/islam-indonesia-di-mata-petinggi-partai-lebanon (diakses 17 Juni 2017)

[5] http://news.detik.com/berita/2918509/ketum-pbnu-islam-di-indonesia-paling-dilihat-di-mata-dunia,  (diakses 17 Juni 2017)

[6] Ahmad Sahal (eds), Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, cet.1 (Bandung : Mizan Pustaka, 2015) halaman 23

[7] Edy AH Iyubenu, “ontaran-ontaran Islam Nusantara”, dalam opini Jawa Pos, 24 Juli 2015

[8] Azyumardi Azra, “Islam Indonesia Berkelanjutan”, dalam opini kompas, 3 Agustus 2015.

[9] Teuku Kemal Fasya, “Dimensi Puitis dan Kultural Islam Nusantara”, dalam Opini Kompas, 4 Agustus 2015

[10]Ahmad Baso, Islam Nusantara Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia, Jilid I, Cet. I (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), h. 17-18.

[11] Greg Fealy (eds.), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama- Negara, terj. Ahmad Suaedy, Yogyakarta: LKiS, 1997 h. 176.

[12] Azra, Azyumardi, “Islam Indonesia Berkelanjutan”, dalam Opini Kompas, 3 Agustus 2015.

Leave a Reply